Masyarakat kita belum merdeka. Kemerdekaan yang dicita-citakan bukan hanya tidak dijajah bangsa lain, melainkan juga oleh bangsanya sendiri, baik secara pribadi maupun kelompok.
Oleh
St Sutopanitro
·4 menit baca
Cita-cita kemerdekaan NKRI diungkapkan dalam Pancasila dengan ”Keadilan sosial bagi seluruh rakyat lndonesia”. Ungkapan pendek ini mengandung pengertian yang sangat dalam dan luas. Pengertian keadilan sosial bukan hanya setiap warga negara harus berbuat adil, melainkan juga setiap warga negara harus diperlakukan dengan adil tanpa pandang bulu oleh negara. Artinya, hukum dan peradilan harus adil.
Inilah tantangan, baik bagi DPR sebagai pembuat UU, polisi, jaksa, dan hakim sebagai pelaksana peradilan, maupun bagi para advokat.
Ungkapan itu menunjukkan para Bapak Bangsa kita berpikir sangat bijaksana dan luhur, mengingat kebinekaan bangsa kita; bukan hanya sebagai negara yang mau merdeka, melainkan seluruh warga negaranya masing-masing harus merdeka dan dimerdekakan. Sudah pada tempatnya kita mensyukurinya.
Bersyukur saja belum cukup. Bangsa kita sudah 75 tahun merdeka, tetapi apa yang dicita-citakan para Bapak Bangsa bukan hanya belum tercapai, mendekati pun belum, untuk tidak mengatakan keadaan kehidupan bangsa kita sekarang ini kebalikan dari yang dicita-citakan.
Ada dua hal yang kiranya dapat dikatakan sebagai kunci apabila kita sebagai ahli waris kemerdekaan berniat memelihara dan meneruskan cita-cita itu. Pertama, makna politik yang tidak dijalankan dengan semestinya. Politik adalah cara pemerintah suatu negara mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan umum (common good).
Cita-citanya mau menyejahterakan warga negara, hidup damai bersama seluruh warga negara tanpa membeda-bedakan, tanpa diskriminasi. Kenyataannya, masyarakat kita tidak peduli dengan sesama. Ini jelas tampak di jalan raya. Orang mau menang sendiri. Kalau perlu, melanggar aturan.
Orang menggunakan miliknya sendiri tanpa memedulikan dampaknya terhadap orang lain. Orang membuang sampah sembarangan, yang dapat mendatangkan bencana, dan lain-lain.
Semua ini akibat pendidikan, khususnya di sekolah, tidak ada; yang ada hanya transfer ilmu dan teknologi. Hal itu terjadi karena tempat pendidikan guru yang cakap mendidik, yakni sekolah pendidikan guru (SPG) ditutup, IKIP dijadikan universitas lokal. Penutupan SPG sudah dimulai sekitar akhir tahun 1970-an dan ketika itu Malaysia banyak mengimpor guru dari lndonesia.
Akibatnya, banyak keluarga muda yang tidak merasa bertanggung jawab mendidik anak-anak mereka, sementara masyarakat tidak dapat memberikan contoh yang baik.
Sampai saat ini, usaha perbaikan pendidikan di sekolah belum sesuai dengan akar persoalannya. Akibat itu sangat nyata terbaca pada masa pandemi Covid-19 ini. Masyarakat diajak melawan Covid-19, sudah lima bulan penularan tidak berkurang, tetapi malah bertambah.
Itu disebabkan sikap masyarakat sendiri yang tidak peduli terhadap orang lain sebagaimana kita saksikan bersama. Kehidupan masyarakat kita belum seperti yang dicita-citakan.
Kehidupan masyarakat kita belum seperti yang dicita-citakan.
Keliru diartikan
Kedua, pengertian berdaulat juga keliru diartikan. Memang manusia pribadi yang berakal budi dan berhati nurani, bukan hanya berdaulat. Sebab, jati diri manusia itu terdiri dari pribadi yang rohani dan memiliki tubuh yang jasmani.
Dalam diri manusia terdapat paradoks, yang menyebabkan juga berbagai paradoks lain dalam diri manusia. Dengan demikian, manusia merupakan makhluk yang paling sulit dimengerti, termasuk oleh dirinya sendiri.
Sebab, untuk mengenal dirinya, manusia membutuhkan orang lain. Ia harus menyatakan dirinya (aksi) dan orang lain menjawab (reaksi). Dari situlah manusia mengenal dirinya, tetapi sudah tercampur dengan pribadi orang lain.
Manusia tidak dapat dilepaskan dari orang lain, manusia adalah makhluk sosial. Oleh karena itu, kedaulatan atau kemerdekaan manusia dibatasi oleh dua hal yang utama, yaitu dibatasi orang lain dan dibatasi oleh identitasnya sendiri sebagai manusia.
Manusia hanya bebas jika ia disiplin sebagai manusia. Perbuatan merdeka harus dapat diterima dan dihargai orang lain dan sesuai kemanusiaannya. Perbuatan jahat tidak dapat diterima oleh orang lain. Maka, perbuatan jahat itu dilakukan sembunyi-sembunyi sebab perbuatan orang yang merdeka terbuka terhadap sesama.
Dalam diri manusia pun ada yang membatasi. Perbuatan yang tidak sesuai dengan hatinya (kemauannya) itu juga perbuatan yang tidak merdeka. Contohnya, memakai masker karena terpaksa itu juga bukan perbuatan merdeka, tetapi dipaksa.
Akan tetapi, memakai masker karena sungguh mau menjaga sesamanya, jangan sampai merugikan orang lain, atau justru menghargai orang lain, supaya orang lain tidak terkena virus karena dia, itulah perbuatan yang sesuai dengan hatinya (kemauannya). Maka, itulah perbuatan yang tidak menipu, itulah perbuatan orang yang merdeka.
Kemerdekaan manusia dibatasi, baik oleh orang lain maupun oleh hatinya sendiri. Kemerdekaan bukan berbuat atau bicara semau-maunya. Namun, apa yang terjadi pada masyarakat kita? Jika kita mau jujur, berapa persen orang yang korupsi, bukan hanya yang besar, melainkan juga yang kecil-kecil, seperti berbohong, menipu, membenci orang lain, dan membunuh.
Saya setuju ada seorang profesor yang mengatakan bahwa bukan gedung kejaksaan yang terbakar, melainkan keadilan yang terbakar. Saya tambahkan, bukan hanya keadilan yang terbakar, kemerdekaan pun terbakar.
Masyarakat kita belum merdeka. Kemerdekaan yang dicita-citakan adalah kemerdekaan seluruh warga negara. Kemerdekaan yang dicita-citakan bukan hanya tidak dijajah bangsa lain, melainkan juga oleh bangsanya sendiri, baik secara pribadi maupun kelompok. Kemerdekaan yang dicita-citakan adalah kemerdekaan negara yang warga negaranya adil dan beradab.
St Sutopanitro, Rohaniwan Berkarya di Paroki Kelapa Gading, Jakarta.