Tak perlu ada manusia atau negara yang menguasai vaksin Covid-19, apalagi menimbunnya. Perlu saling menolong, membangun solidaritas melawan pandemi.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Homo homini lupus dan homo homini socius. Manusia adalah serigala bagi sesama manusianya dan manusia merupakan teman bagi sesama manusianya pula.
Kalimat dalam bahasa Latin yang ditulis penyair Romawi, Titus Maccius Plautus (205-184 SM), dan dilengkapi filsuf asal Romawi, Lucius Annaeus Seneca (4 SM-65 M), itu menggambarkan sifat manusia. Manusia bisa menjadi ”musuh” bagi sesamanya, tetapi juga dapat memuliakan sesamanya. Kedua kalimat itu disatukan oleh filsuf asal Inggris, Thomas Hobbes (1588-1679), dalam karyanya, De Cive.
Gambaran manusia yang bisa menjadi ancaman sekaligus penyelamat bagi sesamanya itu tampak nyata saat dunia menghadapi pandemi Covid-19 saat ini. Mengutip data dari Worldometers.info, Minggu (6/9/2020), tercatat lebih dari 27,11 juta warga dunia dinyatakan positif terinfeksi virus korona baru. Mereka berasal dari 215 negara atau kawasan dengan 884.529 orang meninggal dan lebih dari 19,23 juta pasien dinyatakan sembuh. Warga dunia kini berlomba-lomba menemukan vaksin atau obat untuk mengatasi pandemi itu.
Dalam perlombaan menemukan vaksin atau obat itu memang terasa nuansa persaingan antarnegara. Dan, manusialah yang menjadi pelaku persaingan itu. Kesan yang kuat selama ini adalah ada saja negara yang ingin menjadi yang pertama, yang utama, dan yang menguasai vaksin atau obat untuk melawan Covid-19. Negara lain harus tunduk kepadanya. Manusia lain harus bergantung kepadanya. Bahkan, sejak awal pandemi Covid-19, hal itu sudah jadi wahana perseteruan antarpemimpin negara-negara, terutama menyangkut asal muasal virus itu.
Padahal, upaya penanganan dan pemberantasan Covid-19, termasuk dalam menemukan vaksin atau obat yang dilakukan sejumlah negara, dapat kian menguatkan kerja sama dan kebersamaan antarmanusia. Manusia bukanlah serigala yang mengancam sesamanya, tetapi menjadi teman yang bisa memuliakan sesamanya. Manusia bisa membangun solidaritas antarsesamanya.
Pesan solidaritas itulah yang disampaikan Paus Fransiskus, pemimpin Gereja Katolik sedunia, saat kembali menyapa umat secara langsung untuk pertama kali dalam masa pandemi, saat audiensi publik di halaman San Damaso, Istana Apostolik Vatikan, Rabu (2/9/2020). Awal Maret lalu, Pemerintah Italia memberlakukan kebijakan karantina wilayah untuk menekan penularan Covid-19 di negara itu. Vatikan, meski berstatus negara sendiri, karena berada di wilayah Italia, mematuhi kebijakan itu sehingga menunda berbagai kegiatannya. Pertemuan langsung Paus dengan umat dilaksanakan terbatas dan sesuai protokol kesehatan (Kompas.id, 3/9/2020).
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan kata solidaritas sebagai ’sifat (perasaan) solider; sifat satu rasa (senasib dan sebagainya); perasaan setia kawan’. Virus korona semestinya membuat manusia di mana pun berada merasa senasib. Oleh karena itu, sewajarnya manusia sepenanggungan dan saling membantu. Tak perlu ada manusia atau negara yang menguasai vaksin Covid-19, apalagi menimbunnya. Perlu saling menolong, membangun solidaritas melawan pandemi.