Abraham Accord dan Palestina
Secara simbolik Abraham Accord mengakhiri era dan paradigma ”Israel versus negara-negara Arab” yang mewarnai hubungan internasional di Timteng selama ini, bahkan dunia.
Bagaimana masa depan bangsa Palestina menyusul kesepakatan baru Uni Emirat Arab-Israel?
Ketika pesawat El Al milik Israel dengan nomor penerbangan LY971 dan bertuliskan ”damai” dalam tiga bahasa—Arab, Inggris, dan Yahudi—serta dilengkapi tiga bendera—Uni Emirat Arab, AS, dan Israel—yang terbang dari Tel Aviv, Israel, Senin (31/8/2020), mendarat di Abu Dhabi, ibu kota UEA, sebuah peristiwa bersejarah sekaligus menuai pro dan kontra terjadi.
Pesawat yang membawa delegasi tingkat tinggi itu menandai babak baru hubungan Israel-UEA. Di pesawat, antara lain, ada PM Israel Benjamin Netanyahu, menantu Presiden AS, Jared Kushner, yang juga menjabat penasihat senior Trump; dan Penasihat Keamanan Nasional AS Robert O’Brien yang memimpin delegasi AS.
Baca juga : Menunggu Peran Baru Uni Emirat Arab
Inilah puncak pendekatan antara Israel dan UEA yang sudah berlangsung 25 tahun lebih. Sebuah proses panjang yang dilakukan secara rahasia, yang kemudian menghasilkan Abraham Accord (Kesepakatan Abraham). Kesepakatan ini menambah perubahan besar di Timteng.
Mei lalu, Mesir, Yunani, Perancis, Siprus, dan UEA mengecam keras meningkatnya agresivitas Turki di Laut Tengah. Israel, Juli lalu, menandatangani kesepakatan pembangunan jalur pipa gas EastMed (sepanjang 1.900 km jika sudah selesai semua) dengan Yunani dan Siprus. Jalur pipa ini akan mengalirkan gas alam dari Israel dan Siprus ke Eropa Barat dan Timur.
Inilah puncak pendekatan antara Israel dan UEA yang sudah berlangsung 25 tahun lebih.
Masih pada Juli, dua perusahaan pertahanan Israel menandatangani kesepakatan kerja dengan perusahaan yang bermarkas di UEA untuk mencari solusi melawan Covid-19. Kerja sama berbagai bidang sudah lama secara diam-diam dilakukan Israel dan UEA. Semua perubahan itu memberikan gambaran jelas adanya aliansi lebih dekat antara Israel, Mesir, Yunani, Siprus, dan UEA. Dan, kini, dipertegas dengan Abraham Accord.
Pada 13 Agustus 2020, Israel dan UEA diperantarai AS menandatangani kesepakatan akan dijalinnya hubungan diplomatik kedua negara. Kesepakatan dicapai setelah pertemuan antara Trump, Putra Mahkota sekaligus Deputi Komandan Tertinggi UEA Mohammed Bin Zayed dan Netanyahu. Disebut Abraham Accord karena ketiga pihak (AS, UEA, dan Israel) merepresentasikan tiga agama Abrahamian: Yudaisme, Kristen, dan Islam.
Baca juga : Isu Geopolitik dalam Hubungan Resmi Israel-UEA
Kesepakatan dicapai setelah Israel dan UEA setuju membangun hubungan diplomatik secara normal, termasuk bisnis, turisme, penerbangan langsung, kerja sama sains, dan, pada waktunya, hubungan diplomasi secara penuh pada tingkat duta besar. Sebaliknya, Israel menyatakan pihaknya membekukan klaim atas Lembah Jordan (menghentikan aneksasi) sementara waktu, tetapi masih tetap ada dalam agendanya.
Abraham Accord capaian besar bagi Israel dan AS, khususnya pemerintahan Trump sebagai ”mak comblang”. Sejak lahir (1948), Israel diisolasi negara-negara di Timteng. Pada 1979, Mesir, lalu Jordania (1994), dan Mauritania (1999 meski putus lagi pada 2009) menandatangani perjanjian damai dan menjalin hubungan.
Secara simbolis Abraham Accord mengakhiri era dan paradigma ”Israel versus negara-negara Arab” yang mewarnai hubungan internasional di Timteng selama ini, bahkan dunia. Apalagi, Abraham Accord didukung sejumlah negara Arab, seperti Mesir, Jordania, Bahrain, dan Oman. Arab Saudi masih jaga image meski tak keberatan. Akhir era itu akan jadi lebih jelas lagi jika, misalnya, Bahrain dan Oman, menyusul UEA.
Selama ini, menurut National Review terbitan Jumat (14/8/2020), Israel diam-diam mengupayakan hubungan tingkat rendah dengan Maroko, Tunisia, dan negara Teluk lain, seperti Oman, Qatar, Bahrain, dan UEA, sebelum bersepakat jalin hubungan diplomatik. Israel dan Qatar sering kontak untuk meredakan ketegangan di Gaza yang didanai Qatar, yang dikelola Hamas.
Israel dan Qatar sering kontak untuk meredakan ketegangan di Gaza yang didanai Qatar, yang dikelola Hamas.
Nasib Palestina
Apakah Abraham Accord akan memuluskan jalan bagi terselesaikannya masalah Palestina dan terwujudnya solusi dua negara? UEA memang menyatakan tetap dukung perjuangan Palestina mewujudkan cita-cita mendirikan negara merdeka dan berdaulat; terwujudnya solusi dua negara: Palestina dan Israel.
Namun, sejarah mencatat, sejak Mesir berdamai dengan Israel, disusul Jordania, masalah Palestina tak kunjung selesai, bahkan semakin ruwet. Sejumlah perundingan perdamaian dilakukan; juga tak memberikan hasil. Bagaimanapun, setiap negara punya kepentingan nasional yang harus diutamakan, sebelum ”mengurusi” negara lain.
Dengan terbangunnya hubungan resmi Israel-UEA, keduanya akan saling melengkapi. Kedua negara memiliki PDB per kapita tertinggi di Timteng. Israel juga jagoan dalam teknologi pertahanan, misalnya, sistem pertahanan udara iron dome; sementara UEA pusat perdagangan global, yang membutuhkan perlindungan. Jika bekerja sama, mereka bisa menjadi kekuatan regional yang sangat perlu diperhitungkan.
Baca juga : Saatnya Mengubah Struktur Perdamaian di Timur Tengah
Berangkat dari kenyataan itu, menurut Omar H Rahman (Brookings Doha Center), terjalinnya hubungan diplomatik kedua negara didasari tiga pilar. Pilar pertama adalah Iran dan geopolitik Timteng setelah 2011. Poros Israel, Arab Saudi, dan UEA menghadapi musuh yang sama di kawasan, yakni Iran. Bagi Abu Dhabi, intervensi Teheran di sejumlah negara di kawasan—Bahrain, Irak, Lebanon, Suriah, dan Yaman—merupakan ancaman sangat signifikan baginya sebagai negara kecil.
Apalagi, kedua negara hanya dipisahkan Selat Hormus selebar 70 kilometer yang tak berarti bagi peluru kendali Iran. Sebagai negara kecil, UEA melihat Israel yang juga kecil sebagai model bagaimana menghadapi ancaman keamanan.
Pilar kedua, meningkatnya kebutuhan negara-negara Teluk akan platform keamanan dan pengawasan yang canggih untuk mengawasi penduduk mereka sendiri setelah pemberontakan regional. Keahlian Israel dalam hal ini, yang diasah selama 51 tahun pendudukannya di Palestina, sangatlah canggih.
Dan, pilar ketiga, selama beberapa dekade negara-negara Teluk memelihara hubungan dekat dengan Washington berdasarkan kepentingan bersama menjaga keamanan dan stabilitas di Teluk Persia serta aliran bebas minyak ke pasar global. Namun, ikatan ini selalu dibatasi prinsip transaksionalisme mereka dan penekanan pada membangun hubungan pribadi dengan orang-orang berkuasa di Washington. Selain itu, negara-negara Teluk selalu dihalangi ketidakpercayaan pendukung setia Israel di Washington, yang sangat berpengaruh pada kebijakan Timteng Amerika.
Keahlian Israel dalam hal ini, yang diasah selama 51 tahun pendudukannya di Palestina, sangatlah canggih.
Karena itu, dengan menjalin hubungan dengan Israel langsung, persoalan ini bisa diatasi. Ini semua adalah kepentingan nasional UEA yang menjadi dasar dibangunnya hubungan diplomatik dengan Israel.
Sementara Israel sekarang merasakan bahwa musuh terbesar mereka bukan lagi negara-negara Arab, melainkan Iran. Apalagi, Iran yang memiliki rudal jarak jauh dan mengembangkan program nuklir mendukung kelompok Hezbollah di Lebanon, Pemerintah Suriah, dan pemberontak Houthi—yang memiliki slogan ”mampuslah Israel, kutuk Yahudi—di Yaman. Semua itu ancaman bagi Israel. Maka, membangun aliansi atau poros Jerusalem-Abu Dhabi-Riyadh adalah sangat penting.
Lalu, bagaimana nasib bangsa Palestina? Untuk sementara, entah sampai kapan, mereka lupakan. Arab Saudi dan UEA lebih peduli aspirasi regional Iran dan ”neo-Ottoman” Turki ketimbang memerangi pendudukan ”Israel atas Palestina”. Langkah UEA itu juga memberi sinyal kepada Palestina bahwa orang lain tidak akan menunggu mereka untuk membuat perdamaian dengan Israel.
Trias Kuncahyono
Peminat Masalah-masalah Internasional dari Middle East Institute, Jakarta