Apa pun pilihan kebijakannya, hemat saya bukan semata-mata PSBB-nya yang rancu, melainkan ketiadaan sinergi, absennya koordinasi, dan lemahnya komunikasi antar-pemangku kebijakan baik di pusat maupun daerah.
Oleh
Abdullah Yazid
·5 menit baca
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kembali memberlakukan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB. Sebagian pihak menilai PSBB tidak efektif dalam menekan laju kasus Covid-19. Pihak yang setuju memandang hanya PSBB satu-satunya cara jitu mendisiplinkan ketertiban masyarakat terhadap protokol kesehatan, dan di ujungnya mengurangi tingginya paparan kasus.
PSBB diatur dalam Undang-Undang No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Secara spesifik, PSBB termaktub di Pasal 59. Ayat (1) pasal ini berbunyi, ”Pembatasan Sosial Berskala Besar merupakan bagian dari respons Kedaruratan Kesehatan Masyarakat”. Konsekuensi PSBB diatur di Ayat (3): ”PSBB meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan/atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.”
Jika dianalisis secara umum, PSBB adalah tindakan necessary (perlu) dalam mengatasi wabah, tetapi insufficient (tak mencukupi) tanpa stimulus ekonomi. Pemerintah pusat dengan persetujuan DPR menjawab kebutuhan stimulus ekonomi dengan UU No 2 Tahun 2020. Praktik di lapangan, ketersediaan stimulus ekonomi belum juga menurunkan kurva pertumbuhan Covid-19.
Jika dianalisis secara umum, PSBB adalah tindakan necessary (perlu) dalam mengatasi wabah, tetapi insufficient (tak mencukupi) tanpa stimulus ekonomi.
Selain karena banyak faktor, ada kendala dalam menerjemahkan Pasal 6 UU No 6/2018: ”Pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertanggung jawab terhadap ketersediaan sumber daya yang diperlukan dalam penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan”.
Frasa ”ketersediaan sumber daya yang diperlukan”, dalam praktiknya, butuh waktu lama memeriksa pasien suspek sehingga petugas kesehatan tak langsung dapat mendiagnosis pasti sakit pasien.
Ada dua dampak utama yang timbul. Pertama, banyak keluarga pasien memperlakukan petugas kesehatan secara kasar, bahkan di beberapa tempat terjadi tindakan ambil paksa jenazah atau pasien suspek. Kedua, belum spesifik dipenuhi hanya perlindungan bagi tenaga kesehatan.
Sejak awal, sebenarnya pilihan PSBB lebih ringan dibanding karantina wilayah, sebagaimana diatur Pasal 55 Ayat (1) UU No 6 Tahun 2018: ”selama dalam karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat”.
Kata ”orang” ini bisa dimaknai semua orang: anak, dewasa, tua, laki-perempuan, kaya maupun miskin. Jika kelak di-review, seharusnya dimaknai sebatas ”orang miskin” agar kewajiban pemerintah menanggung beban hidup seluruh warganya lebih fokus pada yang benar-benar butuh.
Terkait PSBB, pasal ini jadi penyebab pemerintah enggan memberlakukan karantina wilayah dan memilih PSBB. Padahal, PSBB pun masih menyedot beban anggaran besar.
Kajian lain muncul di Pasal 50 UU No 6 Tahun 2018. Ayat (1): ”Karantina rumah dilaksanakan pada situasi ditemukannya kasus Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang terjadi hanya di dalam satu rumah”. Juga Ayat (3): ”Terhadap kasus sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dirujuk ke rumah sakit yang memiliki kemampuan menangani kasus.
Catatannya, seruan untuk tak keluar rumah atau imbauan bekerja di rumah tak bisa dikategorikan pembatasan sosial karena tak ada jaminan bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jadi, kebijakan stay at home, atau WFH, tak terlalu efektif.
Intinya, butuh sinergi, kecocokan, dan saling mengisi dengan UU No 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan Perppu No 23 Tahun 1959 tentang Darurat Sipil.
Jadi, kebijakan stay at home, atau WFH, tak terlalu efektif.
Plus-minus PSBB
Jika praktiknya seperti kemarin, fakta menunjukkan efektivitas PSBB rendah, dan jelas membebani anggaran negara. Secara ekstrem, pasal PSBB dapat dihapus sepanjang review dan evaluasinya dinilai tak sukses. Berdasar apa yang telah berlangsung sepanjang PSBB sebelumnya, ada sejumlah plus-minus yang bisa jadi catatan kebijakan selanjutnya.
Sisi positif PSBB ialah, pertama, PSBB urgen karena budaya disiplin kesehatan masyarakat Indonesia rendah. Sudah diberlakukan PSBB pun masih dilanggar, apalagi jika tak ada. Kedua, stimulus ekonomi sudah ditopang UU No 2 Tahun 2020 tentang Penanganan Pandemi. Ketiga, PSBB lebih rasional dibanding darurat sipil yang potensi kekacauannya bisa lebih besar.
Keempat, respons pengambil kebijakan, termasuk pemda, sudah bagus, yakni menerapkan PSBB sesuai kebutuhan daerah masing-masing. Kelima, memberikan pijakan peringatan status zona daerah: merah, kuning, hijau. Jadi lebih akurat penilaian status kesehatan suatu kawasan.
Keenam, tak ada praktiknya di negara lain karena kultur, cara pandang, dan kedisiplinan masyarakat Indonesia punya corak sendiri, tak dapat disamakan. Ketujuh, jika ada kekurangan, tinggal penyesuaian aturan turunannya di PP, peraturan menteri, ataupun perda. Kedelapan, PSBB telah sukses dalam pelaksanaannya karena adaptasi kebiasaan baru sudah terjadi di masyarakat: mengenakan masker, tempat cuci tangan, ataupun keluar rumah seperlunya.
Sementara sisi lemah PSBB, pertama, efektivitas rendah karena laju kurva tak juga turun dari hari ke hari. Kedua, jaminan stimulus ekonomi belum mendongkrak ketahanan ekonomi, daya beli, dan survivalitas masyarakat. Ketiga, redaksinya mengandung banyak keraguan secara implisit.
Sementara sisi lemah PSBB, pertama, efektivitas rendah karena laju kurva tak juga turun dari hari ke hari.
Keempat, penerapannya masih multitafsir di tingkat pengambil kebijakan, terutama pemda. Kelima, sudah terakomodasi tujuan filosofisnya di Perppu Darurat Sipil. Keenam, tak ada praktik serupa di negara lain. Ketujuh, kurang berdampak signifikan terhadap kontinuitas disiplin protokol kesehatan di masyarakat. Kedelapan, dampak strategisnya masih dipertanyakan, lebih-lebih jika dibandingkan dengan pilihan mengoptimalkan UU Wabah Penyakit Menular.
Apa pun pilihan kebijakannya, hemat saya bukan semata-mata PSBB-nya yang rancu, melainkan ketiadaan sinergi, absennya koordinasi, dan lemahnya komunikasi antar-pemangku kebijakan antara pusat dan daerah, akan menyisakan problem tersendiri yang berpengaruh pada signifikansi tujuan yang ingin dicapai.
Mengatasi pandemi di negara sekompleks Indonesia butuh fleksibilitas, saling kompromi, dan saling pengertian tingkat tinggi. Penanganannya sudah serius, tetapi tarikan politik dan asal beda kebijakan, rasanya hanya akan membuat masalah makin berlarut-larut.
Abdullah Yazid, Tenaga Ahli Anggota [A-41] Komisi IX DPR RI)