Tindakan negara kuat bisa anarkistis. Tak selalu berarti kekacauan atau pembantaian, tetapi kesemena-menaan terbuka lebar jika tidak ada lawan.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Jika satu negara dirugikan dalam perdagangan internasional, negara itu bisa mengadukan ke Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO lewat Dispute Settlement Body.
Badan sengketa ini, Dispute Settlement Body (DSB), menyidangkan kasus. Jika putusan DSB dinilai tidak adil, ada proses banding. DSB bertujuan menertibkan aturan perdagangan internasional. Amerika Serikat (AS) di bawah Presiden Donald Trump secara teknis sedang meninggalkan WTO. AS bertindak unilateral terhadap banyak mitra, termasuk mengenakan tarif impor dari China.
AS mengumumkan lagi langkah terbaru terhadap China lewat Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR). Di akhir 2020, tarif diperluas terhadap beberapa produk China berdasarkan ”Section 301”, peraturan dagang AS. Perangkat ini mengatasi peraturan WTO. Ketua USTR Robert Lighthizer dulu sukses menundukkan Jepang dan ingin mengulang sukses itu.
Hal ini mengkristalkan teori tentang politik negara adidaya. Di atas negara tidak ada struktur. Tindakan negara kuat bisa anarkistis. Tak selalu berarti kekacauan atau pembantaian, tetapi kesemena-menaan terbuka lebar jika tidak ada lawan.
Memperburuk situasi adalah eksistensi aliran hegemoni liberal yang bercokol dalam kebijakan internasional AS. Aliran ini menganggap diri paling benar dan memuasi aspirasi negara adidaya, yang pada dasarnya tak menginginkan kehadiran pesaing dan ingin hegemonik.
Aksi Trump mewarnai paradigma AS itu yang mengkristal setelah kejatuhan Uni Soviet. Dunia unipolar memuaskan hasrat hegemoni liberal. Ini tidak langgeng dan berbiaya besar, opini yang terus didengungkan pakar hubungan internasional dari University of Chicago, Prof Dr John Mearsheimer.
China menguat dan pesaing potensial bagi AS. Pada Senin (7/9/2020), Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian menuduh Washington sebagai ”blatant hegemony”, merujuk aksi buruk terbuka dan tanpa aturan global. ”Beijing menentang tarif baru,” kata Zhao.
Ketua USTR Robert Lighthizer dulu sukses menundukkan Jepang dan ingin mengulang sukses itu.
Jejeran mantan ketua USTR tak suka dengan taktik dagang China, juga tak suka dengan langkah Trump karena merugikan AS juga. ”Saya tidak suka tarif, saya seorang ekonom,” kata Susan Schwab, Ketua USTR 2006-2009.
Teori tentang negara kuat menunjukkan kepentingan ekonomi bisa diabaikan jika dirasakan keamanan terancam. Trump menyebutkan China memerkosa hak AS dan dihantam dari segala sisi. Aliran realisme di AS menuntut sikap menahan diri untuk tidak melabrak semua hal. AS tidak akan bisa menanggung beban negatif dan ini pasti dilawan. Seperti AS, China yang menguat melawan secara alamiah.
Aliran realisme di AS menuntut sebuah sikap realistis, tetapi tak menutup pintu untuk menekan, hanya saja tindakan harus terukur. China telah mengkristalkan keinginan menjadi negara kuat. China telah mencanangkan sikap memupus situasi dipermalukan selama seabad. Aksi Trump yang mempermalukan tidak bisa lagi diterima. Ini memunculkan sebuah optimisme dalam relasi bilateral AS-China, sikap menahan diri, yang berefek baik pada dunia. Si vis pacem, para bellum. Jika inginkan perdamaian, bersiaplah menghadapi perang.