Rabies, Penyakit yang Terabaikan
Meski sudah dikenal sejak sebelum Masehi dan sudah ada vaksin untuk memberantas, rabies masih menjadi masalah di Indonesia. Perlu kemauan politik dan disiplin kuat agar Indonesia bisa bebas rabies.
Rabies, yang dikenal setidaknya sejak abad ke-2 sebelum Masehi di Mesopotamia (kini Irak), sampai saat ini masih menjadi beban banyak negara, termasuk Indonesia.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan, rabies menyebabkan 59.000 kematian setiap tahun di lebih dari 150 negara. Sebagian besar (95 persen) kasus terjadi di Afrika dan Asia.
Di Indonesia, data Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, pada 2013 terjadi penurunan kasus gigitan hewan penular rabies (GHPR) dibandingkan dengan tahun 2012, dari 84.750 kasus menjadi 69.136 kasus. Namun, kasus meningkat selama dua tahun kemudian serta kembali menurun pada 2016 menjadi 64.774 kasus. Kematian akibat rabies di Indonesia pada 2013-2018 tercatat 631 orang.
Secara global, beban ekonomi rabies diperkirakan 8.6 miliar dollar AS per tahun (setara dengan Rp 129 triliun). Perkiraan ini dihitung berdasarkan beban dari penyakit tersebut, yakni kematian, biaya perawatan rumah sakit, obat-obatan (termasuk vaksin antirabies dan obat), serta kerugian ekonomi akibat tidak bisa berkegiatan. Kerugian ekonomi lain adalah biaya pengendalian dan pemberantasan rabies.
Bisa diberantas
Padahal, penyakit zoonosis yang disebabkan virus rabies dari genus Lyssavirus, keluarga Rhabdoviridae ini bisa diberantas dengan vaksinasi. Anjing merupakan sumber virus paling umum. Sebanyak 99 persen kematian manusia diakibatkan oleh gigitan anjing pembawa virus rabies yang lazim dikenal sebagai anjing gila.
Minimal 70 persen populasi anjing harus divaksinasi untuk memutus rantai penularan di antara anjing serta ke manusia.
Negara-negara yang melaksanakan program eliminasi berhasil menurunkan kasus dan kematian akibat rabies, bahkan bebas rabies. Program umumnya berupa vaksinasi massal anjing. Minimal 70 persen populasi anjing harus divaksinasi untuk memutus rantai penularan di antara anjing serta ke manusia.
Masalahnya, demikian WHO, di sejumlah negara, data terkait rabies sangat minim. Sistem surveilans yang kurang baik, tidak terlaporkannya kasus, sering tak terdiagnosis serta tidak adanya koordinasi antarsektor yang terlibat menjadi penyebab utama rendahnya perkiraan total beban penyakit.
Baca juga: Menuju Bebas Rabies 2030
Boleh dibilang, rabies adalah salah satu penyakit tropis yang terabaikan (NTD). Sekitar 80 persen kasus pada manusia terjadi di perdesaan di mana kesadaran dan akses pada pencegahan gigitan anjing gila secara layak sangat terbatas, bahkan tidak ada. Saat virus sampai ke sistem saraf pusat, peradangan cepat dan fatal terjadi pada otak dan sumsum tulang belakang. Penderita menjadi ganas (80 persen) atau lumpuh, lalu meninggal dunia. Tragisnya, hampir separuh kasus terjadi pada anak usia di bawah 15 tahun.
Di Indonesia, saat bernama Hindia Belanda, rabies dilaporkan pertama kali oleh Esser tahun1884 pada seekor kuda di Bekasi, Jawa Barat. Kemudian, kasus rabies pada kerbau dilaporkan tahun 1889. Rabies pada anjing dilaporkan oleh Penning tahun 1890 di Tangerang.
Kasus rabies pada manusia dilaporkan EV de Haan pada seorang anak di Desa Palimanan, Cirebon, 1894. Selanjutnya, rabies dilaporkan menyebar ke beberapa wilayah di Indonesia. Tahun 1953 di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Barat. Kemudian, tahun 1956 di Sumatera Utara.
Upaya pemberantasan
Menurut buku Masterplan Nasional Pemberantasan Rabies di Indonesia yang disusun Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian bersama Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Lembaga Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID), dan Perlindungan Hewan Dunia (WAP), terbitan 2019, rabies masih menjadi masalah pada 26 dari 34 provinsi di Indonesia serta menjadi salah satu penyakit prioritas nasional.
Targetnya, Indonesia bebas rabies pada 2030 melalui Program Pemberantasan Rabies Bertahap Seluruh Indonesia (PrestasIndonesia). Sebenarnya, tahun 2008, Indonesia bersama negara-negara ASEAN menerapkan strategi eliminasi regional untuk memberantas rabies tahun 2020. Rupanya belum tercapai.
Dua pendekatan
Ada dua pendekatan dalam rencana induk Indonesia, yaitu pendekatan zona berdasarkan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan dikombinasikan pendekatan tahapan yang mengadopsi Stepwise Approach toward Rabies Elimination (SARE).
Baca juga: Lakukan Pertolongan Pertama Setelah Digigit Hewan Penular Rabies
Kebijakan terkait dengan pengendalian dan pemberantasan rabies adalah melalui vaksinasi hewan penular rabies, terutama anjing, serta pelaksanaan pendekatan one health melalui tata laksana kasus gigitan terpadu (integrated bite cases management/IBCM), yakni koordinasi dan kerja sama teknis antara petugas kesehatan dan kesehatan hewan. Diharapkan, setiap kasus gigitan yang dilaporkan ke petugas kesehatan ditindaklanjuti dengan investigasi lapangan sesuai dengan standar oleh petugas kesehatan hewan.
Skor SARE Indonesia, menurut Aliansi Global untuk Pengendalian Rabies (GARC), adalah 2,5 dari 5. Hal ini menandakan program pengendalian rabies dilaksanakan secara nasional dengan kolaborasi antarsektor yang jelas.
Meski demikian, rabies belum berhasil dieliminasi dari Indonesia. Beberapa tahun terakhir justru terjadi penularan di daerah baru, seperti Bali tahun 2008, Nias pada 2010, Pulau Larat, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, serta Pulau Kisar dan Daweloor, Kabupaten Maluku Barat Daya, tahun 2012. Selain itu, ada provinsi yang kembali muncul kasus rabies, seperti Kalimantan Barat pada 2014 serta Nusa Tenggara Barat yang sempat dinyatakan bebas rabies, tetapi tahun 2019 kembali ada kasus.
Pemerintah mengakui, upaya pemberantasan rabies pada sebagian besar pulau di Indonesia belum berhasil karena beberapa alasan. Hal itu di antaranya kesulitan dalam melakukan vaksinasi pada anjing liar, hambatan manajemen rantai dingin dan pengiriman vaksin ke daerah terpencil, perbedaan sosial budaya di Indonesia, serta kurangnya sumber daya.
Pada 28 September akan diperingati Hari Rabies Sedunia ke-14 dengan tema ”Akhiri Rabies: Kolaborasi, Vaksinasi”. Tujuannya, meningkatkan kesadaran pencegahan rabies dan menyoroti kemajuan dalam mengatasi penyakit mengerikan ini. Tanggal itu juga menandai peringatan kematian Louis Pasteur, ahli kimia dan mikrobiologi Perancis yang pertama kali mengembangkan vaksin rabies.
Komunitas global bertekad mencegah kematian manusia akibat rabies dari gigitan anjing pada 2030. Rabies masuk dalam peta jalan WHO 2021-2030. Untuk rabies, WHO bekerja sama dengan FAO dan Organisasi Dunia untuk Kesehatan Hewan (OIE).
Bagi Indonesia, pendanaan pengadaan vaksin ditanggung bersama pemerintah pusat dan daerah. Namun, keterbatasan dana dan sejumlah hambatan lain menjadi alasan rendahnya cakupan vaksinasi. Perlu ada kemauan politik dari seluruh pemangku kepentingan dalam mengatasi segala hambatan agar tidak ada lagi orang atau anak meninggal akibat rabies.