Bukan saatnya saling menyalahkan. Biarlah itu pelajaran di enam bulan pertama. Saatnya kita galang kolaborasi berskala besar untuk menanggulangi badai Covid-19.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Sudah enam bulan bangsa ini berperang melawan Covid-19, dan perang itu belum berhasil kita menangi.
Sejak Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus pertama Covid-19 pada 2 Maret 2020, puncak wabah belum tampak, tetapi kasusnya terus meningkat. Jakarta pun jadi episentrum Covid-19. Akibatnya, Gubernur DKI Jakarta Anies R Baswedan kembali mengetatkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), dengan tetap membuka ruang ekonomi. Inilah PSBB jalan tengah, seperti ditulis harian ini, Senin (14/9/2020).
Saatnya kita belajar dari enam bulan pertama. Persaingan narasi antara kesehatan dan ekonomi, serta pertimbangan politik yang begitu dominan, kian menjadikan bangsa ini terpuruk. Belum lagi dengan model pengambilan keputusan berdasarkan intuisi, bukan sains, dan kecenderungan meremehkan pada awal, kian menghambat penanganan Covid-19. Pola komunikasi yang tak tertata dengan baik kian menambah bingung masyarakat. Enam bulan sudah berlalu.
Elite negeri ini harus belajar dari pengalaman enam bulan pertama dan harus sadar ini bukan negeri aturan. Aturan tak punya makna apa-apa jika tidak ada kekuasaan yang menegakkannya. Elite juga harus memberikan contoh bagaimana aturan ditegakkan. Mengapa warga abai pada protokol kesehatan? Adakah datanya? Bagaimana menyadarkannya?
Jika dipandang pakai masker, jaga jarak, dan cuci tangan adalah tiga senjata untuk memenangi perang melawan Covid-19, tegakkan aturan itu. Semua sumber daya negara (TNI, Polri, satpol PP, dan organisasi quasi negara) dan masyarakat harus dikerahkan. Selama ini penegakan aturan bersanksi sosial, seperti menyapu jalan, tidur di peti mati, dan push-up, seolah menjadi guyonan publik. Yang harus jadi target adalah perubahan perilaku masyarakat.
Tidak mungkinkah operasi yustisi masker itu dibarengkan dengan pengetesan, apakah berbasiskan rapid, serologi, atau PCR? Mereka yang tidak mengenakan masker langsung dites untuk mengetahui kondisi riilnya. Jika terbukti terinfeksi, langsung diisolasi dan ditangani. Ketika mengampanyekan pakai masker, jaga jarak, dan cuci tangan dengan sabun, pemerintah juga harus mengerjakan pekerjaan rumahnya. Melakukan pengetesan, melakukan penelusuran kontak, dan menangani warga yang terinfeksi dengan mengisolasi diri. Dengan cara demikian, akan ada keseimbangan antara kewajiban warga negara dan kewajiban pemerintah.
Pemerintah punya kewajiban menyeimbangkan kapasitas pengetesan di luar Jakarta. Perusahaan atau BUMN perlu dilibatkan untuk mengatasi ketimpangan pengetesan, tetapi tentu dengan harga tes yang wajar sehingga tak menimbulkan kesan aji mumpung. Bukankah pemerintah punya hak mengatur harga tes usap melalui PCR?
Ibu pertiwi sedang sedih. Bukan saatnya saling menyalahkan. Biarlah itu pelajaran di enam bulan pertama. Saatnya kita galang kolaborasi berskala besar untuk menanggulangi badai Covid-19, dan Presiden Jokowi harus menjadi panglima perang melawan Covid-19. Bagi warga biasa, saatnya disiplin diri untuk patuh pada protokol kesehatan. Pertaruhannya adalah eksistensi negeri.