Sepenggal Kisah tentang KPK
Pemberantasan korupsi masuk ke era kegelapan. KPK yang dahulu disegani, kini tak lagi bertaji. Agaknya kekuatan antikorupsi memang perlu cari strategi baru tanpa mengharapkan peran KPK, seperti diungkap William B Liddle
Peristiwanya tahun 2013 dalam diskusi di harian Kompas. Sastrawan Budi Darma membawakan makalah. Ia mengawalinya dengan penggalan puisi. Demikian penggalannya:
Burung kenari berkekah/Berkekah di tengah padang Jika tidak berani menjarah/Tiada syah menjadi hulubalang
Budi Darma menerangkan makna puisi itu. Untuk menjadi hulubalang waktu itu, seorang harus berani menjarah. Dan, untuk mempertahankan jabatannya, orang itu harus berani menjarah, menjarah uang negara atau menjarah uang rakyat.
Itulah tafsir puisi oleh Budi Darma. Korupsi memang sudah berakar di bumi pertiwi. Budi Darma melacaknya jauh ke masa kolonial. Ia mengutip pengakuan Nicolaas Engelhard, Gubernur Pantai Timur Laut Jawa, dalam memoarnya 15 April 1805.
Berdasarkan pengisahan Dukut Imam Widodo, penulis buku Soerabaia Tempo Doeloe, Engelhard kaya raya karena sogokan orang pribumi yang menginginkan jabatan. Engelhard tinggal memilih upeti terbesar untuk menentukan siapa yang layak diberi jabatan.
Baca juga: Alarm untuk KPK
Murid menonton aksi teatrikal berjudul "Perangkap Tikus Berdasi" yang dilakukan oleh seniman Rasyidin Wig Maroe di SD Negeri VI Mojosongo, Solo, Jawa Tengah, Senin (9/12/2019). Kegiatan ini digelar untuk memperingati Hari Antikorupsi Sedunia. Kegiatan itu sebagai sarana penanaman semangat antikorupsi kepada anak-anak sejak dini.
Bagaimana situasi sekarang? Sama! Calo jabatan berkeliaran. Untuk menjadi kepala kanwil, kepala dinas, menggeser anggota parlemen, semua bisa dijadikan proyek. Mental era kolonial terbawa sampai sekarang. Kekuasaan dimaknai sebagai transaksi jabatan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi museum pedagang kekuasaan, pedagang pengaruh, pedagang keadilan, pedagang putusan peradilan. Pokoknya transaksi.
Wakil Presiden Mohammad Hatta mendukung pendapat korupsi telah menjadi bagian dari keseharian kita. ”Korupsi di Indonesia telah menjadi bagian dari kebudayaan,” kata Hatta (”Jurnal Aksara”, Tempo, 19 Februari 2001). Samuel P Huntington mengaitkan antara budaya dan korupsi. Bersama Lawrence E Harrison dalam buku "Culture Matters: How Values Shape Progress (2000)", Huntington menulis, ”... Di antara yang paling korup adalah Indonesia, Rusia, dan beberapa negara Amerika Latin dan Afrika....”
Bersama Lawrence E Harrison dalam buku "Culture Matters: How Values Shape Progress (2000)", Huntington menulis, ”... Di antara yang paling korup adalah Indonesia, Rusia, dan beberapa negara Amerika Latin dan Afrika....”
Huntington menulis, korupsi paling rendah di negara-negara Eropa Utara dan persemakmuran Inggris yang Protestan. Negara penganut Konghucu kebanyakan ada di tengah-tengah. Namun, Huntington mengecualikan Singapura sebagai negara yang bersih sejajar dengan Denmark, Swedia, dan Finlandia. ”Anomali Singapura adalah kepemimpinan Lee Kuan Yew,” tulis Huntington.
Era reformasi memunculkan harapan soal pemberantasan korupsi. KPK adalah anak kandung reformasi. Perannya disegani. Pegawainya idealis. Tetapi, yang namanya manusia, pasti ada yang nakal, termasuk di KPK. Nilai independensi, kejujuran, dan kesederhanaan dipegang kukuh. Saya pernah jadi pembicara, satu panel dengan seorang pejabat KPK di Yogyakarta. Dia menolak honor. Dia juga menolak makan. Air minum dibawa sendiri. Saat pulang ke bandara, dia memilih naik taksi. Ia hidup dalam kesepian sosial.
Agresivitas KPK memberantas korupsi membuat elite politik gerah. Kepentingannya terganggu. Seorang anggota Komisi Hukum DPR mengatakan kepada saya, ”KPK itu keterlaluan. Diberi pedang penyadapan, eh pedang itu ditebaskan juga kepada kita. Saatnya, pedang itu kita ambil kembali.” Dan, ide itu terjadi. Pertemuan kepentingan DPR dan pemerintah sukses menggergaji KPK. Revisi UU KPK yang ditolak masyarakat sipil dan dibentengi masyarakat sipil akhirnya terjadi. Revisi UU KPK sudah berjalan setahun.
”KPK telah berubah,” kata Febri Diansyah, Kepala Biro Humas KPK yang mengundurkan diri dari KPK. Ada 37 karyawan KPK yang mengundurkan diri dari perang melawan korupsi. KPK pun sepi. Pimpinan KPK sibuk anjang sana ke sana kemari ikut rapat dengan eksekutif karena memang dikelompokkan dalam kekuasaan eksekutif. Ramai tepuk tangan. Akan tetapi, sepi tangkap tangan.
Agresivitas KPK memberantas korupsi membuat elite politik gerah. Kepentingannya terganggu.
KPK boleh jadi menjadi bagian akhir dari sejarah. Pimpinan KPK pulang kampung menggunakan helikopter sewaan. Hanya ditegur ringan. Hampir tak ada pembelaan terhadap pegawai KPK dalam tugasnya memberantas korupsi. Dari sisi narasi, KPK didelegitimasi. Dianggap dikuasai kelompok tertentu, pimpinan KPK punya agenda politik tersendiri, atau pemberantasan korupsi menghambat pertumbuhan ekonomi. Pandangan klise bahwa uang korupsi adalah oli penggerak ekonomi. Pada sisi lain, Mahkamah Agung—sepeninggal Artidjo Alkostar yang kini jadi anggota Dewan Pengawas KPK—gemar memberikan diskon vonis korupsi.
Baca juga: Perubahan KPK Berujung "Bedol Desa"
KPK kini sepi dan teralienasi dari pergerakan pemberantasan korupsi. Secara berkelakar, kantor KPK di Kuningan menjadi semacam cabang lembaga lain. Tingkat kepuasan publik pada KPK berdasarkan survei Kompas pada Juni 2020 tinggal 35,5 persen. Sementara citra positif KPK tinggal 44,6 persen. Dari sisi kuantitas pemberitaan, KPK surut. Berdasarkan data di Pusat Informasi Kompas, jumlah berita KPK menurun drastis. Jika pada 2015 masih ada 1.992 berita KPK, tahun 2016 (1.471), tahun 2017 (1.761), tahun 2018 (1.441), tahun 2019 (1077) dan tahun 2020 hingga akhir September tinggal 577.
KPK yang dibentuk pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri dan dilindungi pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kini seperti tak bertaji. William B Liddle dalam Kompas 19 Oktober 2019 menulis, ”Kekuatan antikorupsi perlu cari strategi baru tanpa mengharapkan peran KPK ke depan atau bantuan berarti pemerintah.” Peringatan keras.
Pemberantasan korupsi masuk era kegelapan. Tetapi, saya yakin suara masyarakat sipil yang jernih, yang terus disuarakan, akan bisa mengetuk hati nurani untuk melawan bisikan-bisikan sesat yang menjerumuskan. Pola kepemimpinan di KPK pun harus berubah jika mau kembali meraih dukungan publik!