Menilik Lagi ”Tilik”
Menilik film pendek Tilik dari sudut pandang kajian budaya (cultural studies) memperkaya diskursus mengenai gambaran perempuan dalam budaya massa.
Film pendek Tilik (2018) ditonton 22.873.464 kali pada Jumat (11/9/2020) siang sejak tayang 17 Agustus 2020 di laman YouTube, tempat film karya sutradara Wahyu Agung Prasetyo tahun 2018 itu ditayangkan. Begitu banyak yang menonton, begitu pula pro dan kontra yang menyertai. Menilik Tilik dari sudut pandang kajian budaya (cultural studies) memperkaya diskursus mengenai gambaran perempuan dalam budaya massa.
Sebagian kita sudah paham cerita Tilik. Latar belakang cerita sederhana. Seperti dijelaskan di dalam sinopsis, film bertutur tentang percakapan beberapa warga desa yang berangkat bersama-sama menengok bu lurah yang dirawat di rumah sakit. Sekitar 20-an orang warga desa selama perjalanan menggunakan truk bak terbuka membahas perilaku Dian, kembang desa.
Sejumlah komentator menyebut film ini menjadi populer karena Tilik menampilkan perilaku kita sehari-hari.
Bagi pemerhati kajian budaya, persoalan muncul karena yang ditampilkan sebagai biang gosip dalam film sepanjang 32 menit ini adalah perempuan. Tokoh utama adalah Bu Tejo yang diperankan dengan meyakinkan oleh Siti Fauziah. Stereotip perempuan yang ditampilkan dalam Tilik berlapis-lapis, antara lain, sebagai tukang gosip, tidak memiliki kemampuan transenden, dan sumber fitnah.
Meskipun sebagian besar kita enggan mengakui suka mendengar gosip, tetapi gosip dianggap sebagai keterampilan sosial. Bila membaca kamus virtual Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata gosip adalah “obrolan tentang orang-orang lain; cerita negatif tentang seseorang; pergunjingan”. Arti kedua dan ketiga membuat orang tidak nyaman, tetapi arti yang pertama lebih netral.
Harian Kompas (29/8/2020, e-paper kompas.id, hal 5) memberitakan, gosip berperan besar sebagai kontrol sosial untuk menjaga norma kelompok. Bergosip menjadi proses pertukaran informasi yang evaluatif, baik positif maupun negatif, dengan membicarakan orang lain tanpa kehadiran pihak ketiga tersebut. Gosip dapat menjadi perekat pertemanan dan sosial.
Baca Juga: Bu Tejo Adalah Kita
Lebih jauh, berita Kompas mengutip profesor psikologi di Knox College, Illinois, Amerika Serikat, Frank T McAndrew yang menulis dalam The Conversation, 25 September 2019, bahwa bergosip adalah keterampilan sosial, bukan cacat karakter. Orang yang sulit bergosip biasanya juga sulit mempertahankan relasi pertemanan dan sering merasa dikucilkan.
Meskipun ada sederetan pesan positif mengenai gosip dan bergosip, tetapi kita tidak hidup di ruang kosong. KBBI menjelaskan ada konotasi negatif pada gosip, yaitu menceritakan hal negatif tentang seseorang. Pada masyarakat kita, arti kedua ini yang lebih dipahami banyak orang.
Representasi
Di dalam kajian budaya, film sebagai produk budaya tidak netral. Film adalah representasi gagasan. Kelompok sosial, ekonomi, ras, etnis, jender yang dominan memasukkan gagasan dominannya melalui bentuk-bentuk kebudayaan, salah satunya adalah film. Antonio Grasmci, pemikir asal Italia, misalnya, menyebut dominasi dan hegemoni diperlukan untuk menciptakan keseimbangan di masyarakat.
Selain hegemoni (dominasi ideologi) melalui orde sosial seperti kapitalisme pasar, fasisme dan komunisme, masyarakat menciptakan hegemoni (dominasi ideologi) laki-laki dan ras tertentu melalui pelembagaan dominasi laki-laki atau aturan yang diciptakan ras atau etnis tertentu terhadap kelompok yang lebih lemah posisinya (subordinat).
Dalam esai yang kemudian dianggap klasik di dalam kajian kritis budaya, Visual Pleasure and Narrative Cinema (1975), Laura Mulvay berargumen pembuat film melegitimasi dan melanggengkan orde patriarkhi yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan dominan dan perempuan biasanya berada di bawah dominasi nilai-nilai laki-laki.
Di dalam orde ini, menurut Laura, perempuan menjadi obyek yang ditonton dan laki-laki sebagai subyek yang menonton. Laura menggunakan pendekatan biner yang mengundang perdebatan, menunjukkan laki-laki sebagai subyek yang bebas berfantasi dan melampiaskan obsesi melalui perintah bahasa dengan menempatkan fantasi itu pada citra perempuan. Perempuan berada pada posisi sebagai pembawa pesan, bukan sebagai pembuat makna. (Media and Cultural Studies, KeyWorks, 2009).
Dalam diskusi vitual Critical Circle Sabtu (5/9/2020), Suci Fitriah Tanjung dari Sekretariat Nasional Solidaritas Perempuan menyebut, film Tilik lahir dari masyarakat yang masih didominasi budaya patriarki. Hal tersebut tampak dari tidak ada hal subtansial yang dibicarakan di bak truk sepanjang perjalanan, kecuali mencurigai Dian sebagai perempuan tidak baik. Pembicaraan tidak membawa perubahan penting bagi kehidupan komunitas.
Lies Marcoes Natsir dari Rumah Kitab, dalam diskusi virtual Selasa (8/9/2020) terkait peluncuran hasil penelitian Rumah Kitab menyebutkan, salah satu hasil penelitian adalah perempuan—tubuh, perilaku, perkataan—masih dianggap sebagai sumber fitnah. Karena itu, diperlukan laki-laki untuk memperbaiki perempuan.
Penelitian kualitatif untuk mengidentifikasi kekerasan jender berbasis agama itu dilakukan pada 16 komunitas di Jakarta, Bekasi, Depok, Bandung dan Solo pada September 2019-Maret 2020 pada 165 informan. Lies menyebut, mayoritas informan menganggap perempuan adalah sumber fitnah dan menyebabkan instabilitas di masyarakat. Ideologi bahwa perempuan memerlukan laki-laki untuk mengatur agar kehidupan masyarakat damai, dapat berujung pada pengekangan dan kekerasan fisik, verbal, ekonomi, dan bahkan seksual terhadap perempuan.
Bila kita melihat akhir film, Dian dimunculkan sebagai pengganggu rumah tangga orang. Kita bisa membaca komentar dari seorang laki-laki penonton pada laman YouTube Tilik. Terasa ada tuduhan terhadap perilaku Bu Tejo dan Dian berperilaku “tidak benar” dan laki-laki harus melawan godaan dari perempuan. Komentar ini menjadikan perempuan sebagai pengganggu keseimbangan di masyarakat.
Perempuan juga digambarkan tidak dapat bertindak sendiri, cukup satu Gotrek untuk membawa mereka semua sampai tujuan. Pada akhir cerita, stereotipe perempuan sebagai konsumen (pasif), bukan produsen (aktif), juga ditekankan dengan ajakan Bu Tejo untuk berbelanja ke pasar.
Lebih positif
Film pendek sebagai produk kebudayaan massa dapat memberikan gambaran lebih positif tentang perempuan dan relasi jender yang lebih seimbang. Dalam konteks ini film pendek Rasan-rasan, juga di YouTube dengan 616.789 kali ditonon pada Jumat (11/9/2020), memilih bertolak belakang dengan Tilik, menggambarkan laki-laki sebagai penggosip. Padahal, dunia akan lebih nyaman bila ada keseimbangan dalam segala hal, termasuk dalam relasi jender.
Baca Juga: Gosip Tak Kenal Jender
Gosip bila kita percaya merupakan keterampilan sosial dan dapat bersifat positif, akan memberi gambaran positif tentang perempuan seandainya pembicaraan pada Tilik berakhir pada sesuatu yang lebih subtansial. Misalnya, mendesak pak lurah memperbaiki jalan desa, membangun jamban, mendanai posyandu, yang meningkatkan kesejahteraan warga desa.
Padahal film ini sudah menunjukkan perempuan memiliki cara sendiri yang sering luput dari perhatian. Dalam bernegosiasi, misalnya, yaitu ketika truk diberhentikan polisi lalu-lintas, Gotrek sebagai satu-satunya laki-laki dan sopir tidak berdaya menghadapi polisi sebagai wakil negara pemegang kekuasaan. Tetapi, para perempuan dengan dipimpin Bu Tejo, beramai-ramai serempak mendesak pak polisi hingga menyerah dan akhirnya truk dan semua penumpangnya boleh meneruskan perjalanan.
Sayangnya kesempatan yang sangat bisa dibangun sepanjang film tidak dimanfaatkan. Padahal Tilik mendapat penghargaan Film Pendek Terpilih Piala Maya 2018, Official Selection Jogja-Netpac Asian Film Festival 2018, dan Official Selection World Cinema Amsterdam 2019, serta sudah ditonton lebih 22 juta kali.