Jerman, 30 Tahun Setelah Bersatu
Memandang agenda misi Jerman 30 tahun setelah penyatuannya, saya merasa puas melihat keselarasan luar biasa antara agenda ini dan nilai-nilai, kebijakan, serta sasaran Indonesia.
Pada 3 Oktober ini, Jerman memperingati 30 tahun reunifikasi atau penyatuan kembali negara. Sebagai bangsa Jerman, kami mengenang peristiwa ini dengan perasaan yang sangat mendalam. Hal yang pertama dan utama, kami bangga bahwa revolusi damai kami berlangsung tanpa pertumpahan darah dan kekerasan.
Peristiwa ini menandai akhir dari suatu proses yang dimulai dari rangkaian pemberontakan berani di sejumlah bagian Eropa Timur, yakni gerakan Solidarnosc di Polandia. Penyatuan Jerman juga tidak akan terwujud tanpa persetujuan dan dukungan dari mitra-mitra internasional kami: Amerika Serikat, Perancis, Britania Raya, dan yang dulu merupakan Uni Soviet di bawah Mikhail Gorbachev. Berkat kesepakatan antara keempat pihak ini dalam ”Traktat 2+4”, Jerman dapat kembali bersatu menjadi sebuah negara berlandasan demokrasi, supremasi hukum, dan komitmen terhadap hak asasi manusia.
Pada saat itu, tentunya ada suara-suara keresahan: Jerman telah memicu dua Perang Dunia, dengan jutaan korban jiwa dari negara-negara di sekitarnya, dan melakukan kejahatan tak tertandingi, Shoah (Holokaus) yang telah melenyapkan jutaan nyawa Yahudi. Apakah Jerman dapat dipercaya? Apakah kali ini Jerman akan mampu hidup dan memiliki keberadaan sebagai jangkar perdamaian dan keamanan, ketimbang agresi, di jantung Eropa?
Sebagai bangsa Jerman, kami mengenang peristiwa ini dengan perasaan yang sangat mendalam.
Dalam masa hidup seorang manusia, perayaan ulang tahun ke-30 kerap kali menjadi saat ketika orangtua, sanak keluarga, dan sahabat memiliki ekspektasi bahwa kita akan mulai bertanggung jawab seutuhnya, membangun keluarga dan rumah, ataupun membesarkan anak-anak kita sendiri.
Secara analogi, peringatan 30 tahun penyatuan Jerman memiliki makna bahwa mitra-mitra kami dapat memiliki ekspektasi bahwa sekarang kami sudah tumbuh dewasa, sudah mampu mendefinisikan dan membela pendirian kami, serta menjadi anggota komunitas internasional yang bisa diandalkan.
Berkilas balik, proses ”pendewasaan” Jerman dapat dipandang sebagai sebuah kisah sukses. Lebih pentingnya lagi, penyatuan Jerman telah membuka jalan untuk persatuan Eropa secara lebih luas. Membawa saudara-saudari Eropa Timur kami bergabung ke dalam keluarga Uni Eropa merupakan sebuah prestasi bersejarah yang meruntuhkan perbatasan dan penghalang, serta menciptakan jembatan dan peluang.
Berkat ini, bagian besar dari benua kami, yang memiliki persamaan kebudayaan dan sejarah yang kompleks dapat dipersatukan kembali. Juga, rekonsiliasi sejati akhirnya dapat dicapai setelah ratusan tahun peperangan dan pertumpahan darah.
Di dalam Jerman sendiri, kami ditantang untuk melampaui puluhan tahun perpecahan, yang telah menciptakan keterasingan masyarakat di kedua sisi tirai besi. Kini, kami boleh berbangga atas pencapaian saat ini: perbaikan signifikan infrastruktur di sejumlah negara bagian yang dulunya merupakan wilayah Jerman Timur, bertambah hidupnya kota-kota di mana tradisi dan sejarah telah dibangkitkan kembali, dan performa ekonomi yang secara bertahap semakin setara.
Namun, kami harus menyadari bahwa pekerjaan kami belum selesai. Sebagai contoh, upah di wilayah Timur masih tertinggal dari wilayah Barat. Kami juga kurang mengantisipasi dimensi emosional yang dialami banyak kompatriot kami, yang kehidupannya mengalami perubahan luar biasa besar dalam rentang waktu satu hari dan kisah hidupnya kerap belum dihargai.
Kami juga berhadapan dengan pertumbuhan gerakan dan aktivis sayap kanan yang disproporsional, khususnya di sejumlah bagian Jerman Timur. Tentu saja ini berarti bahwa kami harus terus berusaha untuk memperbaiki diri dan meningkatkan sikap saling memahami.
Tentu saja ini berarti bahwa kami harus terus berusaha untuk memperbaiki diri dan meningkatkan sikap saling memahami.
Dalam hal kebijakan luar negeri, sejak tahun 1990 pada mulanya Jerman menghadapi banyak tantangan dalam jalan yang ditempuh olehnya. Hanya selang satu tahun sejak penyatuan, terjadi perpecahan konflik di Kawasan Balkan Barat akibat gejolak pembubaran Yugoslavia. Seiring perkembangan konflik-konflik di kawasan ini, menjadi kentara bahwa Jerman harus mengambil sejumlah keputusan berat dan pendirian dalam sebuah krisis internasional yang rumit.
Pada taraf tertentu, budaya kebijakan luar negerinya pasca-1945 diuji pada titik ini. Gambar-gambar pemusnahan populasi lelaki Muslim di Srebrenica, serta pembantaian dan pelanggaran berat hak asasi manusia di Kosovo, sangat membekas bagi negara kami, menggerakkannya untuk mengimbangi insting pasifismenya dengan tanggung jawab untuk mengambil tindakan melawan kekejian dan ketidakadilan. Pada akhirnya, mengingat kejahatan Jerman di bawah Nazi, kami menjadi bagian kunci dalam Aliansi Transatlantik demi bertindak sesuai dengan norma hukum ”tanggung jawab melindungi”.
Kami menunjukkan kesiapan kami untuk mengemban tanggung jawab lebih besar dalam menjaga perdamaian dan keamanan internasional melalui keterlibatan yang semakin substantif sejak 9/11. Kontribusi kami terhadap upaya pembangunan negara dan bangsa di Afghanistan adalah yang kedua terbesar dari seluruh anggota koalisi. Kami juga menjadi pendorong Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Bersama (CSDP) Eropa yang kini telah menghasilkan puluhan misi militer dan sipil untuk menstabilkan konflik di Afrika, Timur Tengah, dan Eropa Timur.
Bagaimana dengan sekarang, pada tahun 2020? Bagaimana pendirian kami di tengah kemunculan konfrontasi geopolitik baru, bahaya keruntuhan progresif tatanan internasional, serta kebangkitan populisme otoriter di berbagai belahan dunia, ditambah kenaikan ancaman global seperti pandemi dan perubahan iklim?
Pertama, dan paling utama, kami secara teguh menambatkan diri pada Uni Eropa, sebagai rumah dan takdir kami. Uni Eropa berdiri untuk memperjuangkan nilai-nilai universal hak asasi manusia yang tidak boleh dilanggar ataupun dicabut, juga kebebasan, demokrasi, dan supremasi hukum yang bersifat mendasar.
Dalam pendahuluannya, Traktat Jerman menuntut kami untuk memajukan perdamaian, keamanan, dan kemajuan, tidak hanya di Eropa, tetapi di seluruh dunia. Setelah mengakibatkan dua Perang Dunia di abad ke-20, bukanlah kejutan bahwa kestabilan Eropa, dengan NATO yang kuat dan persatuan Eropa yang semakin maju, telah menjadi inti dari kebijakan luar negeri kami.
Kami memandang bahwa kami berdiri di sisi mereka yang membela kerja sama internasional dan multilateralisme. Kerja sama internasional akan menjadi kunci untuk bersama-sama menghadapi tantangan terkini seperti pandemi Covid-19 atau darurat iklim.
Kerja sama internasional akan menjadi kunci untuk bersama-sama menghadapi tantangan terkini, seperti pandemi Covid-19 atau darurat iklim.
Dalam pidatonya pada Sidang Majelis Umum PBB ke-75, Kanselir Merkel menegaskan kembali tekad kami untuk mendukung dan memperkuat keluarga PBB. Dalam hal Asia Tenggara, ”Pedoman Kebijakan untuk Kawasan Indo-Pasifik” yang baru saja kami terbitkan menegaskan komitmen kami untuk mendukung kestabilan dan kemakmuran kawasan melalui kemitraan dan kerja sama internasional. Meningkatkan kontak people-to-people dan pembelajaran timbal balik dari budaya dan tradisi satu sama lain juga merupakan bagian utama dari ambisi kami.
Sebagai negara niaga, kami mengulurkan tangan kami kepada dunia. Kami meyakini bahwa perdagangan adil akan membawa manfaat bagi kita semua. Menciptakan sebuah jaringan Perjanjian Dagang Bebas dan Komprehensif, khususnya antara Uni Eropa dan perekonomian di Asia Tenggara, menjadi kontribusi penting bagi perdagangan global yang efisien untuk barang dan jasa.
Relasi dagang kami bertumpu pada keamanan dan kestabilan kawasan yang dilandasi oleh prinsip-prinsip hukum internasional yang sudah lama berdiri, seperti UNCLOS. Oleh karena itu, kami siap untuk terlibat lebih lanjut dalam segenap inisiatif ASEAN untuk meningkatkan kestabilan di kawasan.
Kami meyakini bahwa perdagangan adil akan membawa manfaat bagi kita semua.
Kini kami juga memiliki reputasi sebagai pendukung kuat kerja sama internasional untuk menghadapi tantangan global. Covid-19 menjadi pengingat bahwa kita hanya bisa menang apabila kita bekerja sama dalam penelitian, pengadaan, dan distribusi vaksin dan obat.
Perubahan iklim juga merupakan sebuah tantangan dengan dimensi luar biasa. Kami meyakini bahwa aksi segera sangat dibutuhkan untuk menekan pemanasan global dan ancaman yang menyertainya bagi Bumi. Untuk mewujudkan ini, kita semua sebagai peserta Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB (UNFCCC), perlu meningkatkan segala upaya kita secara besar-besaran.
Seburuk apa pun krisis Covid-19 saat ini, mungkin dia juga sebuah peringatan bagi kita untuk memperlakukan disrupsi ini sebagai momentum transformatif untuk ”build back better” (membangun kembali lebih baik); mengurangi ketergantungan kita terhadap bahan bakar fosil, menciptakan solusi netral karbon yang baru melalui konsep ekonomi sirkular, dan merehabilitasi ekosistem laut kita.
Memandang agenda misi Jerman 30 tahun setelah penyatuannya, saya merasa puas melihat keselarasan luar biasa antara agenda ini dan nilai-nilai, kebijakan, serta sasaran Indonesia. Oleh karena itu, mari kita daya gunakan kemitraan ini untuk membangun kembali dunia yang lebih baik!
(Peter Schoof, Duta Besar Republik Federal Jerman untuk Republik Indonesia)