Di ranah politik, suara-suara kasar semakin berdengungan. Semakin banyak pemimpin negara besar tidak lagi memperjuangkan kemerdekaan, keadilan sosial, atau kemaslahatan dunia, melainkan ”ego”.
Oleh
Jean Couteau
·4 menit baca
Dengan Covid-19, susah menghadapi masa kini, kan? Jadi, mengapa tidak lari ke masa depan, ke science-fiction (fiksi ilmiah)? Paling tidak membuat kita berpikir.
Saya tidak tahu apakah Anda sekalian pernah mendengar tentang L Spargue de Camp, seorang penulis science-fiction laris pada tahun 1950-an? Mengapa dia laris? Karena ramalannya. Di The Continent Makers, dia meramalkan bahwa pada abad ke-22, Brasil akan menjadi negara terkuat di dunia—di bawah kepemimpinan kaum elitenya, para Viagens. Brasil bisa mengungguli Amerika, China, dan Rusia. Tidak masuk akal, kan? Kecuali bila kita menelusuri apa yang melatarbelakangi keputusan Sprague menempatkan Brasil sebagai negara hegemonik masa depan.
Bukunya ditulis ketika Amerika, Uni Soviet, dan Eropa berada di ambang perang nuklir. Bila perang meletus kala itu, memang hanya Brasil yang cukup besar untuk mengambil alih estafet kepemimpinan dunia.
Itu tahun 1950-an. Kini, lain! Bila perang nuklir jadi meletus pada akhir abad ke-21, kita tahu bahwa bukan cuma Brasil yang luput dari penghancuran nuklir, tetapi juga Indonesia, Etiopia, dan Nigeria. Negara besar nan bebas aktif. Alhasil, demografi dunia pasti berubah: akan ada 300 juta penduduk di Brasil, 500 juta di Indonesia. Lebih dari satu miliar di Etiopia dan Nigeria, sedangkan penduduk China dan India turun menjadi 50 juta dan Amerika 70 juta, yang sebagian besar setengah bego, karena pengaruh radiasi.
Jadi, bisa Anda membayangkan situasi kelak bila kita membiarkan perang itu terjadi: Indonesia menjadi nomor wahid, dan siapa tahu, cukup maju untuk mengirim tim-tim peneliti ke China, India, dan Amerika guna menelusuri latar belakang kultural perang yang menghancurkan mereka semua. Dahsyat, kan?
Buku Sprague de Camp tentu saja adalah fiksi, dan perhitungan saya sekadar main-mainan. Meski demikian, skenario sejenis ini tidak mustahil jadi kenyataan. Bahkan, barangkali tak perlu menunggu anak-anak kita menjadi kakek-nenek. Bisa meledak sebelum akhir abad ini.
Tanda-tanda ke arah itu sudah banyak. Di ranah politik, bukankah suara-suara kasar semakin berdengungan. Bukankah semakin banyak pemimpin negara besar tidak layak dijadikan teman minum kopi bersama. Ya! Mereka tidak lagi memperjuangkan kemerdekaan, keadilan sosial, atau kemaslahatan dunia, melainkan ’ego’, yang mereka salah artikan sebagai kebesaran bangsa. Tepat seperti seratus tahun lalu, menjelang perang dunia pertama.
Ini tentu tidak terjadi secara kebetulan. Kini kapitalisme tidak lagi menjalin kepentingan bersama, melalui pertukaran modal, teknologi, dan gagasan di bawah perwasitan lembaga-lembaga internasional, seperti terjadi selama beberapa puluh tahun. Yang kini berlaku adalah pertarungan kasar antara kekuataan-kekuatan pasar ’bangsa’. Dengan kutub China di satu pihak, di mana modal, ideologi, benda, dan informasi bersirkulasi secara internal tanpa perlu diimbangi partner apa pun—maka suara sumbang dari Hong Kong dan Xinkiang dibungkam.
Di pihak lain, kutub Amerika, meskipun tercabik di negeri sendiri, justru kian galak presidennya. Pelaku-pelaku lain tidak membantu: India kian yakin diilhami kesaktian Khrisna di Mahabharata. Situasi tidak lebih kondusif di Pakistan, Iran, Arab Saudi, Turki, Israel, yang genderang perang senantiasa siap dikumandangkan atas nama Hussein, Jerusalem, khilafah, dan unsur sakral apa pun itu.
Di ujung Barat sana tinggal Eropa yang loyo, serta Putin, yang bentakannya mendadak mengagetkan kita semua. Di tengah kekacauan itu, pencetusnya bisa peristiwa sepele: tentara India yang bosan beradu jotos di Himalaya dan beralih ke bom. Mujahidin yang menguasai bom atom Pakistan, atau presiden Amerika yang lupa diri lebih dari biasanya.
Begitulah secara kasar situasi kini, Anda mengerti, kan, teman-teman? Sudah rawan! Akan tetapi, sabarlah, dampak Covid-19 akan segera terlihat di dalam ranah ekonomi dan politik.
Lebih-lebih dunia belum menanggung beban pemanasan global, air laut belum meluap membanjiri wilayah-wilayah pesisir, India dan China belum berebutan sumber air Brahmaputra. Menakutkan, kan? Apalagi pelerai tidak ada lagi, PBB dibiarkan tak berdaya, Paris Climate Agreement (Perjanjian Iklim Paris) tidak diindahkan, dan Peradilan Internasional Den Haag betul-betul impoten.
Lalu harus bagaimana? Melihat jauh ke depan. Buka mata terhadap jebakan kebencian yang bakal mengintai kita semua. Lupakan impian menjadi nomor wahid, dan doronglah negeri ini menegakkan kebinekaan dunia kita.