Banyak faktor yang menentukan besaran ”yield” obligasi suatu negara sehingga tidak tepat jika kita menyalahkan harga obligasi hanya dengan membandingkan ”yield” berdasarkan informasi rating.
Oleh
Handy Yunianto
·5 menit baca
Sering kali pengamat mengatakan, biaya Surat Berharga Negara (SBN) Indonesia mahal karena imbal hasil yang ditawarkan tinggi dibandingkan negara berkembang lain. Bahkan, ada yang menuding pemerintah ”main mata” dengan para manajer investasi. Benarkah demikian?
Mungkin pengamat itu lupa atau tak melihat fakta lainnya bahwa imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 10 tahun ditransaksikan di level 0,54 persen, sedangkan Jepang yang peringkat (rating)-nya jauh di bawahnya, yield obligasinya laku di 0,02 persen. Apakah ini berarti US Treasury, instrumen paling likuid di dunia, juga salah pricing? Apakah ada ”main mata” antara Pemerintah AS dan para investornya?
Yield, dalam hal ini yield to maturity (YTM), merupakan istilah umum yang menggambarkan ekspektasi pengembalian dari berinvestasi di obligasi. Banyak faktor yang menentukan besaran yield obligasi suatu negara sehingga tidak tepat jika kita menyalahkan harga obligasi hanya dengan membandingkan yield berdasarkan informasi rating saja.
Yield, dalam hal ini yield to maturity (YTM), merupakan istilah umum yang menggambarkan ekspektasi pengembalian dari berinvestasi di obligasi.
Penelitian Jaramillo dan Weber (2012) menunjukkan bahwa yield obligasi negara tenor panjang sangat dipengaruhi oleh ekspektasi investor atas indikator-indikator ekonomi makro, seperti inflasi, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB), defisit anggaran, defisit neraca berjalan, dan rasio utang pemerintah terhadap PDB.
Selanjutnya, studi Gadanecz, Miyajima, dan Shu (2014) juga menyimpulkan bahwa imbal hasil obligasi negara dipengaruhi ekspektasi tingkat nilai tukar mata uang domestik terhadap dollar AS, dan faktor-faktor domestik lain, seperti inflasi, pertumbuhan PDB, defisit anggaran, dan credit default swap (CDS) sebagai patokan persepsi risiko berinvestasi.
Mengapa lebih tinggi?
Dengan mengambil contoh Indonesia, India, Meksiko, dan Filipina, terlihat yield obligasi Indonesia lebih tinggi, padahal inflasinya paling rendah. Kami melihat tingginya yield riil Indonesia ini sejalan dengan faktor risiko eksternal yang memang lebih tinggi.
Setidaknya ada empat indikator untuk melihat risiko eksternal, yaitu defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD), rasio utang luar negeri terhadap PDB, rasio cadangan devisa terhadap PDB, serta porsi kepemilikan asing di pasar obligasi.
Indonesia memiliki CAD lebih tinggi, yaitu 2,7 persen, dibandingkan India, Meksiko, dan Filipina yang masing-masing hanya 2,1 persen, 0,2 persen, dan 0,1 persen dari PDB-nya. Porsi utang luar negeri Indonesia terhadap PDB juga termasuk tinggi, yakni 36,1 persen, sementara India 19,8 persen dan Filipina 22,2 persen. Adapun cadangan devisa Indonesia terhadap PDB relatif kecil, yaitu 11 persen dibandingkan India dan Filipina yang masing-masing 15,4 persen dan 20,7 persen.
Perbedaan yang sangat mencolok adalah kepemilikan asing di pasar obligasi; dalam hal ini Indonesia yang tertinggi, mencapai 38,6 persen terhadap total outstanding. India dan Filipina hanya 4 persen dan 4,7 persen, berdasarkan data akhir 2019.
Relatif tingginya faktor risiko eksternal Indonesia turut meningkatkan risiko volatilitas rupiah. Jika kita bandingkan yield obligasi denominasi mata uang dollar AS, antara Indonesia dan Filipina, perbedaan yield-nya hanya 35 basis poin (bps), jauh lebih rendah dibandingkan dengan obligasi denominasi mata uang domestik yang mencapai 414 bps. Hal ini mengonfirmasi bahwa risiko rupiah di mata investor asing masih tinggi.
Relatif tingginya faktor risiko eksternal Indonesia turut meningkatkan risiko volatilitas rupiah.
Cara menurunkan ”yield”
Tentunya bukan berarti yield SBN tak perlu diturunkan. Yield yang tinggi akan menekan belanja negara, mengingat makin besarnya belanja bunga yang harus dikeluarkan pemerintah setiap tahun. Di APBN 2020, pos pembayaran bunga Rp 338 triliun atau 12,4 persen dari total belanja negara. Angka ini naik dibanding 2019 yang 11,9 persen dan juga lebih tinggi dibandingkan rata-rata lima tahun terakhir, yaitu 10,6 persen.
Ada tiga kunci untuk menurunkan yield SBN ke depannya. Pertama, menurunkan faktor risiko eksternal dengan menekan CAD. Pandemi Covid-19 sebenarnya sudah berhasil menurunkan CAD karena impor turun lebih dalam daripada ekspor.
Impor turun drastis karena sekitar 90 persen adalah untuk bahan baku dan barang modal, yang keduanya turun signifikan dengan adanya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) serta menurunnya tingkat permintaan yang mengganggu kegiatan investasi dan produksi. Jika risiko pandemi Covid-19 menurun ke depannya dan kegiatan ekonomi akan kembali bergerak, maka akan sangat mudah meningkatkan impor nantinya.
Supaya CAD berjalan bisa dijaga tetap rendah, peningkatan ekspor perlu terus didorong melalui diversifikasi barang ekspor (tak hanya komoditas/SDA), tetapi lebih ke barang dengan nilai tambah lebih tinggi), diversifikasi tujuan ekspor di luar pasar tradisional dan peningkatan peran Indonesia dalam rantai nilai global (global value chain). Impor juga harus bisa terus diturunkan dengan cara substitusi impor (sebagian sudah dilakukan, seperti dengan program B-30), serta peningkatan konektivitas industri dan wilayah.
Kedua, terus meningkatkan peringkat utang (sovereign rating) Indonesia. Konsistensi dalam melakukan disiplin fiskal, menjaga stabilitas makroekonomi, dan terus meningkatkan pertumbuhan ekonomi menjadi faktor penting untuk mempertahankan tren positif rating Indonesia. Salah satu pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan adalah meningkatkan aliran pendapatan domestik melalui peningkatan realisasi penerimaan pajak supaya bisa mengatasi ketergantungan pemerintah terhadap utang.
Kunci ketiga untuk menurunkan yield SBN di masa depan adalah dengan terus melakukan pendalaman pasar keuangan domestik, antara lain melalui perluasan basis investor. Dengan nominal PDB yang besar, dana pensiun dan asuransi Indonesia berpotensi untuk bisa tumbuh lebih besar lagi.
Dengan nominal PDB yang besar, dana pensiun dan asuransi Indonesia berpotensi untuk bisa tumbuh lebih besar lagi.
Per Januari 2020, total aset dana pensiun dan asuransi baru mencapai Rp 1.400 triliun atau sekitar 93 miliar dollar AS, bandingkan dengan Employees Provident Fund (EPF) Malaysia dan Central Provident Fund (CPF) Singapura yang memiliki dana kelolaan 210 miliar dollar AS dan 287 miliar dollar AS, padahal nominal PDB mereka hanya sepertiga Indonesia.
Selain itu, perlu dipertimbangkan juga adanya pemberian insentif fiskal, misalnya penurunan pajak investasi di obligasi pemerintah. Saat ini masih terjadi perbedaan perlakuan pajak investasi, misalnya dana pensiun menikmati pajak nol persen, reksadana mendapatkan pajak 5 persen, sementara asuransi dan nasabah ritel masih terkena pajak final 15 persen atas pendapatan bunga obligasi. Sementara investor asing bisa menikmati fasilitas kemudahan pajak (tax treaty).
Faktor risiko eksternal yang tinggilah yang menyebabkan Indonesia harus memberikan imbal saham riil yang lebih tinggi dibandingkan negara-negara yang lain. Pemerintah sudah mempunyai banyak strategi untuk menurunkan risiko eksternal ini, tetapi perlu dilihat eksekusi di lapangannya.
Peningkatan partisipasi investor lokal di pasar obligasi juga harus terus dilakukan sehingga dapat mengurangi ketergantungan pada investor asing dan memitigasi risiko yang timbul jika terjadi aliran modal keluar yang besar seperti terjadi Maret lalu. Porsi asing yang sudah turun cukup dalam tahun ini, seyogianya bisa dijadikan momentum untuk terus meningkatkan peran investor domestik di pasar SBN. Jika bukan kita yang menjaga, siapa lagi?
Handy Yunianto, Head of Fixed Income Research PT Mandiri Sekuritas