Sinyal Resesi Semakin Kuat
Apabila pada akhirnya ekonomi kita benar-benar memasuki resesi pada triwulan III-2020 nanti, kitapun berharap resesi itu cukup terjadi pada satu triwulan saja, sehingga pada triwulan IV-2020 ekonomi kita mampu tumbuh.
Pertumbuhan ekonomi nasional triwulan II- 2020 mengalami kontraksi 5,32 persen (yoy), sehingga belum dianggap sebagai ukuran bahwa kita telah memasuki resesi.
Pemerintah masih menunggu data pertumbuhan ekonomi pada triwulan III-2020 yang akan keluar awal Oktober 2020 nanti, untuk memastikan apakah pertumbuhan ekonomi masih tetap mengalami kontraksi atau sebaliknya. Apabila data tersebut menunjukkan angka negatif lagi, berarti secara resmi Indonesia telah memasuki masa resesi ekonomi.
Secara teoretis, Shiskin (1974) mengemukanan bahwa indikator utama untuk menentukan status resesi suatu negara adalah terjadinya kontraksi ekonomi yang diukur melalui Produk Domestik Bruto (PDB) selama dua triwulan berturut-turut. Namun dalam perkembangannya, National Bureau of Economic Research (NBER) di Amerika Serikat, melihat bahwa ada berbagai faktor lainnya yang menjadi penyebab terjadinya resesi ekonomi selain PDB.
Hal ini karena struktur dan model ekonomi yang dianut masing-masing negara berbeda, sehingga setiap negara juga memiliki indikator yang berbeda satu sama lain untuk menentukan penyebab resesi itu. Kitapun bisa melihat di sini ada beberapa indikator-indikator lain yang sering terlupakan, namun bisa dipakai sebagai tolok ukur untuk melihat ataupun memprediksi potensi terjadinya resesi ekonomi di Indonesia.
Apabila data tersebut menunjukkan angka negatif lagi, berarti secara resmi Indonesia telah memasuki masa resesi ekonomi.
Deflasi
Ekonomi kita selama dua bulan berturut-turut mengalami deflasi: 0,10 persen pada Juli dan 0,05 persen pada Agustus 2020. Indikator deflasi ini memperlihatkan bahwa kondisi makro ekonomi sedang mengalami perlambatan yang ditandai dengan turunnya harga barang-barang dan jasa. Munculnya deflasi selama dua bulan terakhir ini harus kita waspadai dengan saksama, apakah ujung dari deflasi nantinya akan berwujud resesi ekonomi atau tidak.
Berbagai studi empiris menunjukkan adanya kaitan yang sangat erat antara deflasi dengan resesi ekonomi, karena deflasi yang terjadi terus-menerus bisa menciptakan resesi, begitu juga sebaliknya. Sudah banyak bukti empiris dari beberapa negara yang menunjukkan sebelum resesi ekonomi terjadi, negara itu mengalami deflasi lebih dulu. Malaysia mengalami deflasi selama beberapa bulan dari Maret hingga Juli, sebelum ekonominya terkontraksi sampai 17,1 persen enam bulan pertama 2020.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) memberikan potret riil bagaimana korporasi yang selama ini jadi tulang punggung produksi dan juga investasi dapat beroperasi dengan baik. Pesimisme dari investor yang membeli saham di bursa saham meningkat saat pandemi diumumkan, sehingga sebagian dari mereka terpaksa melepas saham-saham yang tak memiliki prospek bagus ke depan.
Baca Juga: Resesi Semakin di Depan Mata
Di awal 2020, angka IHSG masih di level 6.300-an, kemudian turun sampai ke level 3.900-an, dan sekarang masih di level 5.200an. Sulit memprediksi kapan IHSG balik kembali ke level 6.300-an atau lebih tinggi karena beberapa alasan. Pertama, kinerja sebagian besar korporasi saat pandemi akan terganggu karena menurunnya permintaan, sehingga laba yang diperoleh juga mengalami penurunan atau bahkan merugi.
Kedua, turunnya laba menyebabkan investor tak mendapatkan dividen atas kepemilikan sahamnya di korporasi itu, bahkan beberapa korporasi sudah menyatakan tidak akan membagikan dividen walaupun meraup keuntungan.
Sulit memprediksi kapan IHSG balik kembali ke level 6.300-an atau lebih tinggi karena beberapa alasan.
Kebangkrutan UMKM, PHK dan pengangguran
Selama ini UMKM menyumbangkan sekitar 60 persen PDB Indonesia setiap tahunnya, sehingga tak bisa dimungkiri kalau UMKM merupakan tulang punggung ekonomi nasional. Sebagai dampak pandemi ini, kegiatan UMKM banyak yang terganggu bahkan tak sedikit yang harus menutup kegiatan.
Survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) baru-baru ini memperlihatkan, 94,69 persen UMKM mengalami penurunan penjualan. Diperkirakan hanya 47,13 persen yang mampu bertahan hingga Agustus 2020, dan 72,02 persen akan menutup usahanya setelah November 2020. Kondisi ini sangat memprihatinkan mengingat UMKM menyerap hampir 97 persen dari sekitar 137 juta tenaga kerja yang ada di Indonesia.
Pengangguran sering dipakai sebagai salah satu indikator munculnya resesi khususnya di masa krisis ekonomi sekarang ini. Semenjak pandemi terjadi di Indonesia, angka pengangguran terus bertambah karena meningkatnya pegawai yang terkena PHK. Menurut Kadin, pekerja yang terkena PHK diperkirakan bertambah 6 juta orang, sementara Bappenas memperkirakan jumlah pengangguran mencapai 10,7 juta orang.
Bertambahnya jumlah yang menganggur ini memberikan dampak multiplier ke keluarganya, sehingga bukan hanya 10 juta orang yang terganggu memenuhi kebutuhan hidupnya, melainkan bisa mencapai 20 juta atau bahkan 30 juta mengingat kehidupannya bergantung pada orang yang di-PHK.
Pertumbuhan dan restrukturisasi kredit
Kredit perbankan selama ini menjadi salah satu sumber pembiayaan sektor riil sehingga pertumbuhan kredit yang melaju kencang mengindikasikan kalau ekonomi berjalan dengan baik. Kondisi saat ini menunjukkan data sebaliknya, dari Desember 2019 hingga Juli 2020, penyaluran kredit bank umum mengalami penurunan 1,33 persen dari Rp 5.683 triliun menjadi Rp 5.607 triliun.
Turunnya penyaluran kredit menandakan bahwa permintaan kredit semakin berkurang dan bank semakin selektif dalam memberikan kredit baru. Lemahnya aktivitas ekonomi juga terlihat dengan kian banyaknya debitor korporasi maupun UMKM yang mengajukan restrukturisasi kredit.
Permintaan restrukturisasi kredit yang semakin bertambah ini disebabkan karena mereka kesulitan likuiditas sebagai akibat lemahnya permintaan, sehingga korporasi besar dan UMKM tak mampu lagi menjalankan kegiatan usahanya dengan normal. Saat ini program restrukturisasi kredit yang diinisiasi oleh OJK dan perbankan telah mencapai sekitar Rp 857 triliun.
Lemahnya aktivitas ekonomi juga terlihat dengan kian banyaknya debitor korporasi maupun UMKM yang mengajukan restrukturisasi kredit.
Indeks Keyakinan Konsumen
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) merupakan indikator yang menggambarkan bagaimana ekspektasi konsumen terhadap kondisi ekonomi ke depan, apakah mereka merasa optimistis atau pesimistis.
Sebelum pandemi terjadi, IKK pada Februari 2020 masih menunjukkan angka 117,5 yang berarti masih berada di zona optimis (>100). Namun IKK terus mengalami penurunan semenjak pandemi berlangsung, sehingga pada Juli 2020 menjadi 86,2 yang mengindikasikan adanya pesimisme konsumen terhadap keadaan ekonomi.
Rasa pesimisme konsumen juga didukung hasil survei Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) yang memperlihatkan penurunan lebih ekstrem dari 105,5 pada Februari menjadi 50,7 pada Juli 2020. Kedua survei ini memberikan indikasi prospek ekonomi ke depan masih belum menentu dan penuh ketakpastian, sehingga ancaman datangnya resesi sudah ada di benak konsumen.
Kondisi sulit
Kita semua berharap bahwa segala kebijakan pemerintah yang telah dilakukan selama ini dapat meredam dan mencegah laju ekonomi masuk ke jurang resesi. Realisasi dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang telah dialokasikan untuk berbagai program, khususnya bantuan UMKM, bansos tunai maupun subsidi gaji, diharapkan mampu mendongkrak konsumsi rumah tangga dan belanja pemerintah, sehingga memperkecil peluang terjadinya resesi.
Apabila pada akhirnya ekonomi kita benar-benar memasuki resesi pada triwulan III-2020 nanti, kitapun berharap resesi itu cukup terjadi pada satu triwulan saja, sehingga pada triwulan IV-2020 ekonomi kita mampu tumbuh kembali positif atapun setidak-tidaknya memasuki zona netral atau 0 persen. Peluang terjadinya resesi yang berkepanjangan harus dicegah sekuat mungkin dengan berbagai kebijakan makro ekonomi lanjutan, agar ekonomi kita tidak menuju ke arah depresi maupun kelumpuhan (economic paralysis).
(Agus Sugiarto Advisor, Otoritas Jasa Keuangan)