Refleksi Hubungan Vanuatu-Indonesia Pasca-Sidang PBB
Meski isu HAM sangat penting, namun hubungan bilateral Indonesia dan Vanuatu sesungguhnya luas dan dapat diperdalam (ekonomi, investasi, kebudayaan, olahraga, pembangunan, kemanusiaan).
Sidang Umum (SU) PBB 2020 yang berlangsung dari tanggal 15 September diwarnai oleh pidato Perdana Menteri Vanuatu Bob Loughman yang menuduh Indonesia melakukan pelanggaran HAM di Papua. Meskipun hal ini bukan sebuah hal baru, sekurangnya sejak tahun 2004 negara di kawasan Pasifik tersebut selalu menyelipkan tuduhannya terhadap Indonesia di forum resmi PBB, tetapi fenomena ini selalu menarik perhatian publik di Tanah Air.
Publik tampak heran karena Vanuatu berani menantang negara kita yang jumlah penduduk dan luas daratannya hampir mencapai 1.000 kali lipat negaranya sendiri. Dalam tulisan singkat ini, Penulis bermaksud menguraikan fakta yang terdapat pada hubungan Vanuatu dan Indonesia.
Ada Apa dengan Vanuatu?
Faktor utama yang berkaitan dengan sikap Vanuatu adalah pernyataan dari Perdana Menteri pertama Vanuatu, Walter Lini. Pada 1980, saat Vanuatu merayakan kemerdekaannya dari Inggris, Walter Lini menyebutkan bahwa Vanuatu tidak akan sepenuhnya merdeka sampai sisa bangsa Pasifik yang terjajah, temasuk di Papua, telah bebas secara politik. Bebas secara politik atau ”politically free” menurut pandangan kami telah disalahartikan sehingga lahirlah Wantok Blong Yumi tahun 2010 yang diprakarsai Ralph Regenvanu.
Faktor utama yang berkaitan dengan sikap Vanuatu adalah pernyataan dari Perdana Menteri pertama Vanuatu, Walter Lini.
Mereka mengabaikan fakta bahwa apa yang dicita-citakan Walter Lini tersebut, sesungguhnya telah tercapai di Papua: politically free, demokrasi, pemilihan langsung, aksi-aksi afirmatif, akses terhadap pelayanan publik dan pembangunan. Hal-hal tersebut adalah hak-hak dasar penduduk Papua yang dipenuhi oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Faktor kedua adalah konstitusi Vanuatu, The Constitution Supreme Law, pada bagian kedua yang mengatur hak dan kewajiban dasar manusia. Juga disebutkan bahwa setiap manusia harus terbebas dari segala bentuk diskriminasi dan penindasan. Konstitusi Vanuatu juga secara eksplisit menyatakan bahwa negara tersebut dibangun atas asas keyakinan pada agama Kristen.
Fakta ini, serupa dengan faktor pertama, juga dimanfaatkan oleh KSP yang gencar mengembuskan berita miring tentang Indonesia yang bersifat sepihak, tendensius, tidak terverifikasi. Konstitusi Vanuatu pada umumnya terdapat banyak nilai dan prinsip yang selaras dengan Konstitusi Indonesia, terkecuali terkait agama Kristen. Soal agama, Konstitusi Indonesia justru lebih progresif dan tidak diskriminatif.
Beberapa media di Vanuatu dan Pasifik, baik yang resmi ataupun bukan, sering memberitakan klaim dari aktivis Kelompok Separatis Papua (KSP) tentang rangkaian pelanggaran HAM di Papua. Informasi menyesatkan dari KSP juga membawa pembingkaian media bahwa terjadi penindasan oleh Indonesia yang berstatus sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia terhadap penduduk asli Papua.
Agresifnya kampanye yang dilakukan oleh KSP di Vanuatu membuat masyarakat setempat mendapat informasi yang tidak benar tentang Indonesia. Gabungan semua faktor ini membuat isu Papua menjadi sebuah komoditas politik menarik di Vanuatu. Dalam catatan penulis, pada masa kampanye Pemilu Vanuatu, isu dukungan terhadap kemerdekaan Papua bahkan kerap masuk dalam platfrom partai peserta.
Sehingga tidak mengherankan jika aksi oknum politisi di Vanuatu tidak berhenti hanya di panggung PBB, dukungan terhadap separatisme Papua juga dilakukan di berbagai panggung internasional lainnya.
Upaya paling gencar yang dilakukan oleh Vanuatu terlihat pada dukungan yang diberikan kepada KSP di berbagai organisasi regional Pasifik seperti Melanesian Spearhead Group (MSG), Pacific Islands Forum (PIF), hingga organisasi African, Caribbean and Pacific (ACP) Group of States. Dari sejumlah kelompok ini, Vanuatu tampak berupaya untuk menarik simpati dan rasa kebersamaan bangsa Pasifik untuk ikut mendukung kemerdekaan Papua.
Setidaknya dalam lima KTT PIF terakhir, isu Papua selalu masuk dalam pembahasan karena desakan dari Vanuatu. Sepak terjang Vanuatu juga diketahui dengan mengutus Lora Lini, putri dari mendiang Walter Lini, sebagai special envoy untuk isu Papua.
Setidaknya dalam lima KTT PIF terakhir, isu Papua selalu masuk dalam pembahasan karena desakan dari Vanuatu.
Respons Indonesia
Pemerintah Indonesia telah memberikan respons cukup baik terhadap sejumlah upaya Vanuatu, sebagian besar melalui kegigihan Kementerian Luar Negeri dan perwakilan Indonesia di luar negeri yang menjadi ujung tombak diplomasi Indonesia. Berbagai tuduhan Vanuatu selalu dengan sigap direspons secara baik oleh korps diplomatik RI. Indonesia juga kerap menugaskan diplomat muda Garuda untuk mematahkan tuduhan tidak berdasar Vanuatu.
Contoh lainnya dapat dilihat dari dinamika yang terjadi di organisasi MSG. Meskipun Vanuatu konsisten mendukung unsur KSP dengan nama United Liberation Movement of West Papua (ULMWP) untuk masuk sebagai negara anggota tetap MSG, tetapi upaya tersebut berhasil dihalau Indonesia berkat upaya diplomasi yang terukur di wilayah Pasifik.
Di luar forum resmi, Pemerintah Indonesia pada masa Presiden Joko Widodo juga melakukan sejumlah langkah inovatif dalam meningkatkan hubungan dengan negara di Pasifik. Kerja sama dengan negara Pasifik saat ini mengedepankan kerja sama yang bersifat ekonomi dan pembangunan dan tidak terlalu menitikberatkan pada kerja sama yang bersifat politis.
Pada 2019, di sela-sela pembukaan pameran Pacific Exposition di Auckland, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi meluncurkan kebijakan Pacific Elevation sebagai payung kerja sama dengan negara-negara Pasifik. Sementara di ranah publik, aksi pemerintah Vanuatu juga tidak luput dari perhatian pers maupun penggiat sosial media di Tanah Air. Berita tentang aksi Vanuatu di PBB menjadi berita utama di sejumlah media dan tercatat sejumlah besar netizen yang ikut merespons isu ini.
Masa Depan Hubungan Vanuatu-Indonesia
Agar isu ini tidak melebar menjadi perselisihan antarbangsa yang tidak berujung, izinkan penulis berbagi beberapa perspektif yang ditemui selama Penulis bertugas di kawasan Pasifik.
Pertama, pernyataan pejabat Vanuatu di SU PBB tidak mencerminkan secara utuh hubungan antara bangsa Indonesia dan Vanuatu. Meskipun terdapat gesekan di forum resmi internasional, data statistik tetap menunjukkan bahwa terdapat kegiatan perdagangan aktif secara bilateral.
Hal ini menandakan konflik yang dibangun oleh Vanuatu hanya terlihat di kalangan elite politisi dan bukan di tingkat akar rumput. Dalam berbagai kesempatan, Penulis berkesempatan menemui sejumlah warga, dan bahkan pejabat tinggi Vanuatu, yang kesemuanya sangat terkesan dengan keberhasilan pembangunan di Indonesia, termasuk di Papua.
Hal ini menandakan konflik yang dibangun oleh Vanuatu hanya terlihat di kalangan elite politisi dan bukan di tingkat akar rumput.
Kedua, perlu disadari bahwa upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Vanuatu tidak mencerminkan pandangan bangsa Pasifik terhadap Indonesia secara keseluruhan. Negara Pasifik lainnya, seperti Samoa, Tonga, Fiji, Tuvalu, dan seluruh 19 negara Pasifik saat ini telah memahami tentang apa yang sesungguhnya terjadi di Papua dan tidak ikut mendukung kampanye yang dilancarkan KSP.
Oleh karena itu, sangat penting bagi Indonesia untuk meningkatkan peranannya di Pasifik. Bahkan, dalam hemat penulis, engagement terhadap Pasifik sudah seharusnya dilakukan sebagai bagian dari upaya peningkatan pembangunan di kawasan Indonesia Timur. Faktor kedekatan geografis, kultur, dan budaya dari masyarakat Indonesia timur, akan mempermudah interaksi dengan bangsa Pasifik yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan.
Tuduhan Vanuatu atas pelanggaran HAM di Papua tentu diharapkan tidak boleh berulang kembali pada masa mendatang. Namun, hal ini dimungkinan dapat terjadi apabila terjadi pemahaman yang baik tentang bangsa Indonesia secara utuh.
Bahkan, dalam hemat penulis, engagement terhadap Pasifik sudah seharusnya dilakukan sebagai bagian dari upaya peningkatan pembangunan di kawasan Indonesia Timur.
Meski isu HAM sangat penting, hubungan bilateral sesungguhnya luas dan dapat diperdalam (ekonomi, investasi, kebudayaan, olahraga, pembangunan, kemanusiaan). Ke depannya, PR bagi kedua negara adalah memastikan bahwa jangan sampai satu isu membajak keseluruhan hubungan bilateral yang justru menguntungkan rakyat kedua negara.
(Tantowi Yahya, Dubes LBBP RI untuk Selandia Baru, Samoa dan Kerajaan Tonga, Dubes Keliling RI untuk Pasifik)