Penting untuk selalu diingat bahwa rasa kebangsaan adalah ”proyek bersama” lebih daripada sekadar ”warisan bersama”. Karena itulah, bangsa dibangun, bukan dilahirkan, oleh mereka yang peduli dan rela untuk berkorban.
Oleh
A. Windarto
·5 menit baca
Kolom Idi Subandy Ibrahim berjudul ”Rasa Kebangsaan” (Kompas, 22/8/2020) menarik untuk didalami. Sebab, apa yang dipaparkan sebagai bangsa atau rasa kebangsaan masih bersifat esensialis. Artinya, hal itu hanya dipahami sebatas mencari asal-usul kebangsaan demi menemukan keaslian dari sebuah identitas bersama.
Jadi, Indonesia misalnya, yang terdiri dari beragam suku dan bahasa, dipandang sebagai bangsa yang telah lahir secara turun-temurun sejak di tanah ini berdiam orang-orang dengan identitas Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan sebagainya. Padahal nama Indonesia baru digunakan secara resmi pada awal abad ke-20, khususnya oleh Partai Komunis Indonesia pada tahun 1920 (Benedict R O’G Anderson, ”Indonesian Nationalism Today and in the Future”, New Left Review I/235, May-June 1999). Maka, secara historis, bangsa Indonesia tidak dilahirkan dari ”rahim” nenek moyang, tetapi lewat perjuangan tokoh-tokoh pergerakan nasional ketika melawan kolonialisme.
Dalam bukunya Imagined Communities. Komunitas-komunitas Terbayang (Yogyakarta: Insist Press & Pustaka Pelajar, 2002), Benedict Anderson menggambarkan bangsa sebagai ”komunitas-komunitas terbayang”. Yang dimaksud di sini bukan sekadar impian atau harapan akan masa depan, melainkan adalah kenyataan yang sedang dihadapi saat ini dan di sini. Contohnya, para peziarah atau jemaah yang sedang menjalani ritual keagamaan tertentu ke tanah suci seperti Jerusalem atau Mekkah.
Yang dimaksud di sini bukan sekadar impian atau harapan akan masa depan, melainkan adalah kenyataan yang sedang dihadapi saat ini dan di sini.
Mereka yang datang dari berbagai tempat berbeda dan berkumpul di sana seperti menjadi satu umat atau warga yang punya bayangan sama dan sebangun meski belum pernah saling kenal, berjumpa, dan bertegur sapa. Itulah mengapa mereka bersedia mengorbankan apa pun juga, termasuk dirinya, bahkan sesamanya, demi pembayangan yang serba terbatas itu.
Namun, pembayangan yang dihasilkan dari bangsa atau rasa kebangsaan itu mensyaratkan tiga hal penting dan mendasar agar tidak menjadi ”sombong dan menjerang-njerang” sebagaimana dicita-citakan oleh Bung Karno. Syarat pertama adalah tidak lagi percaya pada apa yang disebut sebagai ”bahasa suci”. Artinya, dasar dari kebangsaan itu bukan semata-mata berdasar pada ”perintah dari atas”, melainkan kesetiakawanan dan kebersamaan yang bersifat lintas benua.
Syarat kedua, runtuhnya kepercayaan pada beragam simbol dan pusat tertinggi seperti raja, ratu, atau kaisar. Hal itu berarti tiada lagi yang patut dan layak disembah, apalagi dihormati dan disegani sebagai yang dituakan karena setiap orang adalah sama dan setara.
Sementara syarat ketiga, berlakunya kesementaraan atau temporalitas yang tidak lagi mengidentikkan sejarah dengan penciptaan dunia dan manusia (kosmologi). Dalam konteks ini, kehadiran bangsa adalah juga berkat dan jasa dari kapitalisme cetak, khususnya surat kabar dan novel, yang memungkinkan terbentuknya bahasa bersama, termasuk bahasa Indonesia, sebagai penjalin yang efektif dan operatif di antara ”orang-orang yang tidak saling mencerminkan dan tidak saling menyebabkan rasa rikuh” [James T Siegel, ”Berbahasa” dalam Henri Chambert-Loir, Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta: KPG, dkk, 2009)].
Jadi, bangsa atau rasa kebangsaan itu adalah embrio untuk lepas dari cengkeraman daya dan kekuatan aksiomatis dalam sejarah. Salah satunya adalah paradigma kekuasaan kolonialisme yang telah melonggarkan, bahkan memorakporandakan kemajemukan masyarakat yang memungkinkan setiap orang menjadi toleran. Inilah sesungguhnya musuh bebuyutan dari setiap bangsa yang telah merdeka sebagai negara, termasuk Indonesia.
Hal itu dapat dilihat pada ambisi teritorial di masa lalu untuk menaklukkan bekas koloni dari negara lain, seperti Timor-Timur pada tahun 1975. Penaklukan yang telah menghilangkan nyawa sepertiga dari jumlah penduduk di pulau itu justru berakhir tragis dan ironis di tahun 1999. Bukan semata-mata karena tidak punya ambisi teritorial lagi, melainkan lantaran telah dipermalukan sebagai bangsa yang pada mulanya bercita-cita antikolonial, tetapi justru terbongkar sebagai komunitas-komunitas terbayang yang ”mengejar keperluan dirinja” sendiri.
Pada titik inilah, rasa kebangsaan yang kerap diagung-agungkan untuk mendupai para pahlawan nasional seakan-akan hanya menjadi beata culpa atau ”kealpaan” yang menyenangkan. Pangeran Diponegoro (1787-1855), misalnya, yang diangkat sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1950, menurut Benedict Anderson sesungguhnya sama sekali tidak berkaitan dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia untuk lepas dari kolonialisme Belanda. Karena dalam memoarnya, yang tertulis sebagai tujuan politiknya adalah ”menaklukkan Jawa” dan konsep Indonesia masih teramat asing bagi dirinya (Anderson, 1999).
Jadi, bangsa atau rasa kebangsaan itu adalah embrio untuk lepas dari cengkeraman daya dan kekuatan aksiomatis dalam sejarah.
Cukup jelas bahwa rasa kebangsaan yang kerap diajarkan kepada masyarakat di Indonesia adalah warisan dari ”kejayaan nenek moyang yang agung” di masa lalu. Warisan yang secara kultural dengan mudah direkayasakan sebagai pusaka adiluhung dari suatu bangsa. Masuk akal jika jarang ada yang mempertanyakan, apalagi menggugat, benarkah nasionalisme tumbuh dan mengalir secara alamiah dalam darah dan daging tiap-tiap orang, terutama di Indonesia?
Bahkan, pertanyaan berikutnya, lebih tua mana antara negara dan bangsa, juga masih menjadi silang sengkarut yang ujung-ujungnya hanya mengawinkan keduanya dan menobatkannya sebagai pasangan yang berbahagia. Padahal sejarah telah mencatat dengan jelas bahwa genealogi negara di Indonesia dimulai pada awal abad ke-17 di Batavia.
Itulah negara-dinasti yang kolonialistik dan absolutistik dengan 90 persen pegawai pemerintahannya adalah ”pribumi”. Dan inilah yang dilawan oleh 85 persen gerakan nasionalis di Indonesia dalam gerakan antinegara dengan semangat kebangsaan yang telah dirintis oleh Mahatma Gandhi, Dr Sun Yat Sen, Mustafa Kamil, dan lain-lain. Merekalah yang telah merumuskan ”nasionalisme pendekar-pendekar” di Asia yang berbeda dari nasionalisme di Barat.
Penting untuk selalu diingat bahwa rasa kebangsaan adalah ”proyek bersama” lebih daripada sekadar ”warisan bersama”. Karena itulah, bangsa dibangun, bukan dilahirkan, oleh mereka yang peduli dan rela untuk berkorban, bukan mengorbankan sesamanya.
Rasa kebangsaan macam ini dihasilkan dari generasi yang terbiasa untuk hidup mandiri dan tanpa pamrih dengan dukungan nilai-nilai demokratis dan revolusioner. Hanya masalahnya, masih tersisakah generasi yang seperti itu? Atau, inikah sesungguhnya tantangan yang menjelang sebagai persembahan bagi 100 tahun kemerdekaan RI pada tahun 2045 mendatang?