UMKM dan Kemandirian Pangan
Usaha mikro, kecil, dan menengah terus berkembang di saat pandemi Covid-19. Meskipun omzetnya belum besar, UMKM merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia.
Usaha mikro, kecil, dan menengah terus berkembang, apalagi saat pandemi Covid-19. Meskipun omzetnya belum besar, UMKM merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia.
UMKM, seperti warung tegal dan warung tenda, gerai pangkas rambut, serta konfeksi, menjadi indikator denyut perekonomian rakyat. Menurut Kementerian Koperasi dan UMKM (2018), Indonesia memiliki 63,4 juta pelaku usaha mikro (98,7 persen), 783.000 usaha kecil (1,22 persen), dan 61.000 usaha menengah (0,09 persen). Hanya sekitar 5.400 unit (0,01 persen) masuk kategori usaha besar.
Usaha mikro, kecil, dan menengah masing-masing menyumbang 34,0 persen, 8,9 persen, dan 12,6 persen PDB. Usaha mikro menyerap 107,4 juta tenaga kerja (89,0 persen), usaha besar hanya 3 persen.
Baca juga : Memperkuat UMKM
Sayangnya, omzet rata-rata usaha mikro baru Rp 76,1 juta per tahun. Bila rata-rata keuntungan 20 persen, pendapatan bulanan mereka hanya Rp 1,2 juta, jauh di bawah rata-rata upah minimum regional (UMR). Dengan demikian, terjun ke usaha mikro bukan pilihan. Sangat mungkin mereka tak mempunyai pilihan karena tersisih dari sektor formal.
Di luar sektor pertanian, kelompok terbesar UMKM adalah perdagangan besar, eceran, dan penyedia makanan. Aneka makanan, seperti mi, bakso, siomay, bakwan, juga kue dan roti berbahan baku terigu; ada pula tahu dan tempe yang berbahan baku kedelai (impor), selain berbagai jenis sayuran dan buah impor.
Di luar sektor pertanian, kelompok terbesar UMKM adalah perdagangan besar, eceran, dan penyedia makanan.
Semua mengalir deras ke pelosok melalui UMKM. Menurut BPS (2017), total impor gandum, kedelai, sayuran, dan buah-buahan saja mencapai 15,6 juta ton, menguras devisa 4,81 miliar dollar AS. Ironis, UMKM telah menjadi ujung tombak pemasaran berbagai bahan pangan impor.
Mayoritas makanan
Sekitar 60 persen UMKM bergerak di sektor makanan. UMKM mengonsumsi 66 persen terigu nasional. Konsumsi per kapita terigu terus naik dari 15 kilogram pada 2007 menjadi 25 kg pada 2017, lebih tinggi 20 persen daripada rata-rata konsumsi Asia.
Sejak 1990, volume impor gandum meningkat tujuh kali lipat. Ini, keberhasilan dagang Amerika, kombinasi strategi soft loans dengan edukasi pengolahan pangan berbasis terigu (JF Fabiosa: Westernization of the Asian Diet: The Case of Rising Wheat Consumption in Indonesia, 2006).
Baca juga : Memperkuat Daya Ungkit Ekonomi
Kebijakan subsidi harga murah disertai hak eksklusif tata niaga terigu pada segelintir pengusaha memperdalam penetrasi pola konsumsi pangan berbasis gandum di Indonesia.
Politik beras yang berlanjut dengan kebijakan terigu di atas sukses menihilkan budaya dan pola konsumsi aneka pangan lokal warisan leluhur. Efeknya, usaha tani ubi kayu, ubi jalar, gembili, kimpul, talas, suweg, ganyong, gembili, jagung, dan sagu telak terpukul. Bertani tidak lagi menarik, para pemuda berurbanisasi. Lahan pertanian telantar atau dialihfungsikan. Marjinalisasi lahan pertanian dan pemiskinan petani terus berlangsung hingga kini.
Baca juga : Pandemi dan Momentum Digitalisasi UMKM
Meski aneka tepung pangan lokal sanggup menyubstitusi terigu, ketersediaan amat terbatas. Ketergantungan kronis kepada bahan baku impor menutup ruang inovasi dan melemahkan daya saing. Ini terlihat dari kecilnya kontribusi UMKM terhadap ekspor nonmigas (15,8 persen). Sementara UMKM Korea, Jepang, dan China sanggup berkontribusi masing-masing 31 persen, 54 persen, dan 68 persen. Wajar bila produk mereka membanjiri pasar Indonesia, makin mudah dengan maraknya belanja daring.
Minimnya inovasi UMKM juga tecermin pada rendahnya kontribusi terhadap rantai nilai global (GVC), hanya 6%, jauh di bawah UMKM Malaysia (46%). Artinya, sebagian besar UMKM mengekspor bahan mentah.
Marjinalisasi lahan pertanian dan pemiskinan petani terus berlangsung hingga kini.
Derasnya impor produk UMKM asing tak lepas dari strategi dagang jangka panjang. Korea, sejak 1990 melancarkan Halyuu, gelombang transfer budaya. Menjamurnya drama Korea adalah hasil strategi ini. Aneka produk Korea mudah diterima konsumen karena sering muncul di televisi atau gawai.
China konsisten berinovasi meningkatkan efisiensi produksi barang-barang yang ada. Mereka fokus mengembangkan kluster industri baru yang canggih dan terspesialisasi.
Jepang, dengan modal budaya kerja dan ketekunan SDM- nya berorientasi kualitas, gencar promosi di media nasional dan internasional. Center of Excellence dibangun di setiap daerah. UMKM didorong bekerja sama dengan usaha besar. Undang-undang promosi, sub-kontrak dan larangan terjun ke sektor UMKM bagi perusahaan besar, diberlakukan.
Baca juga : Menyelamatkan UMKM dan Korporasi
Usaha ekstra
Guna memutus kemiskinan pelaku usaha mikro, langkah out of the box dan usaha ekstra harus dilakukan. Problem inefisiensi akibat sempitnya kepemilikan lahan, diatasi dengan konsolidasi usaha rakyat dalam satu kelembagaan.
Inovasi kelembagaan mengusung paradigma baru. Ada kerja sama usaha lewat pengelolaan bersama unit-unit usaha kecil milik rakyat (korporasi).
Karena rakyat adalah subjek pembangunan, maka istilah rakyat sebagai pemangku kepentingan (stakeholder) harus diubah menjadi pemilik kepentingan (shareholder). Konsep Public-private partnership diganti menjadi public-private-people-partnership.
Dengan kelembagaan ini, skala usaha tani menjadi besar. Ratusan bahkan ribuan unit lahan sempit milik petani di kecamatan dikelola bersama. Selanjutnya, kumpulan lembaga ini membentuk kelembagaan lebih besar di atasnya.
Hal itu guna mewadahi usaha industri pendukung (misalnya sarana produksi pertanian), industri hulu (benih unggul), industri hilir; produk olahan dan semua turunannya.
Guna memutus kemiskinan pelaku usaha mikro, langkah out of the box dan usaha ekstra harus dilakukan.
Ketidak-paduan produksi dan pemasaran bisa dihindari. Posisi tawar menguat, akses ke manajemen, finansial, teknologi, inovasi dan pasar terbuka lebar. Prinsip membangun dengan kekuatan dari dalam (indigenous growth theory) dipraktikkan dengan memilih komoditas unggulan menjadi prime mover, mengurangi impor dan menggenjot ekspor.
Lembaga usaha dikelola manajemen profesional, dimotori milenial berteknologi IT 4.0. Riset, inovasi perguruan tinggi dan berbagai program pemerintah berjalan karena mendapat partner di lapangan. Efisiensi dan daya saing bahan pangan lokal di level on-farm dan off-farm meningkat.
Suplai bahan baku UMKM dan industri pangan nasional tercukupi. Anggaran impor pangan dialihkan untuk mengolah ratusan ribu hektar lahan telantar milik BUMN, BUMD, swasta dan masyarakat. Dengan demikian, 98,7 persen pelaku usaha mikro miskin berpeluang naik kelas dan lebih sejahtera.
Agus Somamihardja, Anggota Komisi Teknis Pangan dan Pertanian; Dewan Riset Nasional 2019-2022; Tim Penasihat Menteri Kelautan dan Perikanan.