Dunia berkeinginan kuat tak ada lagi genosida. Hal inilah yang harus ditunjukkan Aung San Suu Kyi, pemerintah sipil, dan militer Myanmar bahwa mereka sungguh-sungguh mencegah genosida menimpa warga etnis Rohingya.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Genosida atau pembantaian atas dasar etnis termasuk kejahatan yang ditangani pengadilan internasional. Dunia berkomitmen menghapus kejahatan ini.
Pada dekade 1990-an, genosida terjadi di wilayah bekas negara Yugoslavia. Ribuan warga sipil tidak berdaya Bosnia dibantai pasukan Serbia. Dunia terkejut. Setelah melewati rangkaian panjang pengadilan internasional selama bertahun-tahun, pemimpin pasukan yang terlibat dalam pembantaian itu dihukum seumur hidup.
Genosida dipahami sebagai kejahatan atas sekelompok orang karena etnis atau kebangsaan mereka. Meski berlangsung di wilayah sebuah negara, genosida menjadi urusan dunia internasional. Mitigasi keamanan hingga proses pengadilannya melibatkan komunitas lintas-negara, baik lembaga peradilan internasional, Perserikatan Bangsa-Bangsa, maupun organisasi pertahanan regional. Hal ini ditempuh mengingat genosida bisa terjadi karena ada pembiaran/persetujuan oleh kekuatan negara sehingga diperlukan intervensi asing.
Tentu saja, siapa pun paham, penanganan genosida tak bisa dilepaskan dari problematik politik. Ada tarik-menarik kepentingan di dalamnya, tidak melulu urusan kemanusiaan. Meskipun demikian, tetaplah kemanusiaan menjadi motivasi utama penanganan kasus genosida.
Di Asia Tenggara, dugaan genosida terjadi di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, tahun 2017. Saat itu, 740.000 warga etnis Rohingya melarikan diri melintasi perbatasan ke Bangladesh dan sebagian kecil di antaranya masuk ke negara tetangga di Asia Tenggara. Pemicu pengungsian ini ialah operasi militer Myanmar yang diklaim oleh pemerintah bertujuan memburu kelompok militan Rohingya. Laporan mengenai tindak kekerasan berlebihan terhadap warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak, bermunculan. Organisasi internasional menyebut ada ”intensi genosida”.
Pemerintah Myanmar merespons tekanan masyarakat internasional dengan menggelar penyelidikan dugaan kekerasan di Rakhine yang dilakukan aparatnya. Pemimpin sipil Myanmar, yang juga peraih Nobel Perdamaian, Aung San Suu Kyi, pada sidang awal Mahkamah Internasional, Desember 2019, membantah tuduhan bahwa pemerintahannya melakukan genosida. Ia juga mengingatkan majelis hakim bahwa melanjutkan proses persidangan berdasarkan tuntutan Gambia berisiko memicu krisis dan merusak rekonsiliasi.
Pemerintah Myanmar merespons tekanan masyarakat internasional dengan menggelar penyelidikan dugaan kekerasan di Rakhine yang dilakukan aparatnya.
Dalam perkembangan terakhir, sebagaimana dituliskan Kompas.id edisi 3 September 2020, Belanda dan Kanada bergabung dalam penuntutan itu. Keduanya menyatakan akan membantu masalah hukum yang kompleks dan memberikan perhatian khusus pada kejahatan terkait kekerasan seksual serta berbasis jender.
Keterlibatan Belanda dan Kanada juga menegaskan bahwa dunia berkeinginan kuat tak ada lagi genosida. Hal inilah yang harus ditunjukkan Suu Kyi, pemerintah sipil, dan militer Myanmar bahwa mereka sungguh-sungguh mencegah genosida menimpa warga etnis Rohingya.