Perseteruan AS-China terus memanas. Apakah kedua negara terperangkap dalam ”jebakan Thucydides”? Apakah negara-negara kuat tertakdir untuk berperang?
Oleh
Simon Saragih
·5 menit baca
Pembicaraan di tingkat dunia sekarang ini adalah soal pertarungan negara-negara kuat. Hanya ada dua negara paling kuat sekarang ini, yakni AS dan China. Isu yang muncul adalah perseteruan seakan tidak ada akhir. Akan tetapi, sejarah soal pertarungan di antara pemilik kekuatan juga menunjukkan perang tidak perlu terjadi. Mengapa demikian? Berikut ulasannya dalam tiga tulisan bersambung.
Dunia damai karena negara-negara pada akhirnya menjadi demokratis serta hidup berdampingan secara damai. Postulat Francis Fukuyama ini dia tuliskan lewat bukunya, The End of History and the Last Man, terbitan 1992. Fukuyama menyatakan itu dengan asumsi negara-negara secara alamiah menjadi demokratis. Dan, menurut Fukuyama, adalah sistem demokrasi yang terbaik mewujudkan itu semua.
Namun, perdamaian global jauh dari kenyataan. Bahkan, negara demokratis itu sendiri jauh dari sikap demokratis. Ada juga perlawanan dari negara-negara yang hendak didemokrasikan lewat doktrin George W Bush (Presiden AS 2001-2009). Faktor nasionalisme dan identitas diri menjadi dasar penolakan penyebaran demokrasi yang juga dilakukan dengan absurditas.
Dalam diskusi di antara sesama alumnus Cornell University pada 11 November 2014, pakar politik dan hubungan internasional dari University of Chicago, John Mearsheimer, di hadapan Fukuyama mengatakan, ”Tidak akan ada The End of History.” Alasannya, demokrasi tidak terbukti otomatis memberi jaminan bagi kemajuan negara, misalnya secara ekonomi. Tentang ini, Mearsheimer membandingkan India dan China.
Alasan lainnya, sikap alamiah manusia tidak konsisten dengan premis Fukuyama yang secara implisit menyatakan semua negara bisa bersepakat secara umum soal prinsip utama. Tidak mudah bagi dunia menyepakati satu hal, termasuk menyetujui bahwa sistem demokrasi adalah yang terbaik, sebagai contoh. Akan tetapi, Fukuyama tetap yakin The End of The History tidak berubah. Waktu akan mengarah ke sana.
Lepas dari debat itu, dunia memang bukan sedang menuju damai. Dunia melanjutkan kembali sejarah pertarungan di antara negara-negara kuat. Hingga kejatuhan Tembok Berlin pada 1989, dunia berada dalam kondisi bipolar, dengan dominasi AS dan Uni Soviet. Ini merupakan era yang sarat dengan pertarungan dua kekuatan itu.
Uni Soviet jatuh. Setelah 1989, secara perlahan dunia memasuki kondisi unipolar dengan dominasi AS. Pada era ini AS adalah kekuatan tunggal tanpa lawan berarti. Penyebaran demokrasi ke Eropa Timur, dalam kolaborasi dengan Eropa, juga ke Timur Tengah. Pada era unipolar ini terjadi Perang Irak I dan II.
Demokratisasi tidak mulus di Eropa. Kini Timur Tengah, di sebagian wilayah, tidak kunjung stabil. Bahkan, muncul istilah, itu semua adalah perang yang tidak perlu dan memakan biaya besar, yang membengkakkan utang AS sendiri, yang kini sekitar 22 triliun dollar AS. ”Sebab, ada faktor nasionalisme, identitas di negara-negara sasaran penyebaran demokrasi. Mengapa kita harus pusing dengan sistem di negara lain. Mengapa kita menganggap sistem kita yang terbaik?” demikian Mearsheimer menjelaskan kegagalan perang.
Fukuyama, mengutip Samuel Huntington, mengingatkan unsur kultur yang ada di banyak negara adalah identitas yang hampir mustahil berubah. Inilah juga yang membuat perlawanan ada di mana-mana.
Ketika itu semua marak di tengah era unipolar, kekuatan alam mengubah dengan mengejutkan kekuatan unipolar. Bandul kini berayun, kini unipolar tidak ada lagi.
Sejak kapan? Paul Kennedy sejarawan dari Yale University merujuk pada buku Britain\'s Moment in the Middle East, 1914-1971 oleh Elizabeth Monroe. Dulu, ada momen Inggris bercokol di Timur Tengah. Momen berakhir perlahan dengan kehadiran AS, sebuah kekuatan baru. Kennedy mengatakan, ini dalam diskusi pada 3 November 2017 yang diselenggarakan The American Conservative.
Demikian pula, momen unipolar AS telah berakhir saat muncul kekuatan baru, China. Tentu, pencaplokan Crimea, wilayah Ukraina, oleh Rusia pada 2014 juga menjadi rujukan bagi momen unipolar yang hilang. Dengan demikian, dunia dihadapkan pada era multipolar, bukan bipolar (AS-China).
Namun, pertarungan paling menonjol dan menjadi pembahasan di seluruh dunia sekarang adalah antara AS versus China. Sejarah persaingan di antara negara-negara kuat dengan demikian sedang berulang, hanya negara-negara pelaku yang berganti.
”Jebakan Thucydides”
China muncul karena kekuatan ekonomi, penopang utama status sebagai negara kuat. AS yang masih kuat, walau mulai memudar secara ekonomi, mulai gelisah dengan kehadiran China. Hal ini pun menghidupkan lagi istilah ”jebakan Thucydides”. Negara-negara kuat tertakdir untuk berperang, demikian Graham T Allison dari Harvard University lewat bukunya berjudul Destined for War: Can America and China Escape Thucydides\'s Trap? terbitan 2017. Ini jelas kontras dengan analisis Fukuyama, dunia menuju aman.
Mengapa demikian? Mengapa pertarungan berulang? Dasarnya adalah keberadaan negara-negara kuat itu sendiri, yang memiliki karakter tak tenang jika ada pesaing. Karakter tidak tenang negara-negara kuat ini membuat Allison mengukuhkan istilah negara-negara kuat tertakdir untuk perang.
Negara-negara kuat berpotensi memasuki ”jebakan Thucydides”, merujuk nama sejarawan Athena, Thucydides. Jebakan ini mengacu pada karakter alamiah negara kuat, yakni gelisah karena kekuatan baru telah muncul. Apalagi jika kekuatan baru mengancam atau dipersepsikan menjadi ancaman bagi kekuatan lama. Ini menyebabkan tekanan struktural muncul dan bisa mendorong bentrokan.
Diskusi makin marak soal keberadaan negara-negara kuat dalam dunia multipolar ini. Konsekuensinya pun makin mengkristal. Mearsheimer, dalam bukunya, The Great Delusion: Liberal Dreams and International Realities, terbitan 2018, memperkuat analisis Allison. Menurut Mearsheimer, negara kuat itu secara alamiah tidak suka disaingi. Lebih jauh lagi, negara kuat itu ingin hegemonik dan ingin bebas berbuat apa saja.
Menguatkan tesisnya, Allison memimpin sebuah studi kasus yang dilakukan Harvard University Belfer Center for Science and International Affairs. Studi ini menemukan, dari 16 sejarah soal persaingan negara-negara kuat, 12 kasus berakhir dengan perang.
Memori lama tentang sejarah pertarungan negara-negara kuat bermunculan. ”Sejak kejatuhan Napoleon pada 1815, lebih dari separuh perang terjadi di antara negara-negara kuat. Jika konflik-konflik sebelumnya turut diperhitungkan, porsi perang di antara negara-negara kuat meningkat menjadi 80 persen dari keseluruhan perang yang pernah ada,” demikian dituliskan Gary Goertz dan Paul F Diehl dalam makalah berjudul Enduring Rivalries: Theoretical Constructs and Empirical Patterns, International Studies Quarterly, Vol. 37, No. 2, Juni 1993.
Lalu, apakah AS-China akan tertakdir untuk perang? Menyikapi munculnya China, ”Amerika itu orang yang cemburu.” Mearsheimer mengatakan itu di berbagai diskusi internasional, termasuk dalam diskusinya bersama Profesor Yan Xuetong dari Tsinghua University pada 17 Oktober 2019 di Tsinghua University, Beijing.
Ekonom AS peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2001, Joseph E Stiglitz, menunjukkan contoh kecemburuan AS ini, atau istilahnya ketidakrelaaan. ”Saat China mengambil alih posisi AS sebagai negara terkuat secara ekonomi, ada pihak di AS yang tidak setuju,” kata Sitglitz, yang berpidato saat diberi gelar kehormatan oleh BI Norwegian Business School, 14 September 2018.
Dana Moneter International (IMF) pada 2014 menyatakan, produk domestik bruto (PDB) China berdasarkan purchasing power parity (PPPs) sebesar 17,6 triliun dollar AS, mengalahkan AS dengan PDB 17,4 triliun dollar AS. (Bersambung)
Tulisan berikutnya: Poros AS ke Asia, Bertujuan Menekan China