Jangan Korbankan Rakyat soal Keamanan
Untuk mengatasi kesemrawutan hukum yang ditimbulkan oleh UU terkait yang mengatur TNI dan Polri dalam mengatasi keamanan dan aksi terorisme Presiden perlu segera menerbitkan Perppu Keamanan Nasional.
Konsep Reformasi Internal ABRI Tahun 1998 mengubah secara fundamental paham keamanan dari semula sebagai hasil kerja aparatur keamanan, dalam hal ini ABRI, menjadi sebagai output dari sistem sipil.
Karena itu, apabila timbul masalah keamanan, terlebih dulu diselesaikan dengan cara-cara sipil dan oleh orang-orang sipil, salah satunya Polri. Namun, ketika orang sipil, termasuk Polri, dan dengan cara-cara sipil gagal atau dipastikan akan gagal atau dipastikan bakal jatuh korban biar satu orang pun, saat itu pula penanganan keamanan beralih menjadi tugas TNI dan dilaksanakan dengan cara-cara militer.
Konsekuensi logis dari konsep keamanan tersebut, Polri dipisah dari TNI dan selanjutnya Polri menjadi bagian dari Law and Justice System dengan penahapan untuk sementara berada di Departemen Pertahanan dan Keamanan (sekarang Kementerian Pertahanan), tetapi kelak pada saatnya pindah ke Kementerian Dalam Negeri atau langsung ke Kementerian Hukum dan HAM (Konsep Reformasi Internal ABRI hasil kerja Tim Perumus di bawah pimpinan Mayjen TNI Agus Wirahadi Kusumah bentukan Pangab Jenderal TNI Wiranto tersebut kemudian diarsipkan di Mabes TNI dan juga disimpan di ANRI).
Karena itu, apabila timbul masalah keamanan, terlebih dulu diselesaikan dengan cara-cara sipil dan oleh orang-orang sipil, salah satunya Polri.
Menyimpang dari tujuan negara
Paham keamanan ini sudah barang tentu beranjak dari keilmuan yang validitas kebenarannya telah dibuktikan secara universal sebagaimana diterapkan di semua negara demokrasi. Di samping itu juga menginduk pada sunatullah (hukum alam) di mana dalam tubuh manusia dikenal ada dua jenis darah: darah merah dengan peran dalam distribusi zat gizi, air, dan oksigen secara berkeadilan bagi ribuan triliun sel, darah putih bertugas untuk menghancurkan kuman, baksil, virus, dan penyakit lainnya.
Bukankah dalam pengaturan negara juga dikenal pasangan supremasi sipil (keberadaban) dan supremasi militer di mana perintah adalah hukum tertinggi sebagaimana layaknya pasangan darah merah dan darah putih dalam tubuh kita.
Baca juga: Pelibatan TNI untuk Penguatan
Pengaturan keamanan kita menyimpang dari tujuan dibentuknya negara. Paham keamanan versi Undang-Undang Dasar (UUD) hasil empat kali amendemen dirumuskan dari memecah fungsi hankam (pertahanan dan keamanan) menjadi dua: fungsi pertahanan menjadi tugas TNI dan keamanan menjadi tugas Polri, seolah keduanya adalah fungsi yang terpisah satu dengan lain. Akhirnya terjadilah kesemrawutan dalam pengaturan tata laksana penanganan keamanan, seperti yang tertuang dalam sejumlah UU.
Dalam hal UU TNI, misalnya, kewenangan Presiden dalam mengerahkan TNI diatur dengan syarat atas persetujuan DPR. Norma ini bisa menjadi persoalan mendasar ketika dalam kondisi tertentu Presiden tak berhasil mendapat persetujuan DPR. Artinya, kedaulatan negara dan keselamatan rakyat berpotensi dikorbankan justru karena perundang-undangan yang mengaturnya.
Begitu juga dalam UU Polri, bagaimana mungkin Polri ditugasi menangani semua masalah keamanan? Lantas bagaimana kalau yang dihadapi adalah rakyat bersenjata, walau jumlahnya kecil, tetapi masuk kategori ”kombatan”? Bukankah di negara demokrasi, senjata api polisi tak lebih hanya untuk melumpuhkan penjahat, sama sekali bukan untuk membunuh musuh layaknya militer? Padahal, di era Orde Baru sendiri, keamanan yang menjadi tugas Polri adalah kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat), bukan keamanan dalam artian umum yang menjadi tugas negara.
Baca juga: Perlu Penjabaran Rinci Tugas TNI Atasi Terorisme
Akhirnya muncul konsep operasi militer yang lucu-lucuan, di mana TNI membantu Polri untuk mengatasi masalah keamanan dalam bentuk operasi militer. Artinya, jatuhnya korban di pihak TNI maupun Polri dalam menangani keamanan seperti yang belakangan ini berulang kali terjadi justru akibat dari aturan main yang konyol. Bukankah penahapan sebuah operasi militer untuk sampai di titik di mana kedua pihak saling berhadap-hadapan dalam sebuah pertempuran adalah proses panjang yang mustahil bisa ditangani oleh Polri?
Bukankah di negara demokrasi, senjata api polisi tak lebih hanya untuk melumpuhkan penjahat, sama sekali bukan untuk membunuh musuh layaknya militer?
Lebih konyol lagi ketika kondisi yang dihadapi Polri sudah ”kacau”, kemudian TNI diundang untuk membantu Polri. Lantas rumus dari mana, tak akan jatuh korban dari prajurit TNI? Padahal, dengan Unity of Command di mana keseluruhan penahapan sebuah operasi militer berada dalam satu tangan saja, belum tentu tidak jatuh korban.
Betapa malang TNI kita karena pembuat UU-nya begitu nista dengan sadar menempatkan sebuah operasi militer yang bagi prajurit TNI adalah pertaruhan hidup atau mati dianggap layaknya permainan ”petak umpet” anak kecil. Dan ketika jatuh korban di mana prajurit kita kehilangan nyawa meninggalkan keluarga tanpa warisan apa pun, cukup diposisikan sebagai risiko profesi sekaligus takdir dari Tuhan Yang Maha Esa yang kelak akan diimbali surga.
Lebih konyol lagi ketika kondisi yang dihadapi Polri sudah ”kacau”, kemudian TNI diundang untuk membantu Polri.
Urgensi perpres pelibatan TNI
Kekacauan akibat aturan main di bidang keamanan juga terjadi dalam mengatasi aksi terorisme. Memang betul melalui UU Nomor 5 Tahun 2018 TNI diberi tugas mengatasi aksi terorisme terhadap Presiden/Wakil Presiden dan tamu negara setingkat kepala negara/kepala pemerintah, obyek vital nasional strategis, kapal dan pesawat asing yang ada di Indonesia, serta sejumlah obyek aksi terorisme lain. Sungguh sangat disayangkan, perpres yang mengatur pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme sebagaimana diatur dalam UU Antiterorisme hingga kini belum terbit.
Dengan mengandaikan sungguh terjadi aksi terorisme terhadap salah satu dari delapan obyek aksi terorisme yang ditentukan UU, TNI karena UU, wajib mengatasinya. Lantas bagaimana kalau dalam kondisi tertentu, ternyata Presiden tak memperoleh persetujuan DPR sebagaimana dipersyaratkan dalam UU TNI? Padahal, Presiden untuk mengatasi aksi terorisme ini tak punya alternatif lain kecuali mengerahkan TNI.
Baca juga: Sebagian Konten Perpres Keterlibatan TNI dalam Memerangi Terorisme Bertentangan dengan UU
Sudah pasti kalau TNI berhasil, pujian akan mengalir dari dalam dan juga luar negeri ke TNI maupun Presiden. Namun, apabila yang terjadi sebaliknya, di mana ternyata TNI gagal dan apalagi jatuh korban, bukankah kasus ini akan menjadi ”bumerang”, khususnya bagi Presiden, karena pelanggaran UU yang dilakukan Presiden nyata dan tak terbantahkan.
Solusi perppu keamanan nasional
Disadari atau tidak, UU Antiterorisme yang ada saat ini diskriminatif sekaligus menyimpang secara mendasar dari tujuan didirikannya negara yang salah satunya adalah untuk melindungi segenap bangsa. Persoalan mendasar, apakah karena Presiden dan diplomat asing adalah VVIP dan atau karena obyek aksi teror nilai rupiahnya tinggi, maka yang ditugasi untuk mengatasinya adalah TNI?
Sementara kalau calon korbannya rakyat kebanyakan, cukup diatasi oleh Polri saja. Lantas bagaimana terhadap aksi terorisme dalam bentuk penyanderaan terhadap rakyat biasa, umpamanya, yang sejak awal sesungguhnya dapat diukur, mustahil bakal bisa diatasi oleh Polri. Siapa yang menjamin rakyat biasa yang disandera itu tak lebih dulu menjadi korban manakala Polri gagal dalam mengatasinya. Sebuah ironi, UU dibuat dengan perlakuan diskriminatif justru terhadap rakyatnya sendiri.
Karena kuatnya ”tarik ulur” dalam proses penerbitan Perpres tentang Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme, bisa saja akan terus berlarut entah sampai kapan. Di sisi lain, proses pengajuan RUU Keamanan juga mengalami ”kemandekan”.
Sebuah ironi, UU dibuat dengan perlakuan diskriminatif justru terhadap rakyatnya sendiri.
Maka, atas nama kedaruratan akibat kekacauan dan kekosongan hukum, kiranya Presiden perlu segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Keamanan Nasional, sekaligus untuk mengatasi kesemrawutan hukum yang ditimbulkan oleh UU terkait yang mengatur TNI dan Polri dalam mengatasi keamanan dan aksi terorisme.
Perppu tersebut sekaligus juga untuk ”membatasi” keberadaan Polri dengan segala peran dan ”hak istimewanya” yang belakangan ini kecenderungannya hendak menggantikan posisi TNI AD seperti model zaman Orde Baru, syukur bisa untuk menghentikannya.
Dirgahayu TNI!
Saurip Kadi, Mayjen TNI (Purn); Mantan Wakil Ketua Tim Penyusun Konsep Reformasi Internal ABRI Tahun 1998.