Meski ada harapan vaksin Covid-19 akan ditemukan, ketaatan terhadap protokol kesehatan tak boleh melemah, selain upaya terus-menerus dari pemerintah untuk meningkatkan kualitas pemeriksaan, pelacakan, dan pengobatan.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Di tengah optimisme penyusunan rencana vaksinasi, kita wajib mengingatkan pemerintah bahwa Covid-19 harus tetap ditangani secara komprehensif.
Tulisan utama Kompas, Selasa (29/9/2020), mengabarkan Presiden Joko Widodo yang ingin mendetailkan rencana vaksinasi hingga ke daftar lokasi, pelaksana, dan penerima vaksin Covid-19 paling lambat dua minggu ke depan. Suatu hal yang baik di satu sisi karena ada antisipasi, tetapi bisa berdampak buruk kalau ternyata itu adalah cerminan sikap yang menganggap vaksin satu-satunya jalan keluar dari pandemi.
Sejarah menunjukkan, setelah Edward Jenner menemukan metode vaksinasi cacar pada 1796, dunia dinyatakan bebas cacar tahun 1980. Berarti 184 tahun kemudian. Hingga saat ini, total baru tiga penyakit menular yang kita kalahkan dengan vaksin, yakni cacar, polio dengan catatan masih ada kasus di dua negara, dan rinderpest pada sapi. Pelbagai penyakit infeksi lain masih harus dicegah lewat imunisasi dasar.
Ironisnya, dari begitu banyak penyakit infeksi, baru ada sekitar 40 vaksin untuk manusia. Membuat vaksin memang bukan perkara gampang, sekalipun vaksin terbukti ampuh menurunkan kasus infeksi. Di negara dengan cakupan imunisasi baik, sedikit sekali dijumpai penderita tuberkulosis, difteri, partusis, tetanus, hepatitis B, dan seterusnya.
Karena cakupan imunisasi menjadi kunci, mari kita melihat kondisi di Tanah Air. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan pada 2018, baru 87,8 persen anak mendapatkan imunisasi dasar lengkap, 12 persen anak belum mendapatkan imunisasi lengkap, dan sekitar 1 persen tidak mendapatkan imunisasi sama sekali. Faktornya adalah akses pada layanan kesehatan dan informasi, selain merebaknya penolakan belakangan ini. Dengan demikian, mendesak upaya sosialisasi untuk meningkatkan cakupan imuninasi.
Kembali ke vaksin Covid-19, memang ada begitu banyak hal harus dibenahi. Yang utama adalah kita tidak boleh menyia-nyiakan waktu untuk meyakinkan rakyat bahwa mengikuti protokol kesehatan adalah keharusan. Hasil penelitian di Thailand menunjukkan, memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak, efektif mengendalikan penyebaran.
Selanjutnya pembatasan sosial skala besar (PSBB), karantina wilayah, atau apa pun namanya, harus disertai dengan pemeriksaan, pelacakan, dan pengobatan (3P). Apalagi jumlah pemeriksaan belum sampai setengah dari ambang minimal 1 per 1.000 penduduk per minggu. Lengkapi juga kemampuan klinis dan perlengkapan medis di layanan primer.
Di sisi lain, perlu pengembangan vaksin nasional untuk kemandirian. Jangan mencari jalan mudah, sekalipun para pemburu rente mengaku bisa impor dengan harga murah. Indonesia dengan jumlah penduduk keempat terbesar dunia, 274 juta jiwa, sangat berpotensi menjadi pasar vaksin nasional sehingga nilai ekonomisnya bisa mengalir merata.
Setelah vaksin tersedia pun, protokol kesehatan dan 3P tetap harus dijalankan, termasuk sanksi dan insentifnya. Belajar dari sejarah, masih panjang mengatasi Covid-19.