Pandemi dan Beban Utang
Setelah pandemi Covid-19, akan banyak negara yang semakin sulit terbebas dari penyakit pertumbuhan rendah dan utang tinggi. Namun, Indonesia bisa mengubah ”Japan disease” menjadi ”Japan cure”.
Masalah utang selalu menjadi perhatian masyarakat dan menjadikan pemerintah sebagai sasaran, sejak zaman Orde Baru dan sebelumnya, bahkan sampai sekarang.
Persoalan utang ini muncul kembali seiring melonjaknya potensi utang pemerintah dalam masa pandemi Covid-19, yang isunya cenderung melebar ke gerakan politik. Perbedaan pendapat berupa kritik yang disampaikan melalui media ataupun diskusi, bahkan secara fisik melalui aksi unjuk rasa, adalah bagian dari demokrasi dan justru menjadi ciri bahwa demokrasi sedang berproses.
Namun, diskusi yang bermanfaat perlu dilandasi argumentasi di atas dasar pemikiran yang kokoh. Melalui tulisan singkat ini, penulis ingin berkontribusi terhadap diskursus beban utang pemerintah dengan merujuk pada apa yang dikenal sebagai Japan disease.
Namun, diskusi yang bermanfaat perlu dilandasi argumentasi di atas dasar pemikiran yang kokoh.
Beban utang akibat pandemi
Pertama-tama, hal yang paling mendasar, sejak Maret 2020 Indonesia harus menangani bencana kesehatan yang disebabkan virus korona baru penyebab Covid-19. Virus ini menyebar cepat dari manusia ke manusia dan sampai sekarang belum tersedia vaksin atau obat, baik di dalam negeri kita sendiri maupun di dunia internasional. Pemerintah menerapkan kebijakan sejalan dengan protokol internasional untuk mencegah penularan dan menegakkan tata kehidupan baru atau new normal serta kebijakan lain untuk mencegah penularan lebih luas.
Secara otomatis, kebijakan ini membatasi mobilitas masyarakat yang berdampak langsung pada aktivitas ekonomi dan ujungnya adalah kontraksi pertumbuhan, bahkan potensi resesi ekonomi. Artinya, walaupun bermula dari bencana kesehatan, dampak Covid-19 terhadap ekonomi juga cukup dalam.
Baca juga : Resesi dan Peradaban Baru
Untuk mengatasi ini, pemerintah mengambil kebijakan yang bersifat countercyclical, dengan menyesuaikan pagu anggaran untuk mendukung penanganan dampak Covid-19. Anggaran belanja negara beberapa kali disesuaikan, melalui Perpres Nomor 54 Tahun 2020 dan kemudian Perpres No 72/2020. Selain untuk menangani Covid-19 di bidang kesehatan, tambahan belanja ini juga melindungi masyarakat terdampak dan mendorong kegiatan ekonomi.
Belanja yang terus meningkat dan penerimaan yang menurun niscaya berdampak pada defisit APBN. Defisit anggaran diproyeksikan meningkat cukup besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya: 2,49 persen (2016), 2,51 persen (2017), 1,82 persen (2018), 2,20 persen (2019), yang selalu berada di bawah 3 persen dari produk domestik bruto (PDB) sesuai pembatasan undang-undang.
Namun, batasan ini tak dapat lagi dipertahankan ketika pandemi melanda. Perppu No 1/2020 memberikan keleluasaan kepada pemerintah untuk memperlebar defisit anggaran hingga di atas 3 persen terhadap PDB dan diprediksi dapat mencapai 6,34 persen pada 2020.
Baca juga : Peluang Meminimalkan Resesi
Kebijakan pembiayaan melalui utang dilakukan untuk menutupi pelebaran defisit dan kebutuhan pendanaan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Adanya peningkatan utang, selain karena kebutuhan penanganan dampak pandemi, juga karena menurunnya pendapatan negara seiring terjadinya pertumbuhan negatif di 2020. Tekanan pada pendapatan negara terefleksi pada rendahnya realisasi penerimaan pajak, yang hingga Juli diperkirakan turun 14,7 persen.
Jika diperiksa lebih saksama, alokasi dana berkaitan dengan penanganan Covid-19 memang ditujukan pada tiga masalah pokok dalam menghadapi krisis ini: kesehatan, perlindungan sosial untuk masyarakat terkena dampak, dan upaya pemulihan ekonomi dalam jangka pendek. Misalnya, porsi dana untuk usaha mikro yang mencakup 12 juta pelaku usaha cukup besar dan ini ditujukan untuk menjaga kegiatan ekonomi di tingkat paling bawah. Dari sisi perlindungan terhadap yang paling rentan secara ekonomi, pemerintah telah mengambil langkah yang seharusnya ditempuh.
Dari sisi perlindungan terhadap yang paling rentan secara ekonomi, pemerintah telah mengambil langkah yang seharusnya ditempuh.
Defisit yang ditutup dengan utang tidak dapat dihindarkan bukan hanya oleh Indonesia, melainkan juga oleh hampir semua negara di dunia. Semua negara berkepentingan melindungi kesehatan masyarakatnya, termasuk pengembangan vaksin dan obat untuk penyembuhan serta melindungi kehidupan ekonomi warganya karena, apabila kegiatan ekonomi terhenti, penderitaan masyarakat akan lebih besar.
Walaupun utang tak dapat dihindarkan, sedikitnya ada dua masalah pokok yang harus menjadi pertimbangan penting. Pertama, pengelolaan yang baik. Kalkulasi penambahan utang mestinya sudah memperhitungkan kemampuan pemerintah untuk membayar dalam jangka waktu tertentu dengan mempertimbangkan sumber pendapatan negara. Perhitungan yang matang diperlukan untuk menjaga disiplin fiskal.
Kedua, pengelolaan utang harus bebas dari penyalahgunaan, penghamburan, apalagi korupsi, dan kepentingan-kepentingan lain di luar peruntukannya. Jangan ada kesan bahwa dana utang digunakan untuk kepentingan politik atau kelompok tertentu.
Baca juga : Prediksi Momentum Pertumbuhan
Utang pemerintah harus dipergunakan semata-mata untuk kepentingan penanganan krisis kesehatan serta perlindungan bagi lapisan masyarakat rentan yang paling terkena dampak. Pemerintah juga harus memastikan bahwa ekonomi dapat berjalan terus serta mencegah penukikan ke bawah (spiralling down) akibat melemahnya penawaran dan permintaan.
Dalam masa krisis akibat pandemi ini, pengelolaan utang akan menjadi batu ujian sangat penting. Tak banyak pilihan: jika utang dapat dikelola dengan baik, Indonesia akan lebih mudah melewati krisis dan terus melaju menjadi negara berpendapatan menengah tinggi dalam dua atau tiga dekade ke depan. Namun, jika tak lulus ujian dalam mengelola utang, sangat mungkin Indonesia akan sulit keluar dari jebakan pendapatan menengah (middle income trap).
Kita juga menyadari, pertumbuhan ekonomi Indonesia setelah pandemi sangat tergantung perkembangan ekonomi dunia. Krisis akibat Covid-19 telah mendorong kontraksi ekonomi secara global. Kenyataan ini menimbulkan teka-teki besar: apakah dunia sanggup memulihkan ekonomi, yaitu pertumbuhan menjadi positif mengikuti kurva V?
Kita juga menyadari, pertumbuhan ekonomi Indonesia setelah pandemi sangat tergantung perkembangan ekonomi dunia.
Hingga saat ini, para ahli pun masih sulit menjawab pertanyaan ini. Hal ini karena sebelum pandemi melanda, ekonomi dunia sudah tidak dalam kondisi stabil. Pasar dunia melemah, terutama untuk negara berkembang yang bergantung pada ekspor dan harga komoditas, sehingga pertumbuhan ekonomi juga menjadi terhambat. China yang sebelumnya menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi global juga tak lagi tumbuh sepesat dasawarsa sebelumnya.
Walaupun ada juga prediksi akan terjadi pemulihan ekonomi global, mungkin tak secepat seperti diharapkan dan dengan syarat pandemi ini berhasil tuntas diatasi sehingga kegiatan ekonomi—suplai dan permintaan—bisa segera pulih kembali dengan berbagai penyesuaian terkait inovasi dan teknologi.
Bagaimana jika pemulihan ekonomi dunia tak seperti kurva V, yang terjadi adalah kurva L? Jawabannya juga sulit dan kita harapkan skenario itu tidak terjadi. Namun, sebetulnya ada negara yang mengalami stagnasi ekonomi yang cukup panjang, yaitu Jepang. Stagnasi ekonomi ini dikenal sebagai ”penyakit Jepang” (Japan disease).
Baca juga : Stimulus untuk Hindari Resesi
”Japan disease”
Japan disease digambarkan Richard D Erb, mantan Deputi Direktur Pelaksana IMF, sebagai ”extended low growth, unheard of levels of debt, disinflationary pressures, a non-stimulative monetary policy, low productivity, and an aging population” (The International Economy, Spring 2020). Sejak 1988 hingga saat ini, Jepang mengalami stagnasi pertumbuhan ekonomi disertai tingkat pinjaman yang juga tinggi.
Negara ini mengalami tekanan deflasi dengan suku bunga bank sangat kecil dan kebijakan moneter yang diambil selama beberapa periode pemerintahan tak mampu menjadi stimulus percepatan pembangunan. Faktor struktur demografi yang menua juga menjadi kendala peningkatan produktivitas.
Baca juga :Deflasi di Tengah Ancaman Resesi
Kishore Mahbubani (ibid) melihat pengalaman Jepang ini dari sudut yang berbeda. Benar bahwa setelah pandemi Covid-19 akan banyak negara, terutama negara berkembang berpendapatan rendah, yang semakin sulit terbebas dari penyakit pertumbuhan rendah dan utang tinggi. Namun, negara maju (dan setengah maju, seperti Indonesia—tambahan penulis) bisa mengubah Japan disease menjadi Japan cure.
Mahbubani membandingkan Jepang dengan AS dan conventional wisdom menyatakan bahwa pada dasawarsa-dasawarsa terakhir, ekonomi AS berkembang relatif baik ketika ekonomi Jepang tertatih-tatih dan mengalami stagnasi. Antara 1988 dan 2018 ekonomi AS berhasil tumbuh 2,6 persen, sedangkan Jepang hanya 1,4 persen. Pada kurun itu pendapatan per kapita AS naik dari 21.427 dollar AS ke 62.794 dollar AS, sedangkan Jepang tersusul oleh AS dari 25.051 dollar AS menjadi 39.290 dollar AS.
Namun, negara maju (dan setengah maju, seperti Indonesia—tambahan penulis) bisa mengubah Japan disease menjadi Japan cure.
Lalu, bagaimana kondisi rakyat kedua negara tersebut? Siapa yang menikmati pertumbuhan itu? Meskipun ekonomi AS tumbuh cukup baik dalam kurun tersebut, sebagian yang cukup besar rakyat tidak menikmatinya.
AS adalah satu-satunya negara maju yang pendapatan rata-rata 50 persen lapisan bawah warganya turun dalam waktu 30 tahun. Kondisi yang oleh pemenang Nobel Angus Deaton (ibid) disebut sebagai ”samudra keputusasaan (sea of despair)” ini menjurus ke arah disfungsi keluarga, isolasi sosial, kecanduan narkoba, obesitas, dan berbagai patologi lain. Semua itu mengakibatkan kemarahan populis dan polarisasi politik yang tajam, seperti yang terlihat sekarang ini.
Di sisi lain, kondisi masyarakat Jepang lebih baik, merujuk pada data kunci yang mengukur kesejahteraan sosial, seperti harapan hidup, mortalitas bayi, pendapatan kaum pekerja, dan ongkos kehidupan pokok (pangan, pakaian kesehatan, pendidikan). John Rawls (ibid), pakar falsafah politik AS, menunjukkan bahwa 10 persen lapisan terbawah masyarakat di Jepang lebih baik kehidupannya dibandingkan dengan di AS.
Baca juga : Masyarakat 5.0 dan Jepang yang Menua
Mahbubani menyimpulkan, di Jepang harmoni sosial lebih dijunjung tinggi ketimbang capaian-capaian individual. Kendati dibebani utang besar dan pertumbuhan rendah, masyarakat Jepang menghargai harmonisasi sosial yang mengedepankan nilai-nilai yang dalam mengenai makna kehidupan, termasuk keindahan, kepedulian terhadap lingkungan, refleksi diri, serta sensitivitas yang dalam terhadap sesama warganya.
Kasus Jepang menunjukkan bahwa pemanfaatan utang negara untuk pemerataan dan kesejahteraan rakyat menjadi penentu keberhasilan pembangunan masyarakat secara menyeluruh.
Tentunya di dunia ini tidak ada yang sempurna, tetapi beberapa aspek pandangan yang dikemukakan Mahbubani ini tidak hanya dimiliki masyarakat Jepang, tetapi juga tecermin dalam budaya Timur; khususnya masyarakat-masyarakat di Asia, termasuk di Indonesia.
Hal yang penulis kemukakan di atas bukan untuk pembenaran kondisi yang tak dikehendaki, yaitu keterlilitan utang, melainkan sebagai refleksi bahwa kita tidak sendirian. Kondisi utang Indonesia tidaklah demikian berat dibandingkan negara-negara lain, termasuk yang sekelompok (peer countries).
Cara yang paling obyektif adalah perbandingan kekuatan ekonomi suatu negara yang tecermin dalam PDB. Defisit anggaran kita dibandingkan PDB sebesar 6,3 persen, masih lebih baik jika disandingkan dengan India (7,5 persen), Filipina (7,7 persen), Malaysia (7,7 persen), Thailand (6,4 persen), atau Singapura yang defisitnya mencapai 13,5 persen.
Dalam gambaran yang lebih besar, sampai dua triwulan 2020, rasio utang Indonesia terhadap PDB mencapai 37,3 persen, naik dari 36,2 persen di 2019. Bandingkan dengan rasio utang 2019 India (69 persen), Malaysia (56,3 persen), Thailand (42,4 persen), Filipina (39,3 persen), dan Singapura (114,1 persen).
Pada 2020, perbandingan itu tentu akan lebih besar lagi. Dapat kita simpulkan bahwa kondisi utang kita lebih baik dan lebih aman dibandingkan banyak negara di dunia, termasuk negara-negara sekelompok atau peer countries.
Cara yang paling obyektif adalah perbandingan kekuatan ekonomi suatu negara yang tecermin dalam PDB.
Sebagai penutup, penulis ingin menggarisbawahi bahwa utang sudah menjadi bagian dalam perekonomian modern. Perusahaan-perusahaan besar ataupun kecil memerlukan pinjaman, baik untuk kegiatan operasional maupun investasi guna memulai, memperbesar, memperluas atau memperkuat kegiatan usaha.
Yang penting, seperti dikatakan tadi, utang itu berada dalam batas kemampuan untuk mengembalikan dan digunakan secara benar sesuai kebutuhan serta untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat dalam dimensi yang luas.
Ginandjar Kartasasmita, Mantan Menko Ekuin/Ketua Bappenas.