Pak Jakob Oetama sejauh yang saya lihat mendemonstrasikan personalitas yang kuat dan melekat ketat dengan humanismenya yang kental. Sabar mendengarkan, sabar pula menggunakan pendengarannya dengan saksama.
Oleh
Suharso Monoarfa
·4 menit baca
Diskusi dengan para intelektual muda baru saja berakhir di Pacet, Jawa Barat, pada 1985. Dengan tergesa-gesa, saya mengejar Pak Jakob Oetama. Sambil berjalan bersama beliau, saya berkata, ”Pak Jakob, ada pertanyaan yang perlu saya kemukakan.”
”Siapa namamu?” tanya Pak Jakob. ”Suharso Monoarfa,” jawab saya. ”Namamu aneh,” timpal beliau sambil tersenyum. Kombinasi nama saya ternyata asing bagi Pak Jakob.
”Apa pertanyaanmu?” ujar beliau. Saya menjawab, ”Tentang Pram (Pramoedya Ananta Toer).” Beliau terdiam. Saya langsung mencecar Pak Jakob dengan tumpahan pertanyaan.
Buku Bumi Manusia karya Pram saat itu memang sedang menjadi perbincangan, trending topic. Sebagai mantan demonstran, pertanyaan yang saya ajukan ketika itu berselera hero. Sebuah pertanyaan yang diajukan pada sebuah zaman yang tidak perlu saya jelaskan panjang lebar.
Lalu, apa pertanyaan saya? Saya mengajukan pertanyaan mengapa Pak Jakob mau menjadi narasumber yang menjelaskan bahwa di balik novel Pramoedya Ananta Toer itu ada nukilan yang membawa pesan proletarian, pertentangan kelas, dan nilai-nilai yang mengandung komunisme.
Sebagai mantan demonstran, pertanyaan yang saya ajukan ketika itu berselera hero.
Saya mendengar sendiri penjelasan Pak Jakob itu di sebuah latihan kepemimpinan pemuda waktu itu. Memang, dalam pelatihan tersebut, kami cuma diindoktrinasi. Sekali lagi, itu terjadi pada sebuah zaman yang tidak perlu saya jelaskan panjang lebar.
Jaga nurani
Saya juga menyampaikan kepada beliau, ”Saya suka novel Pram.” Pak Jakob pun menjawab, ”Bagus. Namun, jaga hati nuranimu agar akal sehat ada jalannya dan mengantarkanmu sampai di wisdom.” Saya tertegun, terkesima.
Jawaban beliau di luar ekspektasi saya. Tadinya, saya berharap beliau akan membangun argumentasi untuk memuaskan intelektualitas saya. Atau setidaknya, mengusir prasangka saya, bahwa seakan-akan saya menuduh Pak Jakob itu anti-Pram. Sebaliknya, beliau justru kemudian mengedukasi saya tentang humanisme dari lantai yang paling dasar.
Lain waktu, pada 1992, saya bertemu dengan Pak Jakob di Bentara Budaya. Ketika itu, ada peluncuran buku Industrialisasi dan Wiraswasta: Masyarakat Industri ”Belah Ketupat” yang ditulis oleh Fadel Muhammad.
Saya bercerita kepada Pak Jakob bahwa gegara tulisan saya di halaman 4, Kompas, edisi 16 Januari 1979, dengan judul ”Mengapa Tidak Kita Mulai Hari Ini”, saya dijemput Laksus, Pelaksana Khusus Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, dari rumah.
Padahal, saya beranggapan tulisan itu biasa-biasa saja. Dalam tulisan itu, saya mengamsalkan pilihan bagi aksi mahasiswa menjadi resi atau kelinci.
Bagaimana tanggapan beliau? Pak Jakob berkata, ”Terkadang kita dihadapkan pada pilihan yang sulit: hidup dulu baru berfilsafat, atau sebaliknya.”
Jawaban itu membawa saya ke memori tajuk Kompas yang berjudul ”Mawas Diri”, pada 6 Februari 1978. Di hari itu, Kompas terbit kembali setelah dilarang selama beberapa waktu oleh penguasa.
Padahal, saya beranggapan tulisan itu biasa-biasa saja.
Lagi-lagi, jawaban Pak Jakob itu menyahihkan pendapat saya tentang beliau. Pak Jakob adalah intelektual yang berhitung saksama hingga memunculkan kearifan berpikir, bukan berpikir arif.
Pada kesempatan lain, saya menemani Pak Hamzah Haz (Wakil Presiden 2001-2004) menemui Pak Jakob di kantor Kompas di Jakarta. Pak Jakob menyambut Pak Hamzah Haz di sebuah ruang rapat besar.
Saya baru mengetahui di situ bagaimana Pak Jakob menyapa Pak Hamzah. Sederhana saja, ”Hamzah.” Tidak terlalu berbasa-basi panjang lebar, kedua sahabat itu langsung membicarakan pokok persoalan.
Yang menarik, Pak Hamzah di masa itu juga membahas tentang pajak. Tepatnya terkait uang pensiun bulanan seorang wakil presiden yang berat untuk membayar Pajak Bumi dan Bangunan atas rumah yang beliau peroleh dari negara setelah menyelesaikan tugasnya. Saya menyaksikan Pak Jakob dengan sabar mendengarkan keluhan Pak Hamzah Haz, yang dikenalnya sejak Pak Hamzah Haz bertugas di DPR.
Enteng saja Pak Jakob berujar, ”Hamzah sama dengan Pak Hatta.”
Pak Jakob Oetama sejauh yang saya lihat mendemonstrasikan personalitas yang kuat dan melekat ketat dengan humanismenya yang kental. Sabar mendengarkan, sabar pula menggunakan pendengarannya dengan saksama.
Kalimat-kalimat yang beliau lontarkan tidak hanya padat makna, dan bahkan tanpa sampiran, tetapi juga kalimat yang tak lekang dengan waktu sebagai hasil kearifan berpikir.
Selamat jalan, Pak Jakob.
Suharso Monoarfa, Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan; Mantan Aktivis Mahasiswa.