Mewarisi Kecendekiawanan Malik Fadjar dan Jakob Oetama
Jakob Oetama dan Malik Fadjar telah mewariskan kearifan dan keteladanan sebagai cendekiawan bangsa. Tak lengkap apabila isi kamus keindonesiaan tak menyebut kedua guru bangsa ini.
Oleh
Fajar Riza Ul Haq
·5 menit baca
Saat mendengar kepergian Prof Abdul Malik Fadjar (81), Senin (7/9/2020) malam, seketika saya teringat ucapan mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden ini (periode Joko Widodo-Jusuf Kalla) beberapa tahun silam. ”Janganlah membawa Muhammadiyah ke gang-gang sempit dan jalan buntu,” tegasnya pada satu acara di Gedung Dakwah PP Muhammadiyah. Organisasi ini harus inklusif alam pikirannya dan luwes bergaul.
Petuah Menteri Pendidikan Nasional di era Megawati Soekarnoputri ini tertanam kuat dalam kesadaran saya. Sosok Malik Fadjar meneguhkan wajah Muhammadiyah yang melintas batas, diterima beragam kalangan, dan berhasil mengarungi pancaroba politik.
”Ia merupakan salah satu arsitek gerakan Reformasi 1998,” kenang Din Syamsuddin saat melepas almarhum ke Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Hanya berselang dua hari, kita kembali kehilangan panutan bangsa, yakni tokoh pers nasional Jakob Oetama (88), Rabu (9/9/2020) siang. ”Dua hari ini bangsa Indonesia kehilangan tokoh pemaju pendidikan dan kebudayaan yang tak tergantikan, yaitu Prof Malik Fadjar dan Pak Jakob Oetama,” ungkap Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy.
Organisasi ini harus inklusif alam pikirannya dan luwes bergaul.
Sekitar satu dekade lalu, Buya Syafii Maarif mengajak saya saat beliau bertemu pendiri Kompas Gramedia itu. Beliau pribadi yang rendah hati, selalu bersyukur, dan penuh optimisme menatap masa depan. Itu kesan kali pertama bersua. Saya pun menyertai Buya Syafii pada beberapa kunjungan berikutnya.
Percakapan kedua negarawan itu mencerminkan keduanya sudah bersenyawa dalam visi keindonesiaan dan kemanusiaan. Jakob Oetama menaruh perhatian besar, bahkan mendukung lahirnya lapisan cendekiawan Muslim yang diharapkannya akan memandu perkembangan kelas menengah Muslim yang inklusif.
Kelompok santri inklusif merupakan kekuatan penggerak dalam proses demokratisasi politik dan pencerahan umat. Oleh karena itu, ia sangat mendukung visi keislaman dan keindonesiaan Nurcholish Madjid, Gus Dur, dan Buya Syafii.
Keberadaan ”Jakob Oetama Corner” di Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Malang menjadi bukti otentik pertautan visi antara Jakob dan Muhammadiyah. Jakob Oetama Corner didirikan atas prakarsa Malik Fadjar yang kala itu menjabat Rektor Universitas Muhammadiyah Malang. Pada dekade 1980-an, Jakob rajin memberi kuliah di kampus itu. Muhadjir Effendy menjadi saksi persahabatan kedua tokoh yang sama-sama mengawali karier sebagai guru itu.
Malik Fadjar bisa disebut sebagai jembatan yang paling awal menghubungkan Jakob dengan Muhammadiyah. Langkah mantan Menteri Agama ini bukanlah tanpa risiko mengingat interaksi awal kedua pihak pada masa Orde Baru itu masih dibayangi oleh belum kondusifnya relasi Islam dan Kristen.
Jauh berbeda dengan situasi hari ini. Menurut Romo Franz Magnis-Suseno pada satu diskusi akhir 2019, hubungan Islam dan Kristianitas merupakan pendekatan terus-menerus dan belum pernah sebaik sekarang ini.
Di sinilah determinasi kepemimpinan Malik Fadjar terlihat. Tidak hanya semata pendidik yang visioner, ia juga seorang pembaru. Salah satu warisannya, transformasi IAIN dan STAIN menjadi universitas Islam negeri. Perguruan tinggi Islam dapat berdiri sejajar dengan perguruan tinggi umum negeri.
Menurut Anwar Hudijono, persahabatan Malik dengan Jakob menjadi pintu masuk bagi terjalinnya hubungan yang lebih luas dan mendalam antara Jakob dan tokoh-tokoh Muhammadiyah seperti Buya Syafii, Moeslim Abdurrahman, Rizal Sukma, dan Ahmad Sobary.
Perjumpaan Jakob dengan Muhammadiyah semakin mendalam ketika ia diminta berbicara dalam acara Tanwir Muhammadiyah di Denpasar, Bali, tahun 2002. Jakob merupakan narasumber penting dalam membahas dakwah kultural dan kebudayaan Indonesia masa depan.
Malik Fadjar bisa disebut sebagai jembatan yang paling awal menghubungkan Jakob dengan Muhammadiyah.
Forum tanwir itu sendiri melahirkan dokumen penting Dakwah Kultural Muhammadiyah pada masa kepemimpinan Buya Syafii. Tumbuhlah proses dialog yang dialogis di antara kedua pihak atas dasar prinsip keterbukaan, saling menghargai perbedaan, dan menguatkan persamaan sebagai anak bangsa.
Tantangan intoleransi
Kedua tokoh bangsa di atas mewariskan pemikiran, bahkan institusi-institusi yang terus berkontribusi dalam proses mencerdaskan manusia Indonesia dan merekatkan kohesivitas bangsa. Perjuangan keduanya menyemaikan dan mengarusutamakan pelembagaan nilai-nilai inklusif, toleransi, dan kesetaraan sangatlah relevan dengan tantangan keindonesiaan hari ini.
Berdasarkan temuan Saiful Mujani (2020), tantangan itu adalah kemunculan sindrom demokrat intoleran. Preferensi warga negara pada demokrasi lebih tinggi dibandingkan pada bentuk-bentuk pemerintahan lain, tetapi secara bersamaan mereka tak toleran secara politik.
Ia mendefinisikan toleransi politik sebagai sikap menerima dan mengakui hak-hak politik orang lain, apa pun paham, keyakinan, atau latar belakang kelompok sosialnya, termasuk kelompok yang dianggap berpaham ekstrem dan kelompok yang mungkin tak disukai oleh hampir semua warga.
Mengapa perkembangan demokrasi selama ini tidak berkorelasi pada meningkatnya toleransi politik? Salah satu sumber masalahnya, menurut hipotesis Mujani, adalah konstitusi. Di satu sisi, konstitusi melegitimasi demokrasi. Di sisi lain, konstitusi tidak cukup inklusif mengakomodasi keragaman kelompok kepentingan.
Di samping intoleransi politik, hal lain yang menggerogoti anyaman keindonesiaan adalah gejala politik populisme agama. Menguatnya arus politik populisme agama di ruang publik berkorelasi dengan meningkatnya intoleransi politik.
Apa yang terjadi di India dan Turki belakangan ini mencerminkan praktik politik populisme agama yang mengagungkan mayoritarianisme Hindu dan Islam. Bentuk ketidakadilan dari bahaya populisme agama semacam ini adalah diskriminasi, intoleransi, dan marjinalisasi kelompok-kelompok minoritas.
Perlu upaya-upaya kolektif dan berkesinambungan dari semua elemen bangsa untuk terus merawat dan memperjuangkan transformasi nilai-nilai inklusif, kesetaraan hak politik, dan kemanusiaan dalam praktik berwarga negara. Tak kalah mendesak adalah kehendak politik aparatur negara untuk memerdekakan diri dari politik partisan, terutama dalam menyusun produk-produk hukum beserta penegakannya.
Di titik ini, Pancasila adalah roh keindonesiaan kita. Mutlak harus mengayomi semua warga negaranya. Pancasila jangan dikerdilkan oleh pelbagai kebijakan negara maupun aneka tindakan warganya yang mengkhianati nilai-nilai kesetaraan, kemanusiaan, dan keadilan. Dengan ciri inilah kita mewarisi kearifan dan keteladanan para cendekiawan bangsa yang telah mendahului kita.
Tak lengkap isi kamus keindonesiaan tanpa menyebut nama Jakob Oetama dan Malik Fadjar.
Fajar Riza Ul Haq
Pengurus Majelis Hukum dan
HAM PP Muhammadiyah dan Dewan Pembina Maarif Institute