Harapan Presiden Korsel Moon Jae-in akan komunikasi dan dialog yang lebih baik dengan Korut mewakili perasaan banyak kalangan. Hanya dengan saluran komunikasi yang lancar, masalah di antara dua negara itu dapat diatasi.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Korea Selatan dan Korea Utara dulu terpisah akibat pertarungan besar ideologi. Zaman berubah dan pertarungan ideologi itu sirna. Sayangnya, mereka tetap terpisah.
Perpisahan keduanya ditandai dengan meletusnya Perang Korea pada 1950-an. Korut mendapat dukungan dari kubu komunis pada saat itu, sedangkan Korsel dibantu terutama oleh Blok Barat. Perang secara teknis masih berlangsung sampai sekarang. Belum ada perjanjian damai permanen di antara mereka. Hanya ada kesepakatan gencatan senjata sementara.
Korut lantas berkembang sebagai negara otoriter yang para penguasanya berasal dari satu keluarga. Sistem ekonominya bersifat sentralistis. Negara menjadi penentu utama dinamika ekonomi domestik. Tidak ada pula kebebasan pers.
Saudaranya, Korsel, memilih jalur demokrasi liberal. Kebebasan politik dikombinasikan dengan kebebasan ekonomi dan akhirnya mengantar negara itu menjadi kekuatan penting industri teknologi di dunia. Salah satu produsen ponsel terbesar di dunia berbasis di Korsel. Budaya pop negara tersebut—musik dan film—mencapai jauh ke sudut-sudut dunia, termasuk ke Amerika Serikat.
Hubungan dua saudara Korsel-Korut penuh dinamika. Ada saatnya begitu mesra sehingga muncul harapan reunifikasi. Namun, ada saatnya pula hubungan keduanya tegang sehingga kenangan akan Perang Korea yang bengis segera muncul.
Pada pekan lalu, insiden menyedihkan terjadi di perairan perbatasan kedua negara. Seorang petugas perikanan Korsel meninggal akibat ditembak pasukan Korut. Sebelum ditembak, sang petugas sempat diinterogasi di perairan Korut selama enam jam.
Kubu oposisi dan para pengkritik menuduh pemerintahan Presiden Moon Jae-in bertindak secara tidak memadai. Otoritas Korsel dinilai gagal menolong warganya.
Kementerian Pertahanan Korsel lalu menjelaskan, saat itu sulit untuk berkomunikasi dengan Korut karena saluran komunikasi di antara keduanya buruk. Akibatnya, Korsel membutuhkan waktu lebih panjang untuk melakukan analisis intelijen dalam rangka mengetahui apa yang hendak dilakukan Korut terhadap petugas tersebut.
Di sisi lain, Korut memberikan sinyal cukup menarik. Pemimpin Korut Kim Jong Un meminta maaf atas insiden penembakan. Sementara Moon meminta maaf kepada rakyatnya. Ia mengakui pemerintahannya tak berhasil melindungi warga Korsel dalam insiden tersebut. Namun, ia menyerukan kepada Pyongyang agar tragedi di perairan perbatasan kedua negara dapat mengawali dialog dan komunikasi yang lebih baik antara Korsel dan Korut.
Harapan Moon akan komunikasi dan dialog yang lebih baik mewakili perasaan banyak kalangan. Hanya dengan saluran komunikasi yang lancar, masalah di antara dua saudara itu dapat diatasi. Hubungan Seoul-Pyongyang yang sempat membaik beberapa waktu lalu harus dikembalikan.