Lansia: Arif dan Bahagia
Seiring bertambahnya usia, pikiran manusia berkembang lebih jauh, ada produk sampingan langsung dari hidup yang lebih panjang dan telah mengalami lebih banyak hal.
Pandangan negatif tentang lanjut usia masih terjadi. Secara umum, kemunduran secara fisik memang tak dapat dimungkiri. Namun, bagaimana dengan kondisi psikisnya? Mari kita cermati hasil penelitian dengan fokus pada dua hal yang menunjukkan kesejahteraan psikologis mereka.
Banyak studi yang membahas mengenai kearifan di masa lansia meskipun kearifan pasti tidak hanya dimiliki kaum lansia.
Kearifan
Lawrence R Samuel (2017) mengatakan bahwa hubungan antara kearifan dan penuaan memiliki dasar dalam biologi: seiring bertambahnya usia, pikiran manusia berkembang lebih jauh, ada produk sampingan langsung dari hidup yang lebih panjang dan telah mengalami lebih banyak hal.
Lansia biasanya lebih mahir dari orang muda dalam dimensi kognisi tertentu, terutama yang melibatkan cara berbeda dalam memecahkan masalah, perencanaan hidup, dan membuat tujuan masa depan. Mereka yang dianggap ”arif” memiliki empati yang lebih besar, lebih tepat dalam memandang status emosional orang lain, dan lebih memperhatikan kesejahteraan orang lain.
Kearifan tampaknya memasukkan semacam ”kecerdasan emosional” yang berfokus pada hubungan antarmanusia. Jadi, tidak mengherankan jika lansia berfungsi sebagai sumber kearifan bagi orang muda, terutama dalam hal relasi dan membuat keputusan hidup.
Karl A Pillemer (2017), seorang profesor di bidang perkembangan manusia dari Cornell University, mengatakan bahwa orang lansia ”ahli” dalam menjalani masa-masa sulit dengan baik. Kearifan lansia Amerika dapat menjadi sumber panduan yang berguna dan penting bagi mereka yang lebih muda.
Dalam masyarakat agraris, sesepuh keluarga sering kali menjadi satu-satunya yang mengetahui bagaimana properti marganya harus diolah atau bagaimana menangani kekeringan maupun serangan hama. Tanpa pengetahuan para sesepuh itu, kelaparan bisa terjadi. Jadi berkonsultasi dengan lansia adalah hal yang wajar untuk dilakukan sejak dahulu.
Pillemer menyimpulkan, lansia mempunyai pengetahuan berdasarkan pengalaman tentang hampir setiap masalah yang dapat dilalui manusia. Orang-orang dari usia remaja hingga paruh baya akan menemukan bahwa peta jalan para sesepuh dapat membantu mereka untuk melihat situasi barunya sendiri dan untuk memilih cara hidup baru yang akan membuat mereka lebih bahagia. Orang muda hanya harus mau bertanya dan mendengarkan pendapat lansia.
Kebahagiaan
Menurut Maia Szalavitz (2013), beberapa penelitian terdahulu menunjukkan lansia lebih rentan terhadap depresi dan kesepian, yang dapat menyebabkan tingkat ketidakbahagiaan lebih tinggi. Namun, makin banyak penelitian terbaru menunjukkan bahwa kebahagiaan sebenarnya bisa meningkat setelah usia paruh baya, setidaknya ketika para ilmuwan memperhitungkan beberapa faktor non-biologis yang dapat memengaruhi laporan kepuasan diri.
Szalavitz menguraikan hasil studi yang dipimpin oleh Angelina Sutin dari Florida State University. Mereka mengeksplorasi apakah perbedaan kebahagiaan yang dilaporkan oleh generasi yang berbeda, paruh baya vs lansia, terkait dengan faktor-faktor yang tidak ada hubungannya dengan penuaan itu sendiri, tetapi dari situasi kehidupan yang mencerminkan kapan mereka lahir.
Hasilnya kesejahteraan psikis dapat meningkat seiring bertambahnya usia dan juga lintas generasi. Mereka yang lahir pada awal abad ke-20 memiliki tingkat kesejahteraan lebih rendah daripada mereka yang lahir baru-baru ini.
Setelah memperhitungkan fakta bahwa orang-orang tumbuh di era yang berbeda, ternyata rata-rata orang-orang mempertahankan atau meningkatkan kesejahteraan mereka seiring bertambah usia.
Bahkan, mereka yang lahir di masa-masa sulit akan menampilkan peningkatan dalam kebahagiaan seiring bertambahnya usia, atau setidaknya mereka tak akan menjadi tidak bahagia. Meski perubahannya tidak sebesar perbedaan kebahagiaan yang muncul karena lahir di masa lebih baik, kebahagiaan/kesejahteraan psikis bisa diukur dan terjadi secara konsisten.
Dikaitkan dengan hasil studi terkait depresi, juga terlihat peningkatan seiring bertambahnya usia. Sutin menjelaskan bahwa ada kemungkinan lansia memang ”berayun” di antara dua keadaan tersebut. Usia juga mungkin mendorong seseorang ke satu ekstrem atau lainnya. Hal ini menjelaskan mengapa umumnya orang cenderung melihat lansia itu sedih, kesedihan lebih terlihat dan lebih sesuai dengan harapan tentang tahap kehidupan ini.
”Ketika kita masih muda, sangat mudah melihat orang yang lebih tua mengalami berbagai kehilangan, seperti masa muda, mobilitas, maupun orang yang dicintai. Kita berasumsi bahwa semua kehilangan itu akan membuat orang lanjut usia tidak bahagia. Tampaknya lebih sulit untuk melihat manfaat dari penuaan, seperti rasa bangga terhadap anak dan cucu, karier yang bermakna, lebih percaya diri, dan kearifannya. Ada banyak alasan untuk bahagia di masa lansia, tetapi mungkin tidak terlihat senyata seperti kerugiannya,” kata Sutin.
Menurut Sebastian Ocklenburg (2020), hampir tidak ada orang yang bahagia sepanjang waktu dan ketidakbahagiaan adalah pengalaman umum bagi kebanyakan orang. Terdapat bukti bahwa usia menjadi faktor yang berpengaruh kuat pada ketidakbahagiaan. Hasil studinya menunjukkan, di seluruh Eropa dan Amerika Serikat, ketidakbahagiaan mencapai puncaknya pada akhir tahun empat puluhan, khususnya pada usia 49 tahun.
Secara umum, ketidakbahagiaan mengikuti kurva berbentuk bukit di sepanjang usia, anak-anak kecil memulai dengan ketidakbahagiaan yang agak rendah yang terus meningkat hingga usia 49 tahun. Selanjutnya, ketidakbahagiaan menurun lagi dan lansia rata-rata menurun ketidakbahagiaannya dibandingkan dengan orang yang berusia sekitar 49 tahun. Hasil penelitian ini sesungguhnya sangat mendukung keberadaan ”krisis paruh baya” sebagai fenomena umum di banyak negara.
Analisis Ocklenburg di masa usia lanjut kebahagiaan meningkat lagi. Ini disebabkan, pertama, seseorang mungkin menyerah dalam memenuhi impian yang mustahil setelah usia 49 tahun dan menerima tujuan yang realistis. Ini bisa membantu dalam mengurangi ketidakbahagiaan.
Kedua, orang yang kurang bahagia bisa hidup lebih lama, yang menyebabkan berkurangnya ketidakbahagiaan di usia tua. Ketiga, ini mungkin efek kontras, di mana lansia melihat bagaimana orang lain di generasi mereka jatuh sakit dan meninggal dan merasa lebih bersyukur karena masih dalam keadaan sehat. Hal ini mengurangi ketidakbahagiaannya.
Hasil penelitian mengenai lansia di atas memang berasal dari negara maju. Bagaimana dengan lansia di Indonesia, sebuah negara dengan beragam suku bangsa dan kepulauannya? Menua bukan sekadar proses biologis semata. Proses budaya setempat pun sangat berperan terhadap perkembangan psikologis para lansianya.
Secara sekilas penulis berasumsi bahwa apa yang dihasilkan di negara Barat itu tidak jauh berbeda untuk kondisi lansia yang tinggal di kota besar di Indonesia, tetapi bukan untuk lansia di pedesaan. Terlebih apabila mengingat bahwa lansia adalah kelompok usia yang paling memiliki kekhasannya bagi setiap individu. Oleh karena itu, asumsi ini masih menjadi tantangan untuk dibuktikan lebih lanjut.
Salam sehat.