75 Tahun TNI: Militer Profesional, Demokrasi, Diskriminasi
Dalam demokrasi, diskriminasi menjadi hal yang tabu, tentunya ini juga berlaku untuk TNI. Maka persepsi yang diskriminatif terhadap TNI dapat segera diluruskan.
Oleh
Frega Wenas Inkiriwang
·4 menit baca
Demokrasi menjadi sebuah sistem pemerintahan yang mendominasi globalisasi. Ketika reformasi bergulir akhir 1998, Indonesia juga memasuki babak baru demokrasi yang membawa sejumlah perubahan signifikan. Salah satunya, pemisahan Kepolisian Negara Republik Indonesia dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang kemudian mengubah nama menjadi Tentara Nasional Indonesia.
Sejalan dengan perubahan ini, Indonesia mengeluarkan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang mengatur secara konstitusional peran, fungsi, kedudukan, dan tugas TNI. Terkait tugas, TNI punya kewenangan melaksanakan tugas dalam konteks operasi militer perang (OMP) ataupun operasi militer selain perang (OMSP). Tentunya seluruh tugas berada dalam kerangka supremasi sipil yang jadi salah satu fitur utama demokrasi.
Perubahan mendasar atas peran yang dilakukan militer Indonesia ini dapat terlaksana karena adanya peran sentral pimpinan ABRI kala itu yang kemudian memutuskan untuk jadi bagian dari proses reformasi. Tanpa peran militer, sulit bagi proses demokratisasi Indonesia untuk berjalan dengan mulus hingga bisa seperti sekarang.
Tanpa peran militer, sulit bagi proses demokratisasi Indonesia untuk berjalan dengan mulus hingga bisa seperti sekarang.
Sejalan dengan amanah UU No 34/2004, TNI melaksanakan tugas operasional guna menjamin kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI. Dalam konteks OMP, TNI digunakan untuk menangkal jika ada upaya-upaya eksternal yang mengancam kedaulatan negara ataupun keselamatan bangsa. Indonesia adalah negara demokrasi yang mengadopsi politik luar negeri bebas aktif sehingga tak memiliki aliansi.
Sistem pertahanannya pun berorientasi defensif aktif, dengan mengedepankan diplomasi. Sebagai negara nonblok yang berkaca dari pengalaman masa lalu ketika berjuang keras merebut kemerdekaannya, Indonesia menghindari berkonflik dengan negara lain, kecuali jika telah bersinggungan dengan kepentingan nasionalnya di mana militer akan digunakan sebagai the last resort. Untuk OMSP, TNI dilibatkan dalam sejumlah operasi, baik mengatasi separatisme maupun terorisme, menanggulangi bencana alam, dan operasi pemeliharaan perdamaian dunia di bawah PBB.
Sayangnya, beberapa tahun terakhir peran yang dilakukan TNI sering diinterpretasikan berbeda oleh sejumlah elemen masyarakat. Salah satu yang menyita perhatian adalah pandangan akademisi, peneliti, ataupun sebagian masyarakat sipil yang mengekspresikan kekhawatiran akan kembalinya TNI menjadi alat kekuasaan politik seperti yang pernah terjadi dalam periode Orde Baru melalui Dwifungsi ABRI. Juga berkembang persepsi sebagian kalangan yang menyeragamkan personel TNI aktif dengan purnawirawan.
Sejumlah akademisi menyoroti kehadiran purnawirawan TNI dalam mendukung pemerintahan sebagai bentuk militerisasi. Ironisnya pemahaman para akademisi tersebut menciptakan persepsi yang misleading di masyarakat. Mereka tak melihat bahwa para purnawirawan ini telah beralih status jadi warga sipil yang sama haknya dengan warga sipil lain yang tidak pernah menjalani profesi militer.
Oleh karenanya, ketika diminta menduduki jabatan sipil di pemerintahan, mereka tentunya tidak menyalahi aturan yang berlaku.
Sayangnya, beberapa tahun terakhir peran yang dilakukan TNI sering diinterpretasikan berbeda oleh sejumlah elemen masyarakat.
Sorotan para akademisi itu justru menimbulkan pertanyaan besar. Mengapa mereka yang telah purnatugas disamakan dengan yang masih aktif di militer? Secara konstitusi telah diatur mekanisme jika seorang militer aktif akan menduduki jabatan sipil, ia harus melakukan pensiun dini. Ketika sudah pensiun, kewenangan yang dimiliki selama berdinas tidak lagi berlaku.
Di negara-negara demokrasi lainnya, seperti Amerika Serikat, purnawirawan militer banyak yang menduduki jabatan kunci di pemerintahan. Salah satunya jenderal purnawirawan Colin Powell yang terpilih jadi Menteri Luar Negeri AS di era Presiden George Bush Jr.
Menlu AS saat ini, Mike Pompeo, juga berlatar belakang militer. Lulusan terbaik Akademi Militer AS West Point ini memutuskan pensiun dini ketika berpangkat kapten dan menjalani karier sipil hingga kemudian terpilih jadi direktur CIA dan menlu di pemerintahan Donald Trump.
Di Inggris, Ben Wallace, yang saat ini menjabat menteri pertahanan, adalah lulusan Royal Military Academy Sandhurst. Ia juga sempat berdinas di Scots Guard. Terlepas latar belakang militer mereka, publik tak pernah mempermasalahkan ketika mereka bergabung di pemerintahan karena statusnya yang sudah kembali menjadi warga sipil.
Persepsi sebagian kalangan yang menjustifikasi kehadiran purnawirawan TNI adalah sebuah pandangan yang menyesatkan dan mendiskriminasikan TNI. Apa yang telah dicapai TNI sejauh ini hanya dilihat ”taken for granted” saja. Kontribusi prajurit TNI di berbagai bentuk operasi, seperti misi PBB, pembebasan sandera, penanggulangan terorisme, hingga kontribusi dalam penanganan Covid-19, diabaikan para akademisi dan peneliti sipil. Ini bias yang harus diluruskan kembali.
Ketika TNI berupaya menaati amanah UU, sebagian kalangan justru memperlakukannya secara diskriminatif.
Apa yang telah dicapai TNI sejauh ini hanya dilihat ”taken for granted” saja.
Untuk itu, perlu adanya pemahaman publik yang lebih utuh guna menghindari generalisasi yang berpotensi menimbulkan persepsi berbeda. Kekhawatiran akan kembalinya dwifungsi menjadi hal yang kurang relevan mengingat TNI saat ini sudah mereformasi dan mentransformasi diri menjadi militer yang modern dan profesional untuk dapat menjalankan amanah konstitusi dalam menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI.
Dalam demokrasi, diskriminasi menjadi hal yang tabu, tentunya ini juga berlaku untuk TNI. Semoga persepsi yang diskriminatif terhadap TNI dapat segera diluruskan. Dirgahayu ke-75 Tentara Nasional Indonesia.
Frega Wenas Inkiriwang, Dosen Unhan, Kandidat Doktor The London School of Economics and Political Science, Inggris.