Pak Jakob Oetama adalah refleksi respek dan merit. Melalui respek terhadapnya kami menemukan merit atau kepatutan hidup, dan melalui respek kami mengekspresikan merit.
Oleh
BRE REDANA
·4 menit baca
Mas Don Sabdono yang baik, Saya belum pergi menengok Mas di Banda Aceh. Tapi setiap hari pekerjaan Mas dan rekan-rekan saya ikuti dengan cermat.
Tatkala Bung Syamsul sakit, tentu pekerjaan Mas bertambah berat. Mas Don ikut meletakkan dasar bagi berkembangnya Serambi Indonesia.
Jika iklan masuk lebih banyak, tercapailah take-off bagi Serambi. Mengingat usia harian tersebut, masa depan tetap terbuka. Apalagi jika perhubungan antar kota juga menjadi lebih baik.
Bagi Mas Don sendiri, pengalaman di Aceh merupakan pengalaman hidup muda yang kaya. Terutama nanti, hal itu akan lebih dihayati oleh Mas sendiri.
Bagaimana rencana studi Mas Don. Itu hari saya bertemu Bill Liddle dan ia menyampaikan soal tersebut. Dengan senang hati kami memberi kesempatan studi bagi Mas Don. Sokur-sokur Serambi bisa lebih dulu ditata, terutama tenaganya. Dengan demikian Mas pun akan lebih tenang meninggalkannya.
Apakah selama di Banda Aceh, ada puteri keturunan Cut Nyak Dien yang berhasil menggaet hati?
Surat tertanggal 12 Februari 1990 tersebut saya salin sebagaimana adanya, dengan tanda tangan yang sangat saya akrabi: Jakob Oetama. Itulah sebagian surat Pak Jakob yang masih saya simpan, di antara beberapa surat yang sifatnya lebih pribadi, ditulis dengan tulisan tangan. Acapkali di akhir surat Pak Jakob menyebut diri: Rekan Anda.
Sungguh tak terbayangkan, kepada karyawannya Pak Jakob menyetarakan diri sebagai “Rekan Anda”. Meski beberapa hari telah memendam perasaan tidak enak mengetahui kemunduran kesehatannya, rontok hati ketika siang itu mendengar kabar meninggalnya Pak Jakob.
Malam hari dengan nelangsa menginjak Palmerah—tempat yang membentuk dan menumbuhkan kami, orang-orang yang dipertemukan dalam pekerjaan dan kemudian menjadi keluarga. Dalam pandangan saya, orang berjiwa besar laksana matahari atau pun bulan, tidak pilih kasih, semua orang merasa akrab dengannya tak terkecuali saya terhadap Pak Jakob.
Setelah berdoa di samping Pak Jakob dalam tidurnya yang paling damai di lobi gedung lama Kompas, dengan mata berair saya menuju Bentara Budaya. Di emperan rumah tradisional Kudus Bentara Budaya, bersama kawan lama yang juga bertumbuh di sini, Wiediantoro dan Bustomi kami berbincang-bincang tentang masa yang telah kami lewati.
Jadi ingat GM Sudarta yang kini juga telah almarhum. Ia diserahi tugas oleh Pak Jakob untuk mengurusi Bentara Budaya Jakarta. Waktu itu, tahun 1980an, sering ia mengajak kami kesana kemari untuk urusan lembaga ini. Semua yang kenal Pak Jakob niscaya pernah mendengar ucapannya, bahwa roh koran adalah kebudayaan. GM Sudarta yang jauh lebih senior dari kami mengatakan, pasang surut Kompas nantinya akan terlihat dari Bentara Budaya.
GM Sudarta pernah bercerita, suatu ketika melakukan perjalanan ke Bandung, naik mobil bersama PK Ojong yang bersama Pak Jakob mendirikan Kompas. Sampai daerah Purwakarta mereka berhenti di pinggir jalan, melihat orang memikul gerabah peralatan dapur. PK Ojong bilang: Darta, besok kalau usaha kita berhasil, kita akan buat bangunan untuk memamerkan karya-karya seperti itu.
Pak Jakob mewujudkan mimpi Pak Ojong yang meninggal tahun 1980 dengan mendirikan Bentara Budaya. Pembukaan Bentara Budaya Jakarta tahun 1986 ditandai dengan pameran keramik dari sentra keramik di Purwakarta, Lio Sadang. Pak Jakob memberi rumusan bagi lembaga ini, kurang lebih intinya sebagai tempat untuk memberi kesempatan bagi ekspresi-ekspresi kebudayaan yang termarginalkan.
Pernah pada suatu kesempatan Pak Jakob mengatakan, merasa ketinggalan dalam wawasan kesenian. Itulah kerendahan hati Pak Jakob, di luar gagasan, sikap, kecenderungan serta langkah besar yang pernah diambilnya untuk memajukan kesenian. Pak Jakob hidup dalam kenangan banyak seniman. Dalam represi Orde Baru pada masa itu, berkali-kali Pak Jakob mengatakan, melalui kesenian kita berikhtiar untuk memperlebar koridor kebebasan.
Laksana dalam folklore atau cerita rakyat kami merasa seperti abdi atau danyang yang kapiran ditinggal oleh pimpinan sekaligus panutan, merana di emperan Bentara Budaya. Pak Jakob adalah refleksi respek dan merit. Melalui respek terhadapnya kami menemukan merit atau kepatutan hidup, dan melalui respek kami mengekspresikan merit.