Bagaimana Mengatasi Intrik AS-China? (3)
Bagaimana akhir perseteruan AS-China ini? Akankah China akan terus konstan dengan suara damai jika semakin kuat ke depan, ataukah Amerika yang semakin agresif?
Bagaimana prediksi ke depan tentang akhir dari perseteruan AS-China ini? Akankah China akan terus konstan dengan suara damai jika semakin kuat ke depan? Pernyataan verbal China sejauh ini masih tetap dalam suara damai.
John Mearsheimer, pakar politik dan hubungan internasional dari University of Chicago, mengatakan, ini masih bagian awal dari persaingan dua kekuatan itu. Sebab, AS masih jauh lebih kuat ketimbang China.
Ke depan, Measheimer meyakini, dalam konteks alamiah negara-negara kuat, jika China diasumsikan menguat, China juga akan bertindak seperti AS. China akan memperluas ekspansi ekonomi hingga kekuatan kolosalnya. Militerisasi China, walaupun dengan pesan menjaga kedamaian domestik, akan semakin meningkat.
Dalam kondisi seperti itu, jika semakin kuat, naluri hegemoni China akan menguat. Sama seperti AS dengan Doktrin Monroe, yang menguasai Benua Amerika, China pun tidak akan ingin diganggu oleh AS. China akan melindungi kawasannya. Lihatlah dengan apa yang terjadi dengan Kepulauan Diaoyu (Senkaku) dan atau Laut China Selatan, demikian Mearsheimer.
Di samping AS yang secara alamiahnya akan membentuk koalisi, China pun akan melakukan hal serupa. Kali ini paling nyata adalah koalisi China dengan Rusia. Sudut pandang ini merujuk pada fakta historis soal pertarungan di antara negara kuat yang secara empiris memperkuat aliansi. China diprediksi juga akan melakukan seperti apa yang dilakukan AS ke depan. China tidak akan membiarkan AS leluasa, apalagi jika itu bertujuan menghambat China.
Konsekuensinya adalah ketegangan di kawasan. Ini yang akan dan sudah mendorong peningkatan militerisasi. Negara-negara di kawasan kini sedang dibuat berpikir keras. Atau mereka yang belum berpikir keras akan dibuat berpikir keras. Bagaimana menyikapi pertarungan AS versus China ke depan? Dalam pemikiran, mereka harus memilih berpihak pada salah satu atau netral. Semua pilihan memiliki konsekuensi masing-masing.
Siapa akan menang?
Kemudian muncul pertanyaan lanjutan. Siapa yang akan memenangi pertarungan ini? Ini jika AS dan China diasumsikan akan terus hidup dalam kondisi ”permusuhan”. Dengan asumsi ini, maka akan ada pemenang dan ada yang kalah. Sejarawan dari Yale University, Paul Kennedy, mengingatkan sejarah tentang fakta kebangkitan dan kejatuhan negara-negara kuat. Sejarah ini pun akan berulang. ”AS bisa jatuh, China juga bisa jatuh,” kata Kennedy.
Bagaimana potensi AS? Kennedy melihat anemia keuangan AS. Ini ditandai dengan defisit anggaran Pemerintah AS. Kennedy juga melihat secara historis fondasi utama kekuatan negara besar sehingga dia memiliki kekuatan global adalah perekonomian. Namun, AS sudah memiliki gejala memudar secara keuangan. ”Ini yang tidak pernah terjadi di masa lalu untuk AS,” demikian Kennedy.
Baca tulisan pertama: Amerika Si ”Jealous Guy” Versus China (1)
Namun, jika AS memudar dan China semakin melejit, apa yang akan terjadi? Potensi kekuatan unipolar tidak tertutup kemungkinan untuk terjadi, kali ini waktu berpotensi untuk berpihak kepada China. Seperti AS yang memiliki kekuatan unipolar sejak berakhirnya Perang Dingin, dengan demikian secara teoretis China juga akan bisa mencapai itu.
China sudah menepis ketakutan global. Jika China kuat, tidak akan hegemonik seperti AS. Faktor hegemonik ini adalah teori Barat, tak berlaku bagi China. Demikian selalu penekanan China.
Namun, Mearsheimer menekankan dari sisi alamiah negara kuat, mereka selalu ingin hegemonik. Tentu China berkata tetap ingin sebagai kekuatan yang damai. Akan tetapi, niat orang, kata Mearsheimer, termasuk niat pemimpin dan niat sebuah negara ke depan tidak bisa diduga. Tidak ada yang menduga Jerman di bawah Nazi akan menjadi agresif. Tidak ada yang menduga Jepang di bawah Kaisar Hirohito juga akan menjadi agresif.
Tidak ada yang menduga, tidak saja soal niat negara, tetapi juga tidak ada yang menduga siapa yang akan memimpin China kelak. Juga tidak ada yang bisa menduga seperti apa karakter pemimpinnya kelak. Semuanya bisa berubah. China kelak bisa memiliki seorang pemimpin yang bersikap damai atau agresif.
Jalan tengah
Jika diasumsikan China akan menguat dan AS yang belum pudar total terus merasa tertekan dan balik menekan, bagaimana ke depan? Kaum Jacksonian, sebuah aliran pemikiran politik di AS, menyebutkan akan ada jalan tengah.
Negara-negara kuat, baik multipolar maupun unipolar, meski kuat secara global, berpotensi memegang nilai-nilai. Hal ini dikatakan Michael C Desch dari University of Notre Dame, dalam diskusi di hadapan Mearsheimer.
Baca tulisan kedua: Poros AS ke Asia, Bertujuan Menekan China (2)
Desch memberi contoh yang terjadi di era Perang Dingin. Di era ini, AS dan Uni Soviet adalah dua kekuatan yang melebihi kekuatan negara mana pun dalam sejarah. Akan tetapi, dua kekuatan ini tidak pernah terlibat dalam dua perang besar walau hubungan tetap dingin. Dua negara ini hanya terlibat dalam perang kecil seperti di Semenanjung Korea dan Vietnam serta Afghanistan. Namun, perang ini tidak pernah menjadi sebesar Perang Dunia I dan Perang Dunia II.
Akan tetapi, Mearsheimer mengatakan, meski tidak terjadi perang besar di antara AS dan Soviet, sikap konstan AS terhadap Soviet adalah penekanan. Adalah Doktrin Eisenhower, merujuk pada nama Presiden Dwight D Eisenhower, yang melanggengkan era Perang Dingin tetapi tanpa berakhir dengan perang besar. Doktrin ini membuat AS fokus melindungi Timur Tengah, pemasok utama minyak, dari pengaruh komunisme internasional. Lewat doktrin ini, AS tidak merespons Uni Soviet di semua wilayah, tetapi fokus pada Timur Tengah.
Doktrin ini muncul berkat diskusi dan analisis mendalam tentang bagaimana menghadapi Uni Soviet pasca-PD II, dimana Uni Soviet jauh lebih kuat dari Nazi. ”Ada strategi dan ada pemilihan tentang strategi paling efektif,” kata Thomas G Mahnken, Center for Strategic and Budgetary Assessments (AS), dalam diskusi yang diselenggarakan pada 29 Juni 2017 oleh US Naval War College.
Dengan demikian, di samping sejarah perang di antara negara-negara kuat, pemikiran strategis juga terbukti berhasil menghindari perang besar di era Perang Dingin. Bukan tidak mungkin hal serupa ini juga bisa terjadi di era pertarungan AS-China.
Graham T Allison dari Harvard University mendukung arah menuju potensi damai antara AS dan China lewat negosiasi, hubungan dagang. Meski Allison juga tidak menutup kemungkinan benturan besar, ia melihat potensi perang bisa tidak terjadi. Perang, sekali lagi, tidak harus dalam wujud perang konvensional.
Bahkan, Allison tidak setuju dengan sebuah pandangan di AS bahwa ”Negara Tirai Bambu” telah mengganggu AS. Allison mengingatkan, kemungkinan ada kesalahan yang dilakukan AS sehingga mereka kalah dan memudar saat berhadapan dengan kekuatan baru China. Di AS juga muncul perdebatan agar AS mawas diri serta jangan beringas dan kalap mata pada negara lain.
Measheimer tidak menepis hal ini, termasuk potensi damai lewat hubungan ekonomi. Pertarungan di antara negara-negara kuat tidak menghilangkan relasi dagang. Namun, secara empiris, Eropa juga pada akhirnya pernah terjebak Perang Dunia I dan Perang Dunia II meski memiliki kedekatan ekonomi.
Bagaimana ke depan?
Secara alamiah, dari pertarungan negara-negara kuat, potensi peperangan memang tidak bisa ditepis. Akan tetapi, ada godaan bagi negara kuat untuk melakukan itu. Lalu di mana titik optimismenya? Mearsheimer mengatakan, di tengah pertarungan itu, di mana potensi perseteruan tidak pernah berhenti, sikap tarik ulur juga bisa terjadi.
Lebih optimistis lagi, Mearsheimer juga menunjukkan fakta empiris bahwa jika sebuah kekuatan bersikap agresif, dia akan jatuh. Jerman jatuh. Jepang juga jatuh karena terlalu agresif. Jatuh jika kekuatan itu bertindak kejam dan tidak bisa mengontrol diri. Sebab, negara-negara di kawasan letak kekuatan agresif itu akan beraliansi untuk menghadapi agresi. Ini menjadi pengingat bagi AS dan China akan risiko kejatuhan jika bertindak agresif.
Fakta empiris telah ditunjukkan oleh Allison. Tidak semua sejarah perseteruan di antara negara-negara kuat berakhir dengan perang. Dari 16 sejarah pertarungan, 12 saja yang berujung dengan perang. Oleh sebab itu, penyusunan strategi berdasarkan pemikiran saksama menjadi keharusan bagi dua kekuatan besar ini.
Satu hal yang menjadi pemikiran penting bagi AS adalah fakta bahwa China memasok uang ke AS untuk menutupi defisit anggaran. Korporasi AS meraup untung dari pasar China, melampaui keuntungan yang diraih korporasi AS di negara mana pun juga sekarang ini.
Pemikiran lain adalah proyeksi soal Asia, di luar China. Meski Jepang, misalnya, merupakan sekutu AS, bisnis korporasi Jepang juga mengakar di China, demikian juga Korea, Taiwan, hingga ASEAN. Tentu relasi bisnis tidak otomatis menghindari perang, tetapi omzet bisnis global dengan China sekarang ini melampaui omzet yang pernah terjadi dalam sejarah perdagangan antarnegara.
Dan pemikiran Kishore Mahbubani, profesor dari National University of Singapore, soal nilai-nilai Asia masuk akal juga menjadi perhitungan. Nilai-nilai kolektif, ketimbang individu, adalah warna Asia berdasarkan temuan Geert Hofstede, pakar psikologi sosial asal Belanda. China sendiri, meski perangainya tidak bisa ditebak, sebagaimana dunia juga tidak bisa menebak kemunculan Presiden Donald Trump, rasanya berpikir juga untuk mencegah kerusakan jika tidak bisa menahan nafsu perang.
Terakhir, andaikan ada asumsi China terus ditekan, China tidak akan mengalah. Mahbubani mengatakan, China selalu mengingat sejarah dipermalukan Barat seabad lalu. Tekanan Barat ini tidak akan dibiarkan terjadi. Jika perang menjadi pilihan, ini adalah pilihan ekstrem. Paul Kennedy memberikan peringatan, entah perang konvensional, entah perang dengan pesawat tanpa awak, menurut Paul Kennedy, Asia itu berpenduduk besar. Topografi Asia tidak datar, tetapi memiliki pegunungan dengan penyebaran senjata di mana-mana.
Untuk harkat dan martabat AS sendiri, dan agar tidak tidak berpotensi dipermalukan karena kalah dalam perang, Kennedy mengatakan jangan pergi ke Asia. Jangan memerangi China. Jangan menjadikan Asia menjadi ajang perang di mana sekutu AS juga ada. Asia terlalu besar. Kennedy mengingatkan sejarah Perang Vietnam dalam kaitannya dengan AS ini.
Mantan PM Australia Kevin Ruud menyukai istilah guangxi dalam konteks berelasi dengan China. Ruud yang pintar berbahasa China menekankan persahabatan. Mungkin bisa juga, dan ini paling efektif, AS sadar akan dirinya sebagai negara demokrasi. Negara AS yang memiliki demokrasi liberal dikenal menghargai hak-hak individu. Mengapa AS sulit menghargai eksistensi negara lain, apa sulitnya? (Habis)