Orang Baik
Tak usah berdebat apa kriteria baik/jahat. Bukan saja soal itu relatif dan subyektif. Terlepas dari kriterianya apa, sejarah manusia tak pernah hanya berisi isi konflik orang baik lawan orang jahat.
Sejarah yang bagus mirip sastra dan film bagus. Mencerahkan, karena mereka menampilkan tokoh-tokoh yang manusiawi.
Manusiawi artinya bermacam-macam. Sederhana, walau tak bisa didaftar lengkap. Misalnya, punya nafsu, tapi terbatas etika. Punya ambisi, tetapi juga frustrasi. Punya beban takut, dendam atau dengki. Sekaligus dikuatkan harapan dan cinta.
Bisa saja tokoh itu punya warna kulit, agama, jenis kelamin, status sosial jauh berbeda dari pembaca. Hidup di zaman dan negeri yang jauh berbeda. Namun pembaca bisa merasa ikut menjadi sang tokoh.
Manusia penuh kontradiksi dengan diri sendiri. Seperti masyarakatnya. Sifat baiknya mesra dengan sifat jahatnya. Kadang-kadang kebaikannya menonjol, karena nasib, peluang, atau dipaksa kondisi. Di saat lain jahatnya yang tampil. Sejarah yang bagus memaparkan semua itu dengan meyakinkan.
Tak semua karya sejarah mencerahkan. Yang parah mirip ujaran politikus di berbagai negeri. Dalam pidato dan wawancara, mereka hanya bicara tentang kehebatan diri sendiri atau kubunya dan keburukan lawan. Dunia jadi serba hitam putih, penghuninya bukan manusia, tapi malaikat dan iblis.
Belum lama di Tanah Air istilah ”orang baik” melambung jadi jargon politik. Tersirat tuduhan tentang lawan politik sebagai orang-orang ”tidak baik”. Yang aneh, memilih pejabat negara jadi mirip memilih pacar atau menilai calon menantu. Moralitas, agama, atau ketakwaan pribadi calon pejabat dianggap lebih penting ketimbang kinerja profesional dan kemampuan memimpin.
Sebelum 1965, debat politik bukan soal orang baik/jahat, tetapi adu visi kebangsaan sesuai ideologi partai. Sejak 1966, debat politik ditabukan. Sesudah 1998, partai politik miskin visi dan komitmen ideologi. Elite politikus mudah bertukar partai politik. Mudah ganti sekutu koalisi.
Kuatnya dikotomi orang baik/jahat sudah memasyarakat. Tidak hanya dalam kampanye pemilihan presiden, gubernur, atau wali kota. Sejarah nasional juga berputar di sekitar kisah tentang orang baik lawan orang jahat. Kisah serupa jadi menu tetap dalam kehidupan sehari-hari di luar sekolah. Dari khotbah agama, debat di TV, media sosial, hingga film.
Kisah orang baik lawan orang jahat didramatisasi secara ekstrem dalam sinetron. Yang baik, baiknya sempurna. Yang jahat, jahatnya tak terhingga. Sebelum ada televisi, panggung sandiwara juga begitu. Tetapi jangkauan sandiwara ke publik amat terbatas dibandingkan sinetron.
Jangan-jangan kini terjadi sinetronisasi kehidupan publik. Gejalanya, dikotomi hitam-putih menguasai pikiran dan bahasa publik. Yang abu-abu diabaikan. Apalagi warna-warna lain.
Tak usah berdebat apa kriteria baik/jahat. Bukan saja soal itu relatif dan subyektif. Terlepas dari kriterianya apa, sejarah manusia tak pernah hanya berisi isi konflik orang baik lawan orang jahat.
Dunia tidak indah jika semua orang baik. Berbagai tulisan sejarah, film, dan karya sastra yang bagus berkisah tentang konflik antartokoh yang sama-sama baik. Mereka berhati tulus, tapi bukan makhluk sempurna. Terdorong berbuat baik pada yang dikasihi, mereka bisa salah-paham, gegabah, atau salah-langkah. Akibatnya konflik meledak.
Dalam sejarah resmi dan imajinasi publik Indonesia, orang Belanda di masa kolonial serba jahat. Seakan-akan mereka bukan manusia. Maka tak dirasa perlu dikaji mengapa dan bagaimana mereka bisa jadi jahat.
Mengapa ada orang Belanda mau dan mampu mengarungi samudra separuh bola bumi dengan risiko besar mati di tengah perjalanan, tersesat, dan tak bisa pulang? Mengapa bukan orang Maluku, Jawa, atau Aceh yang berlayar ke Eropa dan menjajah di sana? Kekuatan sosial dan manusiawi macam apa yang memungkinkan satu sejarah, dan bukan yang lain?
Pertanyaan semacam itu tak terbayangkan dalam pelajaran sejarah yang hanya sibuk berkisah tentang orang baik dan jahat. Apalagi yang hanya mendaftar nama tokoh, tempat dan tanggal peristiwa.
Sejak merdeka Pemerintah Indonesia berkali-kali kerepotan merawat kesatuan RI. Yang membentuk wilayah ini pemerintah kolonial Belanda, dengan jumlah orang Belanda sangat kecil. Dengan pengetahuan sedikit tentang bangsa dan bahasa lokal. Kok mereka bisa?
Ketika Sumpah Pemuda diikrarkan (1928), sekitar 90 persen pegawai pemerintah kolonial Hindia Belanda adalah orang-orang Indonesia yang terjajah. Sebagian jadi tentara kolonial. Yang lain jadi intel yang memata-matai aktivis nasionalis. Tak beda jauh dari yang terjadi di Timor Timur ketika masih di bawah pemerintahan Republik Indonesia.
Apakah mereka itu orang-orang jahat? Kisah mereka bisa jadi kunci memahami sejarah kolonial. Sejarah manusia, bukan malaikat lawan iblis. Sayang, kisah mereka absen atau langka dalam buku sejarah. Juga di film nasional dan sastra.
Tahun 1965-1966 hampir sejuta warga Indonesia dibantai saudara sebangsa. Apakah para pembunuh itu jahat? Atau orang-orang baik yang membunuh orang-orang jahat? Sejarah nasional tidak menyiapkan anak-bangsa memahami sejarah masa itu sebagai sejarah manusia.
Sejarah sibuk menghakimi saudara sebangsa baik atau jahat. Tiga generasi turun-temurun terlatih mengembangbiakkan takhayul beracun. Diskusi atau penelitian yang menyeleweng dari versi resmi dibungkam dengan kekerasan.
Peristiwa 1965-1966 tak terlepas dari konflik berdarah tahun 1948 di Madiun dan Solo. Yang membunuh dan dibunuh sama-sama manusia. Bahkan saudara sebangsa. Namun belum tersedia pencerahan publik mengapa dan bagaimana pembunuhan itu bisa terjadi. Apa yang mendorong? Mungkinkah dihindarkan?
Jika terlalu sibuk memuliakan orang baik dan mengutuk orang jahat, pelajaran sejarah jadi mirip propaganda politik untuk cuci-otak. Yang jahat adalah semua yang berbeda dari rezim yang sedang berkuasa.
Ketika rezim berganti, yang baik/jahat bisa dipertukarkan. Tapi bila kerangka biner baik/jahat tetap dipelihara, sejarah yang manusiawi tetap jadi ancaman. Dianggap kejahatan yang layak dibasmi.
Sinetron dibuat karena laba besar bagi yang memproduksi. Tapi sinetronisasi kehidupan publik dalam republik? Demi apa? Siapa yang diuntungkan? Siapa saja korbannya? Sampai kapan?