Hikayat Karpet di Hagia Sophia
Banyak yang menyayangkan alihfungsi Hagia Sophia, namun Erdogan menjamin, segala yang hebat dari Hagia Sophia akan dilindungi, dipindahkan dengan hati-hati, dan terus dipelihara.
Beberapa waktu sebelum Covid-19 melanda dunia, saya memasuki Hagia Sophia, bangunan paling legendaris di Istanbul, Turki. Sejak 10 Juli 2020 Museum Peradaban ini sudah menjadi masjid.
Ketika mengunjungi Jakarta Fair, yang kemudian dikenal sebagai Pekan Raya Jakarta, saya acap menyelinap ke stan yang menjual karpet Persia made in Turki. Lebih dari sekadar menawarkan karpet, stan itu juga menyediakan brosur yang menulis sejarah munculnya karpet. Paragraf pertama brosur itu bercerita bahwa Turki dibangun pada 1900 SM, dengan nama Anatolia.
Setelah dikuasai Romawi sejak abad pertama, bangsa Barbar mengambil sebagian Anatolia pada abad ke-5. Sementara wilayah yang tersisa diganti namanya jadi Bizantium. Nah, pada pada abad ke-13 era Bizantium inilah karpet mulai diciptakan. Dan kesenian karpet menjadi sangat tersohor ketika Turki berada di bawah kekuasaan Kesultanan Ottoman, yang berjaya pada abad 14 sampai abad 20. Dari situ saya jadi banyak memperhatikan negeri Turki.
Nah, pada pada abad ke-13 era Bizantium inilah karpet mulai diciptakan.
Saya beruntung bisa mengunjungi Turki beberapa kali. Saya bahkan pernah “keliling” Turki selama berhari-hari : dari Istanbul – Seljuq - Cappadocia - Efesus – Safranbolu - Pamukkale – Konya – Bursa - Erdine - Izmir, sampai balik ke Istanbul lagi. Banyak bangunan bersejarah yang saya lihat di situ. Namun sebanyak-banyak destinasi historis yang terkunjungi, Hagia Sophia adalah tempat yang paling menarik perhatian saya.
Hagia Sophia adalah bangunan ikonik di Istanbul, ibukota Turki. Bangunan yang memiliki lebar 72 meter dan panjang 83 meter ini berdiri di ketinggian tanah, sehingga gampang tertangkap mata warga kota. Bentuknya kukuh, gemuk, serba tebal, sehingga mencitrakan kekuatan yang sulit terkalahkan.
Kubahnya yang berwarna emas tertangkup dengan tenang. Cungkup bangunan ini mengatasi kubah-kubah bangunan lain yang berjajar dan bersinar-sinar. Sementara empat menara bersitegak dalam posisi simetris. Menara-menara itu seperti selalu siaga melindungi deretan bangunan yang termenung di bawahnya.
Spektakuler memang. Walaupun dari aspek keindahan Hagia Sophia kalah dibanding aneka bangunan klasik lain di Istanbul. Gereja St Irene dan gedung Chora Monastery yang kini jadi Museum Kariye, misalnya, terlihat lebih estetik dan resik. Masjid Suleymanije dan Masjid Sultanmahrimah juga lebih enak dipandang berlama-lama. Hagia Sophia juga harus sedikit minder apabila dijajarkan dengan Istana Topkapi dan Istana Dolmabahce. Apalagi dengan kehebatan Masjid Sultanahmet yang populer sebagai Blue Mosque.
Namun, meski “kalah”, Hagia Sophia paling dijunjung sebagai lambang arsitektur Bizantium. Pasalnya, bangunan ini menyimpan cerita pergolakan yang berlangsung selama ratusan tahun. Dan gambaran sejarah itu tertandai jelas dalam arsitektur dan elemen interiornya.
Dan gambaran sejarah itu tertandai jelas dalam arsitektur dan elemen interiornya.
Ikon Bizantium.
Hagia Sophia bermula dari kata Ayasofya, yang dalam bahasa Latin artinya Sancta Sophia. Bangunan ini digagas oleh Kaisar Kontantinus I pada 325 Masehi. Namun Kontantinus I keburu wafat ketika bangunan itu baru dalam bentuk rancangan. Kontantinus II pun mewujudkannya. Setelah dinyatakan seratus persen jadi, pada tahun 360 Hagia Sophia - yang masih beratap kayu - dijadikan sebagai Gereja Ortodoks. Bahkan kemudian distatuskan sebagai katedral (gereja terbesar) pada sebentang periode Bizantium.
Kami memasuki ruang bangunan Hagia Sophia. Ketinggian plafon yang 55 meter menghantarkan udara adem di dalam ruangan. Konstruksi interior yang megah artistik, dan dibikin dari batu pualam berwarna krem, coklat dan hijau tua, menyebarkan atmosfir sejuk alam pegunungan. Padahal udara musim panas di luar ruang tak kurang dari 39 derajat Celsius!
Di sisi barat daya pintu masuk, di ketinggian dinding, terhampar gambar mozaik yang menggambarkan Bunda Maria menggendong Yesus sedang dikunjungi Kaisar Konstantin dan Kaisar Justinianus. Mozaik ini legendaris di Istanbul, lantaran temanya unik, dan digubah dari jutaan keping yang sebagian besar bersepuh emas. Di bawah gambar itu berbagai event seremonial era Bizantium dilakukan. Seperti upacara pemahkotaan raja dan pengambilan sumpah para penguasa.
Pada bagian lain tergambar mozaik besar yang menggambarkan Malaikat Agung Gabriel. Malaikat bersayap penyiar firman Tuhan ini tampak membawa tongkat dan bola dunia. Anehnya, sisi kanan atas gambar mozaik itu terhapus, dan tertutupi oleh mozaik dalam motif polos. Diduga “perusakan fatal” gambar ini terjadi pada era Bizantium.
Pembangunan dan penyempurnaan isi bangunan Hagia Sophia memang dinamis. Contohnya, ketika Hagia Sophia dirasa seperti bangunan biasa saja, Kaisar Theodosis II sekuat tenaga menyakralkannya lewat interior yang mengacu kepada kebutuhan gereja. Pembangunan ini diteruskan lagi oleh Kaisar Justinianus pada abad ke-6. Sejumlah mozaik spektakuler ditambahkan. Kerusakan yang diakibatkan Revolusi Nikka diperbaiki setuntas-tuntasnya, dengan mengundang arsitek handal Anthemios dan Isidoros. Renovasi besaran-besaran ini menghasilkan Hagia Sophia seperti yang kita saksikan sekarang.
Renovasi besaran-besaran ini menghasilkan Hagia Sophia seperti yang kita saksikan sekarang.
Langkah kami bergeser ke dinding lain yang menyuguhkan bentangan mozaik yang rusak parah di bagian bawahnya. Mozaik itu menggambarkan Yesus yang didampingi Bunda Maria dan Yohanes Pembastis. Untungnya mozaik itu menjulang di dinding tinggi, sehingga para vandalis hanya sanggup menghancurkan bagian bawahnya saja. Sejarah menulis bahwa mozaik ini dirusak oleh ratusan oknum yang mendompleng penguasaan Islam atas kekaisaran Bizantium.
Karpet di kala Ottoman
Pada 1453 Sultan Mehmet II dari Kekaisaran Ottoman menaklukkan Konstantinopel, yang menandai runtuhnya era Bizantium. Sejak itu Hagia Sophia yang katedral dialihfungsi jadi masjid. Namun nama Hagia Sophia tetap dipertahankan, karena makna dari kata sophia itu bagus, yakni kebijaksanaan (Yunani). Sultan Mehmet II yang dikenal toleran dan hormat mengatakan : “Yang disembah umat Kristen dan Islam adalah Tuhan yang sama.
Jadi apa yang ditinggalkan kaum Kristiani harus dihormati dan dijaga.” Maka, selama menjadi masjid, aneka mozaik, lukisan serta elemen interior yang bernafaskan Kristen ditutup kain yang direkat dengan plester. Sehingga debu tidak mengganggu dan kerusakan tidak terjadi.
Untuk memberikan atmosfir Islami pada Hagia Sophia, ahli kaligrafi Arab terkenal Kazasker Mustafa Izzet diundang. Seniman ini lantas menuliskan nama Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, empat khalifah pertama di beberapa bagian interior. Bersamaan dengan itu ornamen Persia yang amat detil dimaktubkan di banyak dinding dan pilar. Empat menara didirikan untuk melantunkan adzan. Dibangun juga ruang pendidikan (madrasah), dapur umum serta perpustakaan.
Sejak kurun itulah karpet Turki pertama kali memasuki Hagia Sophia. Karena umat muslim selalu membutuhkan karpet sajadah kala bersujud dan berdoa. Selarik sejarah yang membawa ingatan saya kepada karpet Turki di Jakarta Fair!
Zaman terus menggelinding. Pada 1934 Presiden Mustafa Kemal Ataturk memimpin Turki yang sudah berubah jadi negara republik. Pada era ini Hagia Sophia ditetapkan sebagai Museum Peradaban, dan tidak dipakai sebagai masjid lagi. Semua kain penutup dibuka, dan seluruh benda hias interior dipertunjukkan kepada wisatawan.
Pada 1985 UNESCO pun mengangkat Hagia Sophia sebagai Situs Warisan Dunia.
Maka, mozaik, lukisan, kaca pateri, dan arca-arca Kristiani pun berjajar harmonis dengan unsur arsitektur Islam. Konsekwensinya, karpet Turki yang selama 400 tahun bertebaran di lantai masjid Hagia Sophia jadi tidak tergelar lagi. Karena museum ingin menunjukkan gilang-gemilangnya lantai pualam. Pada 1985 UNESCO pun mengangkat Hagia Sophia sebagai Situs Warisan Dunia.
Tetapi Hagia Sophia sebagai museum hanya bertahan 85 tahun. Karena pada 10 Juli 2020 Presiden Recep Tayyip Erdogan mendadak mengubah fungsi Hagia Sophia kembali menjadi masjid. Dan “meresmikan” lewat acara sholat bersama 1.000 jamaah pada Jumat, 24 Juli, ketika Covid-19 sedang berkelindan.
Banyak yang menyayangkan alihfungsi ini, termasuk Paus Fransiskus dan pemerintah Yunani. Bahkan Asisten Direktur UNESCO, Ernesto Ottone ingin agar Erdogan meninjau kembali keputusannya. Tapi Erdogan menjamin, segala yang hebat dari Hagia Sophia akan dilindungi, dipindahkan dengan hati-hati, dan terus dipelihara.
Berangkat dari peristiwa besar ini seorang sahabat dari Turki mengirim WA kepada saya : Hey Bro, karpet Turki tergelar lagi di Hagia Sophia!
(Agus Dermawan T. Pengamat Seni, Pelancong, Penulis Buku “Perjalanan Turis Siluman”)