Empat bulan sejak Kartu Prakerja berjalan, insentif bagi pekerja baru terserap 20,35 persen dari pagu. Pengalaman pandemi ini menyadarkan kita pentingnya sistem perlindungan sosial yang lebih solid dan terkonsolidasi.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Di tengah kebutuhan mendesak mencegah pemburukan ekonomi lewat akselerasi serapan anggaran dan tuntutan adanya sense of crisis, birokrasi justru jadi penghambat.
Dalam kasus program Kartu Prakerja, penyaluran bantuan insentif bagi pekerja terkendala oleh keharusan para peserta menyelesaikan lebih dulu kelas pelatihan daring sebagai prasyarat pencairan bantuan sebesar Rp 600.000 per bulan. Empat bulan sejak program berjalan, insentif bagi pekerja ini baru terserap 20,35 persen dari pagu anggaran yang ditetapkan (Kompas, 7/9/2020).
Akibatnya, misi Kartu Prakerja untuk membantu calon pekerja dan pekerja yang terdampak pandemi meningkatkan daya beli dan menggerakkan ekonomi dalam satu bulan tersisa pada triwulan III besar kemungkinan tak mencapai sasaran. Padahal, Kartu Prakerja dan bantuan lain yang menyasar kelas menengah bawah, seperti bantuan langsung tunai untuk 13 juta pekerja dengan gaji di bawah Rp 5 juta per bulan dan pemberian gaji ke-13 bagi pegawai negeri sipil belum lama ini—di samping bantuan sosial untuk kelompok masyarakat miskin—menjadi andalan pemerintah untuk mendongkrak konsumsi rumah tangga. Dengan begitu, risiko terjerumusnya perekonomian nasional ke dalam resesi pada triwulan III dan lonjakan angka kemiskinan dapat ditekan.
Keberhasilan kita mencegah kontraksi tajam atau resesi ekonomi sangat bergantung pada efektivitas menjaga daya beli rumah tangga masyarakat. Konsumsi rumah tangga menyumbang 57 persen produk domestik bruto dan masyarakat berpenghasilan menengah ke atas menyumbang sekitar 45 persen konsumsi rumah tangga nasional.
Namun, dengan berbagai kendala dalam penyalurannya—ditambah lagi rendahnya serapan anggaran program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) lainnya secara keseluruhan—upaya menggenjot konsumsi dalam waktu cepat dan menghindari resesi pada triwulan III tampaknya sulit. Waktu yang tersisa tak sampai satu bulan dan dampak program itu sendiri diperkirakan baru bisa dirasakan pada triwulan IV.
Hal yang bisa dilakukan hanya mencegah kontraksi ekonomi yang terlalu dalam. Di antara usulan yang muncul terkait Kartu Prakerja adalah mengubah insentif untuk pekerja ini menjadi bantuan tunai agar bisa langsung dibelanjakan dan berdampak pada peningkatan konsumsi rumah tangga. Pelaksanaan Kartu Prakerja sendiri diusulkan ditunda hingga ekonomi pulih. Memaksakan program Kartu Prakerja saat ini dianggap mubazir di tengah situasi sektor riil sebagai penyerap angkatan kerja yang juga terpuruk akibat pandemi.
Banyak peserta program ini lebih termotivasi oleh keinginan mendapatkan bantuan tunai pascapelatihan ketimbang meningkatkan kompetensi. Pelatihan bukan lagi fokus utama. Jenis pelatihan daring yang diberikan juga tak selalu sesuai tuntutan kebutuhan dunia usaha. Jika tetap dipaksakan berjalan saat ini, harus ada pembenahan, termasuk menghilangkan segala faktor yang menghambat diperolehnya manfaat segera oleh kelompok yang disasar.
Kasus Kartu Prakerja ini tak jauh beda dengan program PEN lain yang juga rendah serapannya: tak siapnya birokrasi, buruknya desain program, dan lemahnya data. Pengalaman pandemi ini menyadarkan kita pentingnya sistem perlindungan sosial yang lebih solid dan terkonsolidasi ke depan.