logo Kompas.id
OpiniDilema Produksi Solar Nabati
Iklan

Dilema Produksi Solar Nabati

Apabila ekspor solar nabati tidak berubah dan penambahan konsumsi dalam negeri ini dipenuhi dengan penambahan produksi, maka membutuhkan perluasan kebun sawit. Namun perlu pertimbangkan dampak sosial dan lingkungan.

Oleh
Agus Sari
· 7 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/32gcUQJpaqGR6NZaUqZcZf-tHIo=/1024x497/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F11%2Fff9dd97f-5ae0-462f-b688-4222a3aea22e_jpg.jpg
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO

Mulai tahun 2020, Malaysia ingin memulai penggunaan B20 atau campuran 20 persen minyak nabati kelapa sawit pada bahan bakar diesel/solarnya. Tampak dua mobil uji coba program tersebut dipajang di sela-sela pelaksanaan Malaysia Palm Oil Board: International Palm Oil Congress and Exhibition (PIPOC 2019) di Kuala Lumpur Convention Center, Selasa (19/11/2019).

Indonesia sudah bisa memproduksi bahan bakar minyak yang dibuat dengan bahan nabati minyak sawit yang sepenuhnya bisa menggantikan solar (B100). Solar nabati ini diproduksi Pertamina Research and Technology Center (RTC).

Solar nabati dibuat melalui proses transesterifikasi, yaitu mereaksikan minyak sawit dengan alkohol, misalnya metanol, untuk menghasilkan solar nabati murni, yang juga dikenal dengan fatty acid methyl ester (FAME). Untuk sepenuhnya digunakan sebagai pengganti solar (B100), FAME harus diolah agar karakteristiknya semirip mungkin dengan solar.

Editor:
yohaneskrisnawan
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000