Palestina dan Peta Baru Geopolitik Timur Tengah
Atas kepungan yang terjadi di Palestina, saatnya Indonesia lebih kedepankan pandangan keluar, berperan aktif bahkan progresif dengan mengambil inisiatif bagi penyelesaian menyeluruh atas ketegangan di Timur Tengah.
Penandatanganan hubungan diplomatik Uni Emirat Arab-Bahrain dan Israel menjadi pukulan bagi Palestina. Palestina perlu mencari strategi baru guna mewujudkan cita-cita negara merdeka (Kompas, 17/9/2020). Bagaimana sikap Indonesia atas peta baru geopolitik Timur-Tengah tersebut?
Kebijakan politik luar negeri Indonesia bertumpu pada pandangan geopolitik dengan tujuan membangun persaudaraan dunia (Soekarno, 1945). Dengan cara pandang ini, politik luar negeri Indonesia mengabdi pada upaya mewujudkan perdamaian dunia. Politik luar negeri ini tidak netral. Ia berpihak kepada kemerdekaan bangsa-bangsa. Sikap inilah yang menjadi landasan mengapa Indonesia selalu berjuang bagi kemerdekaan Palestina dalam pengertian yang seluas-luasnya.
Politik luar negeri ini tidak netral.
Peta Baru Geopolitik
Perkembangan menjelang pemilu presiden Amerika Serikat diwarnai berbagai manuver dan sering tampak tidak masuk akal. Atas kekuatan lobbyist AS bersama Israel, Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain secara mengejutkan menandatangani kesepakatan damai dengan Israel. Tidak ada momentum dan alasan faktual yang dapat menjustifikasi langkah kedua negara Arab Teluk tersebut.
Apa yang terjadi telah meninggalkan ikatan kultural, kesejarahan, dan menyentuh hal mendasar: melunturnya solidaritas Arab Teluk bagi Palestina. Terlebih dengan tampilnya AS sebagai tuan rumah. Secara eksplisit, AS ingin mempertontonkan kepada publik internasional tentang watak aslinya sebagai pemain utama dalam pentas geopolitik di Timur Tengah.
Jika selama ini AS cenderung menggunakan proksi untuk memainkan kartu politiknya, di bawah tuntutan kelompok konservatif dan tekanan elektoral, Donald Trump tampil dengan strategi direct selling, memperlihatkan daya pengaruhnya sebagai pemegang palu kekuatan dan kekuasaan di kawasan yang rentan terhadap konflik tersebut. Namun, di situlah letak problematisnya.
Kesepakatan damai tidak lahir dari sesuatu yang natural dan tidak dilandasi strategi besar untuk kepentingan stabilitas kawasan dan terwujudnya perdamaian. Alih-alih dapat mewujudkan perdamaian kawasan, kesepakatan tersebut justru dapat memantik problem lanjutan. Palestina ditinggalkan dan dipaksa merancang strategi baru atas realitas geopolitik yang begitu mengecewakan. Rivalitas Arab Sunni dan Syiah Iran hadir sebagai pertarungan geopolitik baru, yang memorak-porandakan konstruksi historis Arab-Palestina.
Strategi ulang
Tidak ada pilihan bagi Palestina selain merancang ulang strategi politik baru. Kalau geopolitik dipandang sebagai kombinasi faktor geografis dan politik yang menentukan kondisi suatu negara atau wilayah, serta menekankan dampak geografi pada politik, geostrategi menggabungkan pertimbangan strategi dengan geopolitik (Brzezinski, 1986).
Geostrategi melibatkan perencanaan yang komprehensif bagi kepentingan nasionalnya. Atas perubahan geostrategi UEA, Bahrain, dengan restu diam-diam Arab Saudi tersebut, strategi apa yang bisa dilakukan Palestina?
Belajar dari sejarah Indonesia ketika pada tahun 1948 mencanangkan pembebasan Irian Barat, situasi yang dihadapi pada dasarnya tidak jauh berbeda. Ditinjau dari segi persenjataan dan kekuatan kapital, sangat sulit bagi Indonesia yang baru merdeka saat itu untuk menghilangkan ”pisau belakang” kolonialisme yang masih bercokol di Irian Barat.
Tidak ada pilihan bagi Palestina selain merancang ulang strategi politik baru.
Sejarah pun mencatat bagaimana diplomasi internasional dilakukan dengan menggalang solidaritas bangsa-bangsa melalui Konferensi Asia-Afrika (KAA). Gerakan Non Blok (GNB) dengan terang Semangat Dasa Sila Bandung mampu melahirkan strategi yang memertemukan pandangan geopilitik Indonesia, diplomasi internasional, dan strategi pertahanan negara, yang berujung pada integrasi Irian Barat sebagai satu kesatuan geopolitik dari Sabang sampai Merauke.
Dalam situasi terkepung tersebut, saripati strategi pembebasan Irian Barat dapat menjadi inspirasi. Palestina masih memiliki modal bagi lahirnya harapan baru dengan rancangan strategi baru. Strategi baru ini berupa bauran diplomasi, konsolidasi domestik (dalam negeri), penguatan pertahanan nasional, dan mengambil peran strategis atas peta baru geopolitik Timur Tengah. Modal politik Palestina masih kuat.
Pertama, Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Tahun 1979, Palestina berhak sepenuhnya atas wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza, bagaikan Irian Barat ketika terbelenggu kolonialisme Belanda. Legalitas PBB ini menjadi hukum internasional yang mengikat seluruh anggota PBB, termasuk AS dan Israel.
Kedua, solidaritas negara-negara Timur Tengah harus didayagunakan dengan menggalang solidaritas bangsa-bangsa Asia-Afrika dan Amerika Latin. Indonesia yang konsisten memerjuangkan Palestina dapat memerankan diplomasi aktif dengan legitimasi historis sebagai pelopor KAA, dan GNB.
Ketiga, para diplomat Palestina harus mengembangan kepemimpinan strategisnya guna menetapkan seluruh kerangka strategik untuk keluar dari ”posisi sulit”. Kerangka strategik, menurut Olson dan Simerson (2015), muncul sebagai irisan tiga komponen strategis, yaitu cognitive psychology, system thinking, dan game theory.
Aspek psikologi kognitif dapat dimainkan dengan baik dengan menggalang solidaritas bagi Palestina. Energi solidaritas ini masih sangat besar, termasuk dukungan dari Indonesia. Aspek pemikiran strategis memerlukan cara pandang keluar. Situasi terkepung, secara psikologis, dapat memacu konsolidasi internal, menyatukan faksi-faksi yang masih sering bertikai, dan membangun semangat persatuan Palestina.
Energi solidaritas ini masih sangat besar, termasuk dukungan dari Indonesia.
Dari sinilah dirancang diplomasi total football, dengan memperhatikan bagaimana game theory bekerja. Apa pun, peta geopolitik di Timur Tengah tetap diwarnai pertarungan mazhab ideologi dan perebutan legitimasi kepemimpinan Islam antara Arab Saudi dan Iran. Arab Saudi dengan dukungan penuh AS dan kroninya, sementara Iran dalam perspektif game theory, merespons dengan merangkul Rusia dan Tiongkok.
Dalam situasi seperti ini, peran strategis apa yang bisa diperankan Indonesia? Dapatkah Indonesia bangkit dari kemapanan ASEAN, dan bergerak menjalankan tugas sejarah bagi terwujudnya tatanan dunia baru yang lebih berkeadilan?
Pandangan keluar
Sudah saatnya Indonesia memainkan peran lebih dalam diplomasi internasionalnya. Sejarah membuktikan, bagaimana daya pengaruh Indonesia dibangun dengan menempatkan cara pandang geopolitik ideologis—membangun tatanan dunia baru yang bebas dari imperialisme dan kolonialisme atas dasar Pancasila—yang berjalan beriringan dengan strategi diplomasi luar negeri dan strategi pertahanan negara.
Apa yang terjadi di Timur Tengah adalah pekerjaan rumah yang belum selesai. Sejak KAA digelar Bung Karno pada 1955, Palestina belum mengalami perubahan yang berarti. Kini, Palestina masih terus berjuang, bahkan semakin tersudut akibat manuver AS dan Israel.
Bagi bangsa Indonesia, perjuangan dan keberpihakan kepada Palestina adalah perjuangan kebangsaan sekaligus perjuangan kemanusiaan. Hal ini sejalan dengan doktrin geopolitik yang menegaskan bahwa kemerdekaan ialah hak segala bangsa, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Pembelaan terhadap Palestina dalam peta geopolitik mutakhir tidaklah mudah, penuh jalan terjal. Namun, dengan kerangka berpikir strategis dan mengambil model strategi pembebasan Irian Barat, serta pijakan legalitas hukum internasional berdasarkan resolusi PBB, tidak ada yang tidak mungkin di bawah kolong langit dan di atas muka bumi.
Indonesia bisa mengambil langkah inisiatif dengan mentransformasikan kepemimpinan di ASEAN, serta dengan legitimasi sejarah di Asia Afrika dan Amerika Latin, agar dunia terpanggil bagi solusi menyeluruh untuk Palestina. Sebab, politik luar negeri Indonesia dibangun di atas moral yang kokoh untuk mewujudkan perdamaian dunia. Di sinilah pandangan keluar (outward looking) bagi bangsa Indonesia menjadi penting. Pandangan ke dalam, terbukti mempersempit playing field Indonesia, dan pada saat bersamaan meningkatkan suhu dinamika politik domestik.
Pembelaan terhadap Palestina dalam peta geopolitik mutakhir tidaklah mudah, penuh jalan terjal.
Atas kepungan yang terjadi di Palestina, saatnya Indonesia lebih kedepankan pandangan keluar, berperan aktif bahkan progresif dengan mengambil inisiatif bagi penyelesaian menyeluruh atas ketegangan di Timur Tengah. Terlebih dalam isu Palestina, posisi Dewan Keamaan PBB yang selalu konsisten bagi terwujudnya solusi dua negara yang hidup berdampingan secara damai (two states solution) bisa menjadi landasan kuat Indonesia untuk memberikan penjelasan atas peran aktifnya di dunia internasional.
(Hasto Kristiyanto, Sekjen DPP PDI-P, Mahasiswa Doktoral Universitas Pertahanan, Studi Ilmu Pertahanan)