Kata ”pebalap” dan ”orangtua” di harian ”Kompas”, menurut KBBI ditulis pembalap dan orang tua (dengan spasi). Apakah ”Kompas” punya alasan tersendiri?
Oleh
Ujang Sarwono, SPd
·3 menit baca
Sejak 2011, saya menjadi pembaca harian Kompas. Beberapa artikel di Kompas saya jadikan bahan untuk mengajar anak didik saya di bangku SMA. Rubrik cerpen dan opini menjadi yang paling sering saya gunakan sebagai bahan pembelajaran.
Sampai-sampai pernah ada murid yg mengatakan, ”Saya sengaja membungkus kado ini untuk Bapak dengan koran. Sebab, menurut Bapak, semua materi Bahasa Indonesia dapat dijumpai dari koran.”
Bahkan, dalam penulisan karya tulis ilmiah, beberapa murid saya sarankan untuk meneliti kebahasaan yang digunakan di harian Kompas. Seperti penggunaan kata baku dan tidak baku, analisis unsur intrinsik cerpen, dan makna dalam puisi.
Terkadang, saat di kelas, saya tidak ragu untuk menenteng koran Kompas sebagai bahan pembelajaran. Jika akan mengajar iklan dan lowongan pekerjaan, tinggal bawa Kompas edisi hari Sabtu. Jika akan mengajar puisi dan cerpen, tinggal bawa yang edisi hari Minggu.
Akan tetapi, ada dua pertanyaan yang sampai saat ini belum terjawab, yakni penggunaan kata ”pebalap” dan ”orangtua”. Menurut KBBI, dua kata tersebut tidak baku. Seharusnya ditulis pembalap dan orang tua (dengan spasi). Apakah Kompas punya alasan tersendiri? Saya perlu jawabannya. Sebab, hal ini menjadi permasalahan ketika anak-anak didik saya sedang belajar kata baku dan tidak baku dari Kompas.
Sementara untuk kata-kata yang tergolong baru, sudah ditulis dengan benar di Kompas. Seperti penulisan swafoto, tes usap, perundungan, dan karier, di mana di koran lain masih sering salah dalam penulisan. Tabik.
Ujang Sarwono, SPd
Perum Grand Puri Bunga Nirwana,
Kecamatan Sumbersari, Jember, Jawa Timur
Catatan Redaksi:
Pada prinsipnya ada beberapa hal tentang kebahasaan di media yang tidak selalu tepat sejalan dengan ketentuan dalam gramatika dan ejaan. Ini yang disebut sebagai gaya selingkung media yang bersangkutan.
”Orangtua” sebagai bapak dan ibu dalam keluarga dan ”orang tua” sebagai orang yang berusia lanjut adalah contoh gaya selingkung media; maksudnya untuk menghindari ketaksaan (ambigu). Demikian juga pebalap, pelari, pebulu tangkis, untuk sebutan pelaku cabang olahraga, yang sebagian mungkin tidak tersua dalam kamus.
Tautologis!
Dalam pidatonya di depan Sidang Umum PBB (secara daring), Presiden Joko Widodo menyisipkan ungkapan: ”No one is safe until everyone is.”
Hal Itu terkesan tautologis, tetapi ya biar saja, tak jadi apalah. Kita—setidak-tidaknya saya—merasakannya sebagai untaian mutiara kata yang bijaksana.
L Wilardjo
Klaseman, Salatiga
Hutan untuk Kehidupan
Tuhan menciptakan daratan dan lautan, terumbu karang dan hutan. Terumbu karang menjadi sumber kehidupan di lautan. Demikian juga hutan, menjadi ibu bagi anak-anaknya: kehidupan di Bumi.
Rimba raya menjadi napas kehidupan bagi manusia, hewan, dan tumbuhan yang saling ketergantungan.
Namun, ketamakan manusia merusak segalanya. Pembabatan hutan mengakibatkan bencana alam yang amat merugikan kehidupan. Sebaliknya, bila manusia memberikan yang terbaik untuk alam, alam akan memberikan anugerah yang setimpal bagi kelangsungan hidup manusia.
Terima kasih kepada harian Kompas yang menampilkan pembela-pembela alam dalam rubrik Sosok. Semoga makin banyak sosok yang membela lingkungan dan menyadarkan kita semua, bahwa manusia harus hidup berdampingan selaras dengan alam.
Vita Priyambada
Komplek Perhubungan,
Jatiwaringin, Jakarta 13620
Catatan Redaksi:
Semoga harian Kompas terus bisa menemani para pejuang lingkungan dan kemanusiaan.