Kerja sama Indonesia-EU Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU CEPA) memungkinkan Indonesia mendapatkan fasilitas ekspor yang lebih rendah dari GSP.
Oleh
ELVEGA MEDIANI KINAL
·3 menit baca
Langkah pencabutan fasilitas ekspor EBA (Everything but Arms) untuk sejumlah produk ekspor Kamboja oleh Uni Eropa (UE) bisa kita lihat dari dua sisi, yakni kesempatan bagi Indonesia untuk menyubstitusi produk-produk itu, atau lampu kuning bagi Indonesia yang juga menerima fasilitasi ekspor dari UE agar tak mengalami hal yang sama.
Di antara produk yang dicabut fasilitas EBA-nya pada 12 Agustus itu adalah garmen, alas kaki, dan travel goods. EBA sendiri adalah fasilitas tarif yang diberikan ke negara terbelakang (least developed country/LDC) layaknya generalized system of preferences (GSP) yang diberikan ke negara berkembang agar produknya bisa masuk dan memiliki daya saing di pasar UE.
Skema EBA ini merupakan fasilitas bebas tarif bea masuk (nol persen) dan bebas kuota untuk semua produk kecuali senjata atau amunisi. Penerimanya mayoritas negara di Afrika.
UE juga memberikan fasilitas GSP kepada negara berkembang, termasuk Indonesia. Skema GSP adalah fasilitas pengurangan bea impor ke pasar UE hingga 66 persen dari semua lini tarif produk. Baik fasilitas EBA maupun GSP memberikan keuntungan pada negara berkembang dan LDC untuk melakukan penetrasi ke negara maju. Pencabutan fasilitas ini tentu akan berdampak signifikan pada ekonomi, lapangan kerja, dan langkah pemulihan ekonomi Kamboja untuk keluar dari masa krisis akibat pandemi Covid-19.
UE juga memberikan fasilitas GSP kepada negara berkembang, termasuk Indonesia.
UE berdalih, langkah itu bentuk keprihatinan mendalam UE atas beberapa pelanggaran serius terhadap HAM, kemerosotan demokrasi dan supremasi hukum, termasuk meningkatnya penindasan terhadap oposisi, media, dan masyarakat sipil di Kamboja. Garmen, alas kaki, dan travel goods menyumbang 26 persen atau sekitar 1,28 miliar dollar AS dari total ekspor Kamboja ke UE pada 2019.
Dengan dicabutnya fasilitas EBA, Kamboja dapat tetap mengekspor barang-barang itu ke UE, tetapi tanpa tarif preferensi, yang berarti eksportir Kamboja harus membayar penuh bea masuk yang ditetapkan UE. Ini akan meningkatkan biaya produksi bagi produsen.
Kamboja dan Indonesia memiliki banyak kesamaan produk ekspor unggulan, di antaranya garmen dan alas kaki. Dalam keadaan sekarang, Indonesia memiliki daya saing dan peluang lebih dalam menembus pasar UE. Ekspor Indonesia pada produk yang sama yang diberikan sanksi oleh UE juga bernilai 1,3 miliar dollar AS pada 2019. Dengan adanya keputusan UE, produk garmen, alas kaki, dan travel goods Indonesia dapat menjadi substitusi bagi ekspor Kamboja.
Namun, seiring kemajuan yang dialami Indonesia, terlebih kini AS pun telah mencoret Indonesia dari kelompok negara berkembang menjadi negara maju, Indonesia harus bersiap jika UE ke depan juga mencabut fasilitas GSP. Indonesia masuk dalam keanggotaan G-20, yang berarti termasuk dalam negara berekonomi besar dan memiliki pangsa pasar ekspor di atas 0,5-1 persen. Sekitar 50 persen ekspor Indonesia ke UE menggunakan GSP sehingga tentu saja kemungkinan pencabutan GSP Indonesia ke UE akan menggoyang industri dalam negeri.
Apabila hal itu terjadi, kerja sama Indonesia-EU Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU CEPA) bisa menjadi alternatif. Kerja sama ini memungkinkan Indonesia mendapatkan fasilitas ekspor yang lebih rendah dari GSP.
Kerja sama ini memungkinkan Indonesia mendapatkan fasilitas ekspor yang lebih rendah dari GSP.
IEU CEPA kini masih dalam proses perundingan. Kedua negara menunda putaran perundingan ke-10 yang seharusnya dilaksanakan Maret 2020 di Indonesia karena pandemi Covid-19 yang masih sangat mengkhawatirkan bagi kedua pihak. Namun, pada 15-26 Juni 2020 kedua delegasi sepakat untuk melakukan pertemuan intersesi secara daring agar dapat mendorong kemajuan atas berbagai isu runding dalam perundingan IEU-CEPA.
Momentum ini di Indonesia dapat memanfaatkan perundingan IEU-CEPA untuk mendapatkan akses lebih dari pasar UE, terutama untuk produk garmen, alas kaki, dan barang perjalanan. Dengan demikian, produk-produk Indonesia tidak mengambil pasar Kamboja dengan daya saing yang lebih tinggi. Namun, perlu juga mewaspadai adanya aksi yang sama dari negara Asia Tenggara lainnya, terutama Vietnam, karena memiliki produk unggulan yang sama seperti yang dimiliki Indonesia.
Elvega Mediani, Kinal Staf di Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral, Badan Kebijakan Fiskal-Kementerian Keuangan.