Urgensi Memperkuat ”Civil Society”
Berbagai masalah datang bersamaan dan saling terkait, yakni pandemi global, perubahan iklim, perubahan geopolitik, dan berbagai masalah lainnya. Untuk menghadapi itu, perlu penguatan partisipasi masyarakat madani.
Ki Hadjar Dewantara (1950), dalam naskahnya berjudul ”Pancasila” , menjelaskan bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 memuat cita-cita perjuangan nasional.
Pembukaan UUD 1945 itu menyatakan dengan ringkas dan jelas: (1) Kemerdekaan adalah hak segala bangsa—penjajahan harus lenyap dari muka bumi ini; (2) Negara Indonesia harus: merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur; (3) Pemerintah negara harus: (a) melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia; (b) memajukan kesejahteraan umum; (c) mencerdaskan kehidupan bangsa; (d) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian yang abadi serta keadilan sosial. Adapun dasar-dasarnya adalah: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa; 2. Kemanusiaan Yang adil dan beradab; 3. Persatuan Indonesia (kebangsaan); 4. Kerakyatan, dan 5. Keadilan sosial.
Baca juga: Catatan tentang Keadilan Sosial
Rupanya, Ki Hadjar Dewantara punya penafsiran berbeda. Apa yang kerap dimengerti sebagai tujuan negara dinyatakannya sebagai kewajiban pemerintah negara atau agenda yang harus dijalankan pemerintah negara. Jika pandangan ini dapat diterima, pertanyaannya: bagaimana memastikan agar agenda ini benar-benar dijalankan?
Merujuk pada teks Pembukaan: (i) pemerintah negara bekerja berdasarkan hukum; (ii) dalam segala segi berorientasi pada (kepentingan) publik; dan (iii) bekerja dalam koridor demokrasi. Yang terakhir ini dibutuhkan agar kekuasaan tetap datang dari hukum, dan bukan sebaliknya. Dan untuk memastikan jalannya demokrasi (kedaulatan rakyat), kepadanya diberi dasar Pancasila.
Apa yang kerap dimengerti sebagai tujuan negara dinyatakannya sebagai kewajiban pemerintah negara atau agenda yang harus dijalankan pemerintah negara.
Tentu masalah akan tiba pada problem pelaksanaan. Pada titik inilah pentingnya civil society (CS), yakni kekuatan tengah, yang memainkan peran memastikan demokrasi bekerja, agar agenda publik menjadi satu-satunya agenda yang mengisi penyelenggaraan kekuasaan negara.
Kedudukan dan peran
Ernest Gellner (1995) mendefinisikan, ”civil society is that set of diverse non-governmental institutions which is strong enough to counterbalance the state and, while not preventing the state from fulfilling its role of keeper of the peace and arbitrator among major interests, can nevertheless prevent it from dominating and atomising the rest of society.”
Dalam konteks Indonesia kontemporer, CS, dalam batas tertentu, dapat berbentuk organisasi swadaya masyarakat, organisasi keagamaan (seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah), dan berbagai komunitas yang tumbuh di masyarakat, yang bekerja dalam ragam isu konkret yang langsung bersentuhan dengan masalah-masalah warga.
Baca juga: Politik Pendidikan dan Keadilan Sosial
Dalam sejarah, peran CS dapat dilacak, bahkan sedari awal pendirian Republik. Dengan merujuk Gellner, secara umum dapat dijelaskan dua peran utama dari CS, yakni: pertama, memperkuat masyarakat, melalui berbagai aktivitas edukasi, pemberdayaan sosial-ekonomi, maupun aktivitas lainnya. Arah utamanya meningkatkan daya tawar masyarakat terhadap berbagai kekuatan yang dipandang mengurangi kemampuan masyarakat dalam mengakses sumber-sumber kemakmuran, dan kemampuan menghindar dari keadaan dan segala sesuatu yang bertentangan dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Kedua, menghidupkan dan merawat ruang publik sedemikian rupa sehingga masyarakat dapat mengekspresikan diri secara bebas, dan dengan begitu, apa yang menjadi kepentingannya dapat disuarakan dengan penuh makna. Maksudnya, masyarakat tidak hanya bersuara, tetapi juga suara tersebut didengar dan menjadi pijakan kebijakan publik. Arah utamanya adalah agar politik bekerja sepenuhnya dalam kerangka negara demokrasi, yang menurut Franz Magnis-Suseno (1997), punya gugus ciri, yakni (a) negara hukum; (b) pemerintah yang di bawah kontrol nyata masyarakat; (c) pemilihan umum yang bebas; (d) prinsip mayoritas (suara terbanyak); (e) adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis.
Maksudnya, masyarakat tidak hanya bersuara, tetapi juga suara tersebut didengar dan menjadi pijakan kebijakan publik.
Tentu seluruh rumusan tersebut akan diuji di dalam kenyataan aktual. Justru di sinilah masalah muncul, yakni adanya jarak lebar antara apa yang ideal dan apa yang berlangsung.
Beberapa kasus kontemporer dapat diajukan untuk memberikan kesaksian atas apa yang terjadi, seperti peristiwa revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), revisi UU Mahkamah Konstitusi (MK), pembahasan omnibus law, dan pilkada dalam masa pandemi Covid-19. Dalam hal yang terakhir, suatu debat publik tengah berlangsung: apakah pilkada akan dilanjutkan atau ditunda.
CS pada umumnya, setidaknya yang tampak dari pandangan baik organisasi sosial-keagamaan, seperti NU, Muhammadiyah, Konferensi Waligereja Indonesia, dan Pimpinan Pusat Persatuan Umat Buddha Indonesia; maupun beberapa tokoh, seperti Jusuf Kalla dan Azyumardi Azra, minta pilkada ditunda dan agar semua fokus pada penanganan Covid-19.
Meski demikian, pilkada tetap akan dilanjut dengan standar protokol kesehatan. Jika partisipasi merupakan esensi dari demokrasi, yang tampak adalah semakin berjaraknya antara elite politik dan rakyat (Kompas, 25/9/2020).
Penguatan ”civil society”
Keadaan sebagaimana yang digambarkan Kompas (25/9/2020), ”Suara Rakyat Tak Didengar”, tentu saja memunculkan pertanyaan reflektif: mengapa? Apa yang sesungguhnya terjadi?
Dua kemungkinan bisa terjadi. Pertama, keadaan daya tawar CS melemah; Kedua, posisi state menguat, atau dapat dikatakan semakin ”otonom”; Atau mungkin kombinasi keduanya. Laporan Kompas (5/3/2020) menyebutkan bahwa dua dekade setelah reformasi, CS sebagai salah satu kekuatan penyokong demokrasi tengah menghadapi tantangan berat, dari dua jurusan, yakni masalah internal (mulai dari pendanaan, rekrutmen relawan, sampai dengan fragmentasi di kalangan CS) dan masalah eksternal, pada khususnya pembelahan di masyarakat.
Dalam kondisi yang demikian, tentu sangat sulit bagi CS untuk mengonsolidasi dirinya, untuk agar dapat bertindak sebagai kekuatan tengah, yang mendesakkan agenda publik. Sementara itu, tengah berlangsung gerak menyempit ruang kebebasan sipil.
Apakah state tidak membutuhkan dukungan rakyat sehingga dengan mudah mengabaikan suaranya? Apabila diperiksa konfigurasi yang ada, yakni suara mayoritas di parlemen dan dukungan dari berbagai kekuatan lain, termasuk CS, maka memang terdapat ruang politik yang memungkinkan state bertindak lebih otonom.
Apakah state tidak membutuhkan dukungan rakyat sehingga dengan mudah mengabaikan suaranya?
Reformasi, sebagaimana peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru, telah membuka ruang kesempatan besar bagi perubahan, dan karena itu pula, mudah menggoda kekuatan-kekuatan masyarakat, CS, untuk bertindak melampaui apa yang dibutuhkan. Dapat dimengerti jika CS punya harapan agar negara dapat sepenuhnya menjalankan agenda demokratisasi, mengingat peluang terbuka. Hal yang jarang diperhitungkan adalah kompleksitas politik yang berlangsung setelahnya.
Dalam konteks ini, nampaknya perlu menjadi bahan renungan bahwa kekuasaan negara bukan pihak yang seharusnya berposisi sebagai kekuatan yang mewujudkan demokratisasi, melainkan pihak yang pada dirinya punya kewajiban bekerja atau berperilaku mengikuti garis demokrasi.
Ketika negara mengambil posisi seakan-akan menjadi pihak yang mewujudkan demokratisasi, itu sama halnya negara telah mengakuisisi peran CS. Dalam hal penyuara agenda publik, mungkin tidak dapat dibedakan, mana suara state, dan mana suara CS. Hal yang akan menjadi tantangan adalah manakala CS mendapati terjadinya deviasi, sementara posisinya telah tidak lagi independen. Hal inilah yang dapat menjelaskan mengapa terjadi apa yang disebut sebagai stagnasi.
Dalam situasi yang demikian, apakah masih ada harapan untuk melakukan penguatan CS? Jajak pendapat Kompas (Maret, 2020) merekam bahwa 86,3 persen responden menganggap Indonesia masih memerlukan gerakan masyarakat sipil yang kuat untuk mengawasi pemerintah. Hal ini tentu merupakan modal penting bagi CS untuk pulang kepada jati dirinya.
Baca Juga: Memperkuat Gerakan Masyarakat Sipil
Beberapa hal dapat dilakukan. Pertama, penguatan terhadap CS, pada dasarnya berdimensi ganda. Pada satu sisi berarti emansipasi dan pemberdayaan. Emansipasi berarti menumbuhkan suatu kemampuan untuk menjaga jarak, sedemikian rupa sehingga tidak secara pragmatik, menjadi bagian dari kekuatan-kekuatan politik yang tengah berkompetisi.
86,3 persen responden menganggap Indonesia masih memerlukan gerakan masyarakat sipil yang kuat.
Pemberdayaan di sini berarti kemampuan untuk tetap menjaga sambungan dengan akar rumput, dan di sisi lain, meningkatkan kemampuannya dalam memproduksi gagasan yang membawa aspirasi publik. Wacana publik hendaknya dibanjiri muatan kepentingan publik, dan berarah pada upaya membersihkan domain publik dari segala kepentingan di luar kepentingan publik dan atau yang bertentangan dengan kepentingan publik.
Kedua, memperluas dan memperkuat ruang partisipasi publik. Apa yang diperlukan? Jawabannya: (1) langkah memastikan penyelenggaraan pemerintahan dijalankan dengan prinsip demokrasi, merit system, sepenuhnya berorentasi pada keselamatan dan kemajuan publik.
Kemudian, (2) langkah memastikan bahwa dalam kompetisi politik, proses berjalan secara fair dan bersifat memperkuat demokrasi, serta dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, sebagaimana maksud dasar negara Pancasila. Kita tidak merasakan bekerjanya prinsip hikmat kebijaksanaan sebagai pemberi arah; sebaliknya yang tampak adalah politik uang dan berbagai praktik sejenis, yang intinya, diletakkannya kecurangan sebagai metode politik.
Selain itu, (3) langkah memastikan bahwa CS tidak menjadi bagian dari kekuatan-kekuatan sosial politik yang berkompetisi. Hal ini penting agar setelah musim kompetisi berakhir, yang berlangsung adalah langkah dijalankannya seluruh agenda yang ditawarkan, dengan kemampuan teknokratik yang tinggi dan tetap mendapatkan kontrol efektif dari CS.
Tentu penguatan CS tidaklah untuk CS itu sendiri. Tantangan bangsa sangat besar, terlebih jika diletakkan dalam rute ”Satu Abad Kemerdekaan Bangsa”. Penguatan CS pada dasarnya adalah langkah strategis untuk memperluas partisipasi publik dalam menggerakkan pembangunan.
Buku karya Prof Ginandjar Kartasasmita dan Dr Joseph J Stern (2020), berjudul Reinventing Indonesia, Menata Ulang Bangsa, dapat menjadi rujukan untuk memeriksa problem bangsa dan pengalaman bangsa keluar dari situasi sulit.
Baca Juga: Stagnansi Masyarakat Sipil
Kini, berbagai masalah datang bersamaan dan saling terkait, yakni pandemi global, perubahan iklim, perubahan geopolitik, kemajuan teknologi yang membawa dampak luas, dan berbagai masalah lainnya, yang dapat berubah menjadi ”krisis”, justru ketika partisipasi rakyat melemah.
Dengan pelibatan seluruh elemen bangsa, dan terutama memastikan bahwa gerak pembangunan hanya semata-mata bekerja untuk kepentingan publik, maka tentu akan meningkatkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah-masalah strategis, sehingga, meminjam Ginanjar Kartasmita, sistem politik demokrasi membuka jalan menuju kemajuan manusia, masyarakat dan bangsa Indonesia.
Sudirman Said, Ketua Institut Harkat Negeri, Sekjen PMI