Tantangan 60 Tahun Hari Tani
Maju mundurnya cita-cita kemerdekaan nasional, demokrasi, kemakmuran rakyat, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sangat dipengaruhi sejauh mana pemerintah mampu menyelenggarakan reforma agraria.
Tanggal 24 September, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 163 Tahun 1963, diperingati sebagai Hari Tani. Keputusan didasarkan pada tanggal ketika Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau UU PA 1960 disahkan dan karena akhir September petani mulai bersiap turun ke sawah.
UU PA 1960 dipandang sebagai hari kemenangan bagi rakyat tani Indonesia karena menjadi dasar hukum bagi penyelenggaraan land reform yang akan membebaskan petani dari pengisapan manusia atas manusia sehingga tercipta masyarakat adil dan makmur.
Baca juga : 150 Tahun Belenggu atas Hak Tanah
Land reform dalam konteks UU PA 1960 adalah land reform yang diperluas (Boedi Harsono, 2008) yang meliputi Panca Program Agrarian Reform Indonesia, yaitu: (1) pembaruan hukum agraria melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi nasional; (2) penghapusan hak-hak asing dan konsesi kolonial atas tanah; (3) mengakhiri pengisapan feodal; (4) perombakan penguasaan, pemilikan, dan hubungan hukum terkait pengusahaan tanah untuk pemerataan kemakmuran dan keadilan (land reform); dan (5) perencanaan persediaan dan peruntukan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya secara terencana.
Pengabaian
Pertama, dari segi pembaruan hukum. Pemerintahan pasca-Orde Baru telah melakukan upaya pembaruan hukum atas sejumlah UU terkait agraria. Perubahannya tampak pada bentuk konsesi, seperti hak pengusahaan hutan dan kontrak karya pertambangan yang diubah menjadi izin pengusahaan, kecuali dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang justru diberikan hak.
Pemerintahan pasca-Orde Baru telah melakukan upaya pembaruan hukum atas sejumlah UU terkait agraria.
Namun, pembentukan hukum baru ini beberapa pengaturannya bertentangan dengan UUD 1945, seperti UU Migas, UU Sumber Daya Air, UU Penanaman Modal, UU Kehutanan, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, serta UU Perkebunan.
Fakta hukum di atas menunjukkan rakyat menjadi pelaku pembaruan hukum agraria melalui pengujian UU yang berdampak pada adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberikan landasan bagi prinsip-prinsip penguasaan negara atas sumber-sumber agraria yang demokratis berkedaulatan rakyat; konstitusionalitas reforma agraria, hak petani, hak nelayan, dan masyarakat adat; pengakuan atas hutan adat, hak rakyat atas air, dan hak-hak rakyat di perairan pesisir dan pulau-pulau kecil; dan landasan penyelesaian agraria.
Baca juga : RUU Cipta Kerja dan Pertanahan
Kedua, terkait hak-hak asing dan konsepsi kolonial atas tanah. Memang hak-hak asing telah dihapuskan, bahkan obyek tanahnya masuk dalam kategori tanah obyek reforma agraria (TORA), tetapi konsepsi ala kolonial bisa hidup kembali melalui bentuk baru asas domain dan pemberian konsesi agraria yang terlalu lama dan terlalu luas, serta penguasaan penuh pulau-pulau kecil untuk penanaman modal asing.
Domein veklaring memang telah dihapus oleh UU PA 1960, tetapi penunjukan dan penetapan hutan, penggunaan tanah untuk kepentingan pemerintah dan swasta yang mengabaikan hak-hak tradisional yang bersifat turun-menurun, menunjukkan konsepsi penguasaan tanah ala kolonial masih terjadi.
Ketiga, terkait mengakhiri pengisapan feodalisme. Melalui UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, diatur bahwa petani yang menggunakan tanah negara diberikan hak sewa. Selain melanggar ketentuan UU PA 1960 yang telah mengatur bahwa hak sewa tanah pertanian adalah hak sementara yang nantinya akan dihapus, pengaturan ini juga menjadikan negara tuan tanah yang memungut sewa dari petani. Untunglah pengaturan ini diputuskan bertentangan dengan UUD 1945 oleh MK.
Melalui UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, diatur bahwa petani yang menggunakan tanah negara diberikan hak sewa.
Keempat, dari segi pelaksanaan land reform. Setelah berakhirnya era Soekarno, reforma agraria tak diselenggarakan oleh Soeharto. Setelah Orde Baru berakhir, justru gerakan petani yang memelopori reforma agraria, kedaulatan pangan, dan pemajuan hak petani.
Reforma agraria kembali jadi agenda negara melalui Tap MPR No IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, lalu agenda pembangunan di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagaimana diatur dalam UU Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025, UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, serta PP Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar. SBY bermaksud menerbitkan PP Reforma Agraria, tetapi PP tak kunjung disahkan hingga masa kerja SBY berakhir.
Baca juga : Mendesakkan HGU 90 Tahun
Di masa Presiden Joko Widodo, guna mewujudkan reforma agraria, Presiden menerbitkan Inpres Moratorium Sawit, Perpres Penyelesaian Penguasaan Tanah di Kawasan Hutan, dan Perpres Reforma Agraria.
Kebijakan reforma agraria menargetkan sembilan juta hektar (ha) berupa kawasan hutan yang akan dilepaskan sebanyak 4,1 juta ha, tanah HGU yang habis masa berlakunya dan tanah telantar 1 juta ha, serta legalisasi aset sebanyak 3,9 juta ha.
Dilihat dari segi keterhubungan antara TORA dan subyek reforma agraria, yaitu petani, nelayan kecil, pembudidaya ikan kecil, dan masyarakat berpenghasilan rendah di perkotaan, tak semua obyek TORA terhubung dengan subyek reforma agraria karena praktis redistribusi tanah hanya akan terjadi di kawasan perkebunan dan kawasan hutan.
Baca juga : Kompleksitas Tanah Negara
Meskipun dalam Perpres Reforma Agraria disebutkan sumber TORA juga berasal dari tanah timbul dan HGB yang habis masa berlakunya, yang berpotensi untuk diakses subyek reforma agraria masyarakat perdesaan pesisir dan perkotaan, dalam pelaksanaannya sertifikasi tanah yang lebih dominan daripada redistribusi tanah.
TORA juga berasal dari tanah hasil penyelesaian sengketa dan konflik agraria. Namun, hingga kini konflik agraria tetap masif terjadi. Ini menunjukkan, mekanisme dan kelembagaan yang ada untuk menyelesaikan konflik agraria tidak memadai dan model pembangunan melanggengkan konflik agraria.
Kelima, tentang rencana semesta penggunaan tanah, sudah ada UU Penataan Ruang dan produk hukum daerah yang mengatur rencana tata ruang/wilayah, perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, dan zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, tetapi banyak tumpang tindih izin dan kawasan, alih fungsi lahan pertanian, dan terhalangnya akses nelayan ke wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Maju mundurnya cita-cita kemerdekaan nasional, demokrasi, kemakmuran rakyat, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sangat dipengaruhi sejauh mana pemerintah mampu menyelenggarakan reforma agraria. Oleh karena itu, UU PA 1960 perlu dilaksanakan secara konsekuen, bukan liberalisasi agraria, pertanian, dan pangan melalui Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
Gunawan, Penasihat Senior Indonesian Human Rights Committee for Social Justice; Panitia Pengarah Komite Nasional Pertanian Keluarga