Rupa dan Nilai Estetika
“Apakah seseorang harus menjadi filsuf dahulu sebelum berpuisi sebagai penyair?” Puisiku yang dijadikan sumber pertanyaan itu adalah “Bisik Malam”.
Puisi adalah salah satu rupa estetika.
Ketika buku kumpulan puisi saya berjudul Sunya (Gramedia, 2004) terbit, di medsos saat itu ada yang membahasnya. Tentu saja internet medianya. Ada pertanyaan apresiasi yang mengusik saya begini bunyinya: ”Apakah seseorang harus menjadi filsuf dahulu sebelum berpuisi sebagai penyair?” Puisiku yang dijadikan sumber pertanyaan itu adalah ”Bisik Malam”.
Bisik Malam
Pernahkah risik malam
Kupetik sehelai
Dengan jentik kidung
Jadi bisik puisi?
Yang berdialog virtual, berdebat mengenai tiga posisi. Pertama, untuk kedalaman makna butuh filsafat yang mengajari bertanya mendalam. Posisi kedua, tak perlu jadi filsuf lantaran puisi yang ditulis jujur dan punya kaidah sebagai puisi sudah cukup untuk tampil sebagai puisi. Ketiga, berpendapat untuk dua-duanya, tetapi tak perlu sekolah formal filsafat untuk jadi filsuf dan tidak perlu sekolah resmi untuk jadi penyair. Diskusi itu terjadi 1 tahun yang lalu, saat hidup dihayati di Jakarta, di mana profesi dihargai, tetapi imbalan penghargaan berwujud uang berada di papan atas. Artinya, nilai (baca: sebagai apa yang dipandang berharga oleh orang) ekonomi itu melebihi nilai lain.
Namun, menariknya di celah-celah ekonomisasi dan udara materialis, toh tetap ada yang mencari keseimbangan dalam hiruk pikuk melelahkan di kota besar untuk menghela napas memberi waktu dan ruang di akhir pekan, untuk menghirup oksigen dari kejenuhan asam arang polusi dalam bentuk menyimak puisi. Pertanyaan di atas langsung saja menjadikan saya terpekur 3 butir renung kecil. Yang pertama, mereka diskusi berdasar karya yang sudah jadi, yaitu puisi saya. Artinya, mereka terima sajian sudah ”selesai” sebagai hidangan yang disantap. ‘Bisik Malam’ siap tersaji sebagai hasil karya, bahasa ekonominya sebagai produk. Namun, mereka pernahkah bertanya bagaimana proses penulisannya? Disinilah kita dihadapkan pada tugas memaparkan proses demi apresiasi tak hanya atas dasar hasil.
Yang kedua, puisi ’Bisik Malam’ sebagai karya itu rangkuman antara mengalami malam yang berbisik, sebagai istilah kerennya ’aposteriori’ dan saat sudah jadi sebagai puisi ia muncul dengan judul (baca: bahasa ilmiahnya tesis) yaitu ’Bisik Malam’. Maksudnya, judul ini setelah proses menghayati aposteriori malam yang berlangsung unik itu, lalu diberi penamaan puisinya sebagai ’Bisik Malam’, bahasa kerennya lawan dari aposteriori, yaitu apriori.
Dengan cara berpikir yang sama, nilai-nilai kehidupan yang termaktub dan dihayati para bijak Nusantara dalam pepatah dan peribahasa adalah rumusan-rumusan kebijaksanaan hidup, berupa tesis-tesis kehidupan hasil penghayatan mengalami dan memverifikasi berlama-lama, sampai rumusannya tak lekang oleh matahari panas dan tak hancur oleh hujan alias mengabadi!
Di sini tergelincirnya metode membatinkan nilai dari peribahasa dengan cara menghafalkannya. Sebab, inti pengalaman nilai dengan prosesnya bila dilupakan literasi narasinya, akan dilupakan pula prosesnya. Seperti ’lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya’. Menghafalkan: mereduksi isi proses bagaimana ragam suku, adat dan kearifan-kearifan setempat. Menghafalkan juga mengerdilkan proses menghormati perbedaan yang kaya dari Nusantara ini. Yang ketiga, yang menjadi kunci tulisan ini ada pada soal menjelaskan apa itu puisi dan bagaimana memberi apresiasi untuk menaruhnya sebagai didik rasa dan intuisi manusia.
Ketika refleksi atas realitas hidup saya tuliskan dalam bentuk esai, maka di sana sisi argumentasi ilmiah atau posisi regionalitas budi yang jadi reflektornya tampil di depan. Sesudah menulis esai, rasa puas setelah membagi pikiran sebagai ide pencerahan atau sekedar catatan dan komentar peristiwa dalam bentuk esai sudah terwujudkan. Saat esai-esai terus saya tulis seorang resi sastra yang telah dipanggil Tuhan mengatakan bahwa ’inilah prosa’. Sementara almarhum melanjutkan yang direnungi dari peristiwa kehidupan dalam dan dengan ranah batin untuk memaknainya ringkas, pilihan kata bermakna itulah puisi.
Ketika refleksi atas pengalaman hidup sebagai irisan peristiwa yang kuhayati, lalu rumuskan dalam kata terpilih dan biasanya saya rasa-rasakan dengan raga batin, hingga sebuah kata atau sebentuk kalimat sudah saya tulis dan saya rasa cukup memuat yang mau saya maknai, jadilah puisi itu. Ketika pengalaman berdoa dengan Tuhan yang menjadi dialog-dialog batin untuk seperti cahaya saya mohon menerangi gelap remang hati untuk tetap mendengarkan sabdaNya dan kehendakNya saaat ini dan di sini, tetapi terkadang saya mohon untuk jadi pegangan hidup sebagai lilin bernyala di lorong-lorong gelap, maka bertahun-tahun kemudian terhunjukkanlah puisi doa dalam satu kalimat pendek DOA adalah sapa dalam DIA (kumpulan puisi 1980).
Lalu saya berlanjut meneruskan pertanyaan: proses merangkum ’DOA sebagai sapa dalam DIA’, ini merupakan pembelajaran saya untuk berpuisi. Jadi, apakah harus menjadi filsuf dahulu untuk berpuisi? Langsung anda bisa menjawab dari uraian saya di atas. Memahami dengan membaca proses itu: belajar menulis puisi dari dalam, dinamai metode ’intrinsik’, mengambil pemahaman dengan masuk ke proses penghayatan penulisannya. Bila Anda menganalisa dari luar, ini adalah ’ekstrinsik’, maka pasti Anda terpusat pada apa yang sudah jadi, karya tadi dan langsung mengkaitkan profesi penulisnya. Ini tidak salah karena mengapresiasi dari hasil karya dan tidak dari prosesnya. Justru saya ingin membagi narasi, betapa belajar menulis puisi itu butuh kerendahan hati mau ‘diajari’ dan mau belajar ke proses-proses berpuisi dari penyair-penyair yang bertahap guru atau suhu.
Saya bertanya pada Sapardi Djoko Damono, mengapa membaca puisi Anda itu lebih mudah untuk memahaminya (baik intrinsik) maupun ekstrinsik, semisal ’Hujan Bulan Juni’. Sedang mencoba membaca dengan menyimak dengan benar-benar puisi Goenawan Mohamad itu lebih sulit? Jawaban Sapardi melegakan saya, Ia menjawab, ”Puisi-puisi saya memang mengajak komunikasi, sedangkan puisi Goenawan itu lebih banyak solilokui! Anda tahu bukan, solilokui adalah dialog dengan diri sendiri atau cakap-cakap dengan diri sendiri, maka ’orang luar’ mesti memembus dahulu konteks solilokui dalam rasa dan batin yang cakap-cakap sendiri.” Lebih lanjut, adakah gelombang yang sama di antara penyair atau seniman atau orang biasa, saat menikmati dan mampu apresiasi intrinsik untuk karya seni, terutama puisi yang tidak hanya bisa menjadi ’kata bermakna’ yang dimusikalisasi. Namun pula, siap dipanggungkan dalam bentuk musik perkusi atau media bunyi lain?
Paskah ini, saya mengirimkan puisi ’Bisik Malam’ ke beberapa sahabat dalam rupa puisi yang sudah diracik dengan bagus, dengan latar foto bulan menandai suasana malam yang terangnya menerobos pohon-pohon oleh Mayang. Salah satunya, saya WA ke Petra, istri almarhum Djaduk Ferianto. Tengoklah balasannya dari Petra sebagai berikut: ”Jadi ingat mas Djaduk…. Bagi Dia bisik puisi akan jadi jentik kidung” (WA 13 April tahun 2020). Lalu, saya solilokui, cakap-cakap batin dengan diri sendiri dan termenung bertanya-tanya: ’gelombang immaterial apa yang menghantar dialog-dialog di atas?”
Untuk bisa ikut terlibat puisi ’Bisik Malam’, sekali lagi saya tuliskan:
Pernahkah risik malam
Kupetik sehelai
Dengan jentik kidung
Jadi bisik puisi?
Kata penyair sufi bernama Rumi, gelombang ini adalah ’cinta’, love is the bridge between you and everything. Saya terpekur lantaran disaat pandemik corona, kita semua diundang untuk mengalirkan satu gelombang energi kehidupan yang positif, tidak hanya untuk dokter, perawat, tenaga-tenaga medis, relawan dan pelayan-pelayan pemakaman yang mempertaruhkan nyawanya buat sesama anak bangsa. Namun, terutama agar kita semua mulai dari pemerintah dan warga-warga bersama-sama memviruskan energi positif kehidupan agar tangguh Covid-19 ini, dan jangan sekali-kali energi negatif saling menyalahkan atau nyinyir bahkan ketakutan.
Ajakan untuk menjadi satu arus gelombang pro-live ini mengesankan sekali wujudnya dalam pentas musik menghimpun dana dari studi Lokananta Solo Didi Kempot, lalu ajakan tidak mudik demi keselamatan sesama dan mempercepat proses selesainya pandemi agar tidak menular, muncul dalam pembuatan alat pelindung diri (APD) dari Anne Avantie, lalu menjahit alat pelindung diri bersama anak buah (karyawati-karyawati penjahitnya).
Bahasa seni memang berhakekat memuliakan kehidupan, sampai ke pemakaman korban yang tetap dihormati dengan pelayanan dramatis agar distansi tetap terjaga, maka yang melayat melambai dari jarak jauh dan yang memakamkan, melawan kecemasannya akan tertular atau menulari dengan doa puisi batin yang pasrah pada yang Ilahi, yang pasti menjaga dan melindungi.
Ungkapan saat ini saya tulis dalam doa:
Tuhan semoga kau berikan kami
mata jernih kasihMu sendiri
untuk membedakan mana prediksi
analisa situasi pandemi ini yang memancing kebenaran semu
seolah-olah seperti kebenaranMu
maka berilah mata budi, hati dan batin
untuk tetap hanya mempercayai jalanMu
yang sangat pasti
karena di awal merdeka, kami sebagai bangsa
kami dasarkan pada keyakinan bahwa kemerdekaan kami
karena berkatmu Tuhan, hingga kami menyatakan Proklamasi.
Amin.
Gelombang cinta yang dikatakan Rumi itu menakjubkan, tiap hari muncul dalam puisi lagu para artis muda generasi Rossa, Titi DJ, Seile, Dira Sugandi, Devano, Rio Vebrian, Afgan, Anji, Tompi, Once, Joe Taslim, Ruth Sahanaya, dengan pesan cintailah sesama anak bangsa di saat ini, jangan menyakiti. Mereka menyanyi berkidung bersama dan masing-masing dimulai dari Titi DJ yang mengingatkan jalan dari Tuhan yaitu mencintai dan tidak menyakiti. Jalan cinta inilah jalan untuk melewati pandemi.
Puisi sebagai karya seni, seperti juga novel, lukisan, bagaimana menilainya bahwa ia benar karya seni? Puisi itu mesti menampakkan jiwa senimannya. Ungkapan ini diteriakkan oleh Soedjojono dengan kata kunci: lukisan atau karya seni harus menjadi ungkapan jiwa yang tampak, ’jiwa ketok’ dalam ungkapan kritikus seni rupa Sanento Yuliman: ’jiwa tampak’. Berarti bahwa lukisan terbentuk oleh sapuan kuas, coretan dan torehan yang merupakan rekaman gerak tangan pelukis, yang ibarat jarum seismograf yang peka, mencatat temperamen dan greget (gerak emosi) pelukis. Sanento membahasakan jiwa tampak Soedjojono dengan enak (Sanento Yuliman), (estetika yang merabunkan: kritik dan esai seni rupa 1966-1992, DKJ 2020 hal. 254).
Seperti jawaban Sapardi bahwa puisinya adalah sebentuk komunikasi, maka saya belajar menuliskan proses berpuisi itu sebagai berikut:
HENING (Maret 2011)
bila kata menjadi sapa
bila titik menjadi garis
bila titik lengkung ditaut menjadi bulatan
dan bila garis dipotong kecil-kecil dalam titik
maka tautan hati menyerapnya
dalam satu rahim keheningan
garba-kah itu?
misteri hening kasihMu
Puisi ini berproses untuk berdialog berkomunikasi dengan Tuhan dalam hening. Renik-renik pengalaman hidup serta serpihan penghayatannya yang belum diolah dalam Dia adalah titik-titik yang pelan ditarik menjadi garis, lalu ditarik kepada-Nya, kerahim-Nya dalam hening. Maka puisi ini melanjutkan perjalanan menghayati garis-garis hidup dari hening sebelumnya yang dalam rahim dialog doa, dialog batin tersimpulkan bahwa kata-kata manusia saat jumpa dalam dialog dengan Tuhan, kata ini menjadi sapa! Itulah doa, kata jadi sapa dalam Dia bukan kata yang teriak, tetapi kata yang diam dalam hening. Dari hening manusia pelan menuju hening-Nya.
Dalam keheningan pagi, jiwa puisi, lalu menulis ’Pagi yang Hujan’ sebagai berikut:
Pagi yang Hujan
hujan kabut
mengurung
kalut
murung
(hujan pagi, 26 Oktober 2012)
Dalam bahasa ekspresi jiwa tampak Soedjojono, gelora sapuan kuas, ekspresi gejolak emosi pelukis mesti tampak dalam lukisannya. Dalam puisiku, ’jiwa tampak’ tak perlu gegap gempita atau riang suka cita, tetapi manusiawi sekali, sebaliknya dari itu semua ialah terungkap dalam ’Diam’ (puisi 2019, Juli). Lihatlah ungkapannya. Diam adalah pahasa paling pas, saat melepas sahabat pulang kepadaNya. Saat kematian bahasa diam tanpa kata, itulah usaha untuk mendialogkan diam-ku untuk bertemu dalam ’diamNya’ yaitu hening (Nya). Pada momen menghantar sahabat untuk dilepas menghadap-Nya.
(Mudji Sutrisno SJ, Guru Besar STF Driyarkara, Dosen Pascasarjana UI, Budayawan)