Dalam situasi normal, anak berkebutuhan khusus kecil kemungkinannya untuk dapat mengakses perawatan kesehatan serta pendidikan. Pandemi Covid-19 memperparah situasi tersebut.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Anak berkebutuhan khusus termasuk kelompok yang sangat rentan terdampak pandemi Covid-19, baik kesehatan maupun pendidikan mereka.
Dampak pandemi yang multidimensi kian membuat mereka rentan. Dalam keadaan normal pun, anak berkebutuhan khusus kecil kemungkinannya untuk mengakses perawatan kesehatan dan pendidikan. Pandemi Covid-19 memperparah situasi ini, berdampak secara tak proporsional kepada mereka, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Tingginya ketergantungan mereka kepada orang lain menjadi kendala melaksanakan protokol kesehatan. Hambatan dalam menerapkan langkah kebersihan dasar, menjaga jarak, dan beberapa memiliki penyakit penyerta (komorbid) meningkatkan risiko tertular Covid-19. Meski sangat rentan terpapar, akses mereka untuk mendapatkan informasi terkait Covid-19 sesuai ragam kondisinya masih minim. Penyandang tunanetra, misalnya, perlu informasi dalam huruf Braille.
Layanan kesehatan jika mereka positif Covid-19 pun masih terbatas. Empat siswa Sekolah Luar Biasa (SLB) Dwituna Rawinala, Jakarta, yang positif Covid-19 dan tidak bisa mendapatkan perawatan di rumah sakit beberapa waktu lalu, karena kondisi mereka, menjadi pelajaran berharga.
Di bidang pendidikan, tantangan mereka untuk melakukan pembelajaran jarak jauh lebih besar. Survei sejumlah lembaga menyebutkan, lebih dari 70 persen anak berkebutuhan khusus kesulitan mengikuti pembelajaran daring (Kompas, 8/9/2020). Ketergantungan yang sangat besar kepada guru membuat pendidikan mereka rentan terhenti selama pandemi. Kegiatan yang terhenti, baik pendidikan maupun fisioterapi, bisa berdampak pada kemunduran perkembangan mereka. Bagi anak berkebutuhan khusus dengan disabilitas tertentu, terutama tunaganda, kegiatan harus konsisten dan terus-menerus untuk menjaga perkembangan fisik dan psikologis mereka.
Dengan kondisi yang khusus, perlu langkah khusus untuk melindungi mereka dari dampak pandemi ini. Menempatkan anak berkebutuhan khusus di pusat respons mengakomodasi kebutuhan mereka dalam skema penanganan bencana.
Semua tindakan terkait Covid-19 juga harus meniadakan segala bentuk diskriminasi berdasarkan disabilitas. Ini penting agar kasus yang dialami empat siswa SLB Dwituna Rawinala tak terjadi lagi. Apa pun alasannya, saat rumah sakit tidak bisa menerima mereka karena kesulitan merawat anak berkebutuhan khusus, hal itu merupakan satu bentuk diskriminasi.
Dengan tingginya risiko terpapar Covid-19, kesiapan sarana dan prasarana kesehatan untuk anak berkebutuhan khusus dan penyandang disabilitas mutlak diperlukan sebagai bentuk perlindungan kepada mereka. Mengantisipasi keterbatasan tenaga medis dan paramedis, pelibatan komunitas disabilitas, menjadi penting. Orangtua anak berkebutuhan khusus juga perlu dibekali pengetahuan khusus agar bisa memberikan pengasuhan yang positif selama pandemi. Penutupan sekolah untuk mencegah penularan Covid-19 menempatkan orangtua pada peran utama dalam menjaga tumbuh kembang anak.