Ibu Pertiwi Sedang Lara
Ibu Pertiwi sedang lara. Saatnya duduk bersama, menghadapi masa-masa sulit. Senasib sepenanggungan. Saatnya semua komponen bangsa duduk bersama, mencari jalan bersama, untuk membantu sesama.
...Kulihat Ibu Pertiwi
Sedang bersusah hati
Air matanya berlinang
Emas intannya terkenang
Hutan, gunung, sawah, lautan
Simpanan kekayaan
Kini Ibu sedang lara
Merintih dan berdoa…
Bait lagu itu dinyanyikan Pemimpin Umum Kompas Jakob Oetama, 17 Agustus 2000. Bertepatan dengan peringatan HUT Ke-55 Republik Indonesia, Jakob menjadi inspektur upacara di halaman Kantor Kompas Gramedia. Peringatan 17 Agustus tidak rutin digelar di lingkungan kantor. Namun, 17 Agustus 2000 terasa istimewa, Jakob Oetama meminta upacara kemerdekaan digelar.
Tak banyak kata disampaikan Jakob. Dua bait lagu ”Ibu Pertiwi” dinyanyikannya dengan suara bariton. Lirik lagu ”Ibu Pertiwi” merupakan kegelisahan Jakob atas kondisi negeri. Kekerasan terjadi di sejumlah tempat. Pengangguran masih banyak. Kemiskinan masih ada dan nyata. ”Saya rasa kita sependapat, Ibu Pertiwi sedang atau masih bersedih hati. Kalau hari ini kita bersama merayakan hari proklamasi, kita ingin mengentakkan kesadaran kita bahwa kita adalah bagian dari bangsa dan rakyat. Bahwa kita adalah anak-anak dari Ibu Pertiwi yang sedang bersedih hati.”
Seperti dicatat dalam Info Kita, majalah internal Kompas Gramedia, Jakob menyebut, apa artinya tanah air kalau tidak ada lingkungan alam. Apa artinya lingkungan alam yang subur kalau tak ada penduduknya, kalau tak ada rakyatnya. Jakob menawarkan gagasan senasib sepenanggungan. ”Kalau dia susah, kita senang, apa artinya kesenangan kita.”
Saya angkat momentum 17 Agustus 2000 karena dua hal. Pertama, Jakob Oetama berpulang, Rabu, 9 September 2020, dalam usia 88 tahun. Inilah penyelenggaraan Ilahi (providentia Dei). Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata karena memang Jakob adalah pemegang Bintang Mahaputera yang diserahkan Presiden Soeharto tahun 1973. Kepergian seseorang menjadi momentum yang tepat untuk menggali kembali pemikiran dan menemukan relevansinya.
Kedua, Ibu Pertiwi yang sedang sedih, yang dinyanyikan Jakob 20 tahun lalu, masih relevan dengan kondisi kini. Saat ini, Ibu Pertiwi masih bersedih. Badai pandemi Covid-19 memorakporandakan fondasi negeri. Jumlah korban terkonfirmasi positif terus meningkat. Lebih dari 100 dokter meninggal. Data hingga Kamis, 10 September 2020, jumlah orang terkonfirmasi positif sebanyak 207.203 orang, yang sembuh 147.510 orang, dan yang meninggal 8.456 orang.
Dilaporkan, rumah sakit mulai kesulitan tempat untuk melayani korban. Bahkan, warga mulai cemas. Khawatir tanah makam tak lagi mencukupi. Khawatir sakit, tetapi tak dapat rumah sakit. Ekonomi kecil ambruk. Resesi ekonomi di depan mata. Masa-masa susah ada di depan. Pengangguran terjadi karena perusahaan tutup.
Dalam kondisi serba sulit, menarik retorika Jakob, apa artinya sebuah bangsa tanpa rakyatnya. Manusia dan kehidupan menjadi sangat sentral. Kemanusiaan dan keindonesiaan haruslah menjadi satu kesatuan.
Baca juga: Merdeka dari Korona
Kini, bangsa ini membutuhkan kepemimpinan gagasan. Gagasan yang menerobos. Bukan sekadar propaganda yang hanya membuka luka bangsa. Bangsa ini membutuhkan kesolidan ide dan program untuk keluar dari krisis. Dari krisis kesehatan, bergerak ke krisis ekonomi, dan bisa merambah ke krisis sosial dan politik jika tak bijak dalam menangani.
Tinggalkan sejenak persaingan politik, termasuk kenekatan politik menggelar pilkada pada 9 Desember 2020. Kenekatan melaksanakan pilkada kian mempertontonkan ambivalensi elite negeri. Pilkada adalah ajang rakus memperebutkan atau mempertahankan kekuasaan. Sejarah mengajarkan, momen pilkada adalah momentum show of force massa.
Hampir mustahil pilkada tanpa pengerahan massa. Hampir mustahil pengerahan massa bisa disertai dengan disiplin jaga jarak. Karena itulah, anjuran jaga jarak, yang disampaikan elite negeri untuk mencegah penularan Covid-19, seakan menjadi kehilangan pengaruhnya karena pilkada. Semuanya harus jaga jarak, tetapi hajatan pilkada harus digelar atas nama demokrasi. Itulah perilaku politisi kita yang tengah memburu kekuasaan. Tak ada satunya kata dan perbuatan. Jangan sampai pilkada malah menjadi penyebar virus korona.
Penanggung jawab pemilu harus berani mengambil kebijakan tidak populer di mata para politisi untuk menunda pilkada yang tingkat penularan virus koronanya begitu tinggi. Bahwa akan ada kekosongan jabatan di daerah karena masa jabatan habis, hal itu bukanlah perkara sulit untuk diatasi. Aturan undang-undang bisa mengatasi problem teknis politis.
Kepemimpinan gagasan dan keteguhan kebijakan inilah yang kelihatannya meredup. Selalu saja terjadi kontestasi gagasan antar-elite. Antara pusat dan daerah. Antara ekonom dan ahli kesehatan. Antara ahli kesehatan dan para politisi. Sayangnya, gagasan itu dibiarkan saja bertarung di alam virtual, sementara virus korona terus merajalela.
Ibu Pertiwi sedang lara. Saatnya duduk bersama, menghadapi masa-masa sulit. Senasib sepenanggungan. Saatnya semua komponen bangsa duduk bersama, mencari jalan bersama, untuk membantu sesama. Saling mengingatkan dan saling menguatkan sesama anak bangsa. Jangan biarkan Ibu Pertiwi terus bersedih karena kenekatan politik elite negeri dalam mengambil kebijakan. Karena kita semua yakin, badai pasti berlalu....