Kasus Joko Tjandra merupakan momentum membersihkan mafia peradilan yang berakar. Dengan pemeriksaan model seperti sekarang, yang terkena hanyalah orang rakus yang apes karena ketahuan.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Kejaksaan mengambil langkah cepat. Jaksa Pinangki Sirna Malasari diadili. Proses di kejaksaan lebih cepat daripada proses tersangka lain di kepolisian.
Jaksa Pinangki diadili di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (23/9/2020). Langkah cepat kejaksaan diapresiasi. Proses di kepolisian belum ada kemajuan. Publik berharap kecepatan penanganan Pinangki adalah untuk membongkar siapa pun yang terlibat dalam kasus itu, bukan dalam semangat lain, termasuk kemungkinan diambil alih oleh KPK.
Dalam dakwaan disebut nama Jaksa Agung ST Burhanuddin dan Ketua Mahkamah Agung (2012-2020) Hatta Ali. Nama itu disebut dalam rencana aksi membebaskan Joko S Tjandra melalui jalur permintaan fatwa ke Mahkamah Agung dengan biaya 100 juta dollar AS. Di luar sidang, Kejaksaan Agung mengatakan, nama jaksa agung hanya dicatut dalam rencana aksi. Begitu juga Hatta Ali menyebut namanya dicatut untuk ”jualan” Pinangki. Biarlah pengadilan yang membuktikan.
Pemeriksaan secara terpisah di Polri dan Kejaksaan Agung bisa menimbulkan kompleksitas tersendiri. Kasus Joko Tjandra perlu dilihat dalam sebuah konstruksi besar perkara ”operasi” pembebasan Joko Tjandra yang melibatkan banyak aktor di banyak lembaga. Masalahnya, apakah pemeriksaan terpisah akan mampu membangun konstruksi hukum yang utuh atau justru konstruksi hukum untuk melindungi korps.
Apakah penghapusan red notice Joko Tjandra hanya berdiri sendiri dan tidak terkait dengan pengeluaran izin perjalanan Joko Tjandra. Apakah Pinangki adalah aktor tunggal di lingkungan kejaksaan, atau ia bekerja dengan pihak lain atau aktor lain untuk menjalankan operasi pembebasan Joko.
Pemeriksaan secara terpisah menyulitkan mendapatkan gambaran yang utuh dari operasi pembebasan Joko Tjandra. Relasi antaraktor—Pinangki-Anita Kolopaking-Prasetijo Utomo-Andi Irfan Jaya-Joko Tjandra—akan sulit tergambarkan secara utuh dalam pemeriksaan model terpisah sekarang ini. Sementara dalam sistem peradilan pidana dikenal model saksi mahkota.
Kita mendorong KPK menyupervisi kasus ini jika KPK mempunyai kemauan. Pengambilalihan oleh KPK sebenarnya bisa menambah bobot kepercayaan pada penanganan kasus itu dan menambah kepercayaan publik kepada KPK yang sedang berada di titik nadir. KPK dengan posisinya yang relatif independen lebih bisa membangun konstruksi kasus itu tanpa harus dibebani semangat melindungi. Bukankah UU KPK memberikan amanat untuk fokus pada aparat penegak hukum.
Tak ada kepemimpinan yang tegas ke mana penegakan hukum mau diarahkan. Karena apa? Benturan kepentingan. Padahal, kasus Joko Tjandra merupakan momentum membersihkan mafia peradilan yang berakar. Dengan pemeriksaan model seperti sekarang, yang terkena hanyalah orang rakus yang apes karena ketahuan. Kita mendorong kepada Pinangki, Anita, dan Prasetijo Utomo untuk sekalian menjadi pengungkap kasus saja. Dengan cara itu, mereka bisa membantu penegak hukum mengurai praktik mafia.