Belum ada survei internal di KPK yang bisa memastikan mengapa para karyawannya mengundurkan diri. Alasan ingin berkarier di tempat lain sebenarnya hanyalah alasan klise dan normatif.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Sebanyak 31 karyawan Komisi Pemberantasan Korupsi mengundurkan diri sejak KPK dipimpin Ketua KPK Komisaris Jenderal Firli Bahuri.
Terakhir, Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah, yang juga mantan Juru Bicara KPK, pamit meninggalkan lembaga antirasuah itu. ”KPK sudah berubah,” kata Febri Diansyah. Mundurnya sejumlah pegawai KPK disikapi beragam, termasuk di antara pimpinan KPK sendiri.
Secara normatif, Juru Bicara KPK menyebut, mundurnya sejumlah pegawai KPK adalah hal biasa dalam sebuah organisasi. Fenomena ”bedol desa” pegawai KPK, sejak 2016-2020, tercatat 157 pegawai telah mengundurkan diri. Ada pimpinan KPK yang menyayangkan mundurnya sejumlah karyawan KPK. Namun, ada pula pimpinan KPK yang menganggap karyawan yang mundur itu sebagai kalah dalam perjuangan melawan korupsi.
Belum ada survei internal di KPK yang bisa memastikan mengapa para karyawannya mengundurkan diri. Alasan ingin berkarier di tempat lain sebenarnya hanyalah alasan klise dan normatif. Bergabung dalam lembaga pemberantas korupsi tentunya bukan hanya sekadar job seeker, meski motivasi itu juga tidak bisa disalahkan. Mereka yang bergabung memiliki kesamaan nilai sehingga mereka mau bergabung. Seberapa pun kecilnya karyawan muda itu pasti punya kesamaan nilai bergabung dengan KPK, yakni membantu membersihkan Indonesia dari korupsi.
Pada awal pendiriannya, kode etik KPK sangatlah ketat. Bahkan, untuk urusan air minum pun pegawai KPK membawa sendiri. Tak boleh ada fasilitas apa pun yang diberikan kepada pegawai KPK. Nilai-nilai itu terus dijaga, membuat ada kebanggaan sebagai pegawai KPK. Namun, seiring dengan dinamika politik, nilai itu luntur. Nilai hedonisme mulai menjangkiti pimpinan KPK.
Betul kata Febri, KPK memang telah berubah. Perjumpaan kepentingan pemerintahan Presiden Joko Widodo dan DPR berhasil mereformasi KPK. Undang-Undang KPK direvisi. Pegawai KPK dijadikan aparatur sipil negara.
Independensi KPK lenyap setelah KPK dikelompokkan dalam rumpun kekuasaan eksekutif. KPK terasa mandul. Beberapa kasus besar, seperti kasus Harun Masiku, tak ada lagi ceritanya. Pimpinan KPK tak melakukan pembelaan ketika ada pegawai mendapatkan perlakuan tak semestinya, termasuk disiram air keras.
Ketika dukungan kepemimpinan meredup, dukungan pimpinan KPK memudar, wajar jika sebagian karyawan idealis itu meninggalkan KPK untuk berkarya di tempat lain. Jika tren ini tak bisa dikelola dengan baik, sejarah mungkin akan mengatakan, ”Kita pernah punya KPK, tapi KPK sudah tak berdaya.”
Ketika hal itu terjadi, koruptor akan bersorak. Kepercayaan publik kepada KPK berada di titik nadir. Ini merupakan kesuksesan propaganda, KPK dikuasai kelompok tertentu, KPK mempunyai agenda politik dan program pemberantasan korupsi menghambat pertumbuhan ekonomi. Padahal, sejatinya niat memberantas korupsi yang memudar.