Memampukan Penyedia Perumahan
Belum sempat menyelesaikan proses adaptasi budaya berhuni dan bekerja berbasis digital, saat ini muncul fenomena baru budaya huni higienis akibat pandemi Covid-19.
Upaya pemerintah memenuhi kesejahteraan papan perlu peningkatan kinerja dan percepatan. Apalagi, saat ini harus menghadapi tantangan mega-pergeseran budaya huni milenial dan tuntutan ketangguhan menghadapi Covid-19.
Kondisi kehidupan yang saat ini harus patuh terhadap protokol kesehatan menuntut lingkungan hunian yang tak hanya layak, tetapi juga mencegah penyebaran virus.
Saat ini penurunan angka backlog dengan berbagai asumsi perhitungan sudah intensif dilakukan. Demikian pula upaya penuntasan penanganan kawasan permukiman kumuh juga telah dilakukan secara terpadu lintas sektoral.
Slogan ”Indonesia Bebas Kumuh 2020” dengan berbagai program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) dan program 100-0-100 dengan target penuntasan 100 persen penyediaan air bersih, 0 persen kumuh, dan 100 persen penyediaan sanitasi lingkungan juga telah dilakukan secara masif. Namun, di lapangan ternyata masih ditemui berbagai kendala dan tantangan yang tidak sesuai dengan perhitungan analisis perencanaannya.
Baca juga : Hampir Separuh Wilayah Jakarta Berupa Permukiman Kumuh
Profil rasio kebutuhan hunian dalam bentuk sewa dan milik pada segmen konsumen rumah saat ini menunjukkan kecenderungan bergeser dan didominasi kelompok milenial. Telah terjadi pergeseran cara pandang bahwa kepemilikan rumah tidak lagi menjadi prioritas. Kaum milenial ini bergaya hidup praktis dan fleksibel serta mempunyai perilaku mobilitas yang sangat tinggi dengan penggunaan IoT (internet of things) yang dominan.
Maka, paradigma lama berbasis kebutuhan status jaminan kepemilikan dan kepastian berhuni (secure tenure) sudah tidak begitu menjadi prioritas. Budaya kerja tanpa harus berkantor secara fisik di tempat kerja (karena masalah tempat dan jarak sudah diselesaikan dengan IoT) tampaknya menjadi kecenderungan baru masyarakat milenial.
Telah terjadi pergeseran cara pandang bahwa kepemilikan rumah tidak lagi menjadi prioritas.
Belum sempat menyelesaikan proses adaptasi budaya berhuni dan bekerja berbasis digital, saat ini muncul fenomena baru budaya huni higienis akibat pandemi Covid-19. Hal ini memaksa masyarakat dunia mengubah cara pandang kebutuhan berhuni kembali ke dasar (back to basic). Kebutuhan aktualisasi diri dalam berhuni yang menurut Maslow merupakan puncak piramida target hidup manusia berbalik ke arah kebutuhan dasar manusia, yaitu pangan dan kesehatan.
Mega-pergeseran paradigma ini menuntut tatanan norma, standar, dan kriteria baru dalam penyediaan perumahan. Permasalahan klasik pembangunan perumahan nasional, seperti masalah tanah, pembiayaan, dan regulasi, kini bertambah penyiapan proses adaptasi terhadap budaya huni kelompok milenial serta tatanan budaya huni pascapandemi Covid-19.
Baca juga : Bersiap Hadapi Kluster Baru
Regulator dan operator
Bertambahnya tugas bagi penyedia perumahan sebagai pengemban amanah pemenuhan kesejahteraan atas papan, perlu pengaturan yang lebih efektif. Tantangan berupa permasalahan klasik tata kelola sinkronisasi hierarkis kewenangan dan harmonisasi sektoral perlu segera diselesaikan.
Beragam pemahaman terhadap pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tidak perlu lagi diperdebatkan, tetapi harus dicarikan titik temu kewenangannya.
Prinsip pemberdayaan pemerintah daerah, pembinaan, serta pendampingan dari pemerintah harus menjadi acuan dalam pembagian kewenangan penugasan. Demikian pula pembagian kewenangan tugas dan fungsi antara regulator dan operator perumahan juga harus segera didudukkan sesuai peran masing-masing.
Baca juga : Upaya Membangun Jarak di Permukiman yang Tak Berjarak
Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2015 tentang Perusahaan Umum (Perum) Pembangunan Perumahan Nasional menegaskan bahwa pemerintah memberikan penugasan langsung kepada Perum Perumnas untuk mengelola tanah sekaligus pelaksana (operator) program pemerintah dalam membangun perumahan.
Perum Perumnas juga dapat menerima penugasan dari pemerintah daerah. Untuk itu, penguatan Perum Perumnas sebagai operator penyedia perumahan perlu didukung regulasi terkait tata kelola tanah, sumber pendanaan, skema pembiayaan, serta pembagian peran (role sharing) antarkementerian dan lembaga terkait sebagai regulator.
Perum Perumnas juga dapat menerima penugasan dari pemerintah daerah.
Yang tidak kalah penting adalah penguatan pemberdayaan pemerintah daerah sebagai regulator yang berwenang atas otoritas wilayah serta kewenangan pengaturan perizinan karena masih membutuhkan penanganan yang lebih efektif.
Pembagian peran serta kewenangan pengaturan yang harus segera dilakukan adalah restrukturisasi dan penguatan kelembagaan serta regulasi pendukung. Tahap ini menjadi kunci keberhasilan tahap menuju industrialisasi perumahan, satu-satunya cara untuk mengakselerasi penyelesaian pembangunan perumahan nasional.
Meskipun prosesnya masih cukup jauh untuk menuju tahap ketangguhan ekosistem penyediaan perumahan, tahap konsolidasi yang sudah sangat terlambat tetap harus disegerakan. Hal ini mengingat akumulasi keterlambatan penyelesaian permasalahan klasik berupa tanah, pembiayaan, dan regulasi serta tata kelola menyebabkan tidak berjalannya ekosistem penyediaan perumahan nasional.
Baca juga : Kolaborasi Sektor Keuangan dan Perumahan Bisa Jadi Pengungkit Ekonomi
Konsolidasi ekosistem
Peran regulator dan operator dalam ekosistem penyediaan perumahan merupakan satu kesatuan fungsi. Atas dasar pertimbangan percepatan penanganan tantangan dan permasalahan pembangunan perumahan nasional, perlu segera peningkatan kemampuan (enabling) oleh pemerintah kepada operator penyedia perumahan Perum Perumnas. Sasaran penyediaan perumahan ini tentunya harus difokuskan pada masyarakat berpenghasilan rendah.
Penugasan berupa pengelolaan tanah, perencanaan teknis, pembangunan rumah, dan peningkatan kualitas harus didukung regulasi yang efektif. Selain itu, kolaborasi lintas kementerian dan lembaga, lintas pemerintah daerah, serta lintas penyedia perumahan mutlak harus dilakukan. Tantangan dan permasalahan tanah, pembiayaan, dan regulasi harus diatasi secara kolaboratif.
Pengelolaan tanah yang berasal dari tanah negara, konsolidasi tanah, peralihan atau pelepasan hak atas tanah, kerja sama pemanfaatan barang milik negara atau barang milik daerah, serta pemanfaatan tanah milik BUMN/BUMD harus terpadu dengan pelaksanaan pembangunan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Sasaran penyediaan perumahan ini tentunya harus difokuskan pada masyarakat berpenghasilan rendah.
Adapun sumber pendanaan dan skema pembiayaan, selain berasal dari APBN dan APBD, juga harus didukung sumber pendanaan dari penyertaan modal negara (PMN), pinjaman hibah luar negeri (PHLN), penerusan pinjaman dari pinjaman pemerintah yang berasal dari luar negeri dan atau dalam negeri, penerbitan surat utang atau obligasi oleh Perumnas, serta pinjaman dari lembaga kewajiban termasuk lembaga keuangan multilateral atau bentuk-bentuk badan investasi lain. Dukungan dari APBN dapat diwujudkan dalam bentuk public service obligation (PSO) serta pinjaman atas kewajiban fiskal yang timbul sebagai konsekuensi penugasan khusus kepada penyedia perumahan.
Selain kolaborasi dalam ekosistem penyediaan perumahan yang terkait dengan aspek pembiayaan dan tata kelola tanah, dibutuhkan juga konsolidasi dari aspek keterpaduan regulasi yang terkait dengan perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian tata ruang. Hal ini dapat dilakukan melalui penetapan standar penyediaan bidang lahan permukiman.
Peningkatan kemampuan
Hanya melalui peningkatan kemampuan (enabling) ekosistem penyediaan perumahan, penyelesaian permasalahan pembangunan perumahan nasional yang butuh multi-penugasan dapat diselesaikan.
Fenomena mega-pergeseran paradigma perumahan ini membutuhkan paradigma baru kebijakan pembangunan perumahan yang adaptif serta tangguh terhadap perubahan budaya huni dan pandemi.
Tentu saja upaya memberdayakan ekosistem penyediaan perumahan dengan paradigma baru itu harus dimulai dari proses konsolidasi tata kelola ekosistem penyediaan perumahan yang masih mempunyai beban penyelesaian ”masalah klasik” perumahan berupa tanah, pembiayaan, dan regulasi.
Budi Prayitno, Guru Besar Arsitektur Permukiman dan Urbanisme UGM.