Konsil Kedokteran Indonesia
Sungguh memprihatinkan kalau saat ini terjadi konflik antara Kementerian Kesehatan dan pelbagai organisasi yang memperoleh mandat UU untuk memiliki wakil di Konsil Kedokteran Indonesia.
Konsil Kedokteran Indonesia atau KKI tengah ramai dibahas di media dengan munculnya Keputusan Presiden No 55/M Tahun 2020 tertanggal 11 Agustus 2020 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia.
Muncul usulan penundaan pelantikan karena ditengarai 13 anggota bukan berasal dari unsur organisasi profesi, asosiasi institusi pendidikan kedokteran, majelis kolegium kedokteran, dan asosiasi rumah sakit pendidikan sebagaimana diamanahkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 14.
Mengapa begitu banyak organisasi profesi dan asosiasi terlibat dalam KKI? Mengapa penting?
Profesi dokter adalah profesi yang highly regulated, sangat diatur, karena berhubungan dengan kebutuhan mendasar dari manusia, yaitu kesehatan. Seorang dokter mendapat kepercayaan begitu besar dari masyarakat sehingga dalam bertindak dokter memiliki independensi tinggi untuk menentukan yang terbaik bagi pasien, keluarga, dan masyarakat. Independensi tinggi ini, di sisi lain, rawan berbagai penyalahgunaan sehingga perlu diatur secara ketat.
Independensi tinggi ini, di sisi lain, rawan berbagai penyalahgunaan sehingga perlu diatur secara ketat.
Regulasi dan praktik
Catatan tertua tentang regulasi kedokteran dijumpai tahun 1750 SM tentang transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan keluarga dan dengan sanksi cukup keras. Tahun 1505, Raja James dari Skotlandia mengeluarkan Royal Charter yang mengharuskan semua ”barber dan ahli bedah” mengikuti pendidikan dan regulasi.
Di Inggris kemudian dibentuk badan independen sebagai badan regulasi kedokteran, yaitu General Medical Council (GMC) 1858. Lembaga ini ”semipemerintah” yang dikelola secara mandiri, tidak dapat diintervensi pemerintah, bertanggung jawab langsung ke parlemen.
Model ini diikuti banyak negara bekas jajahan ataupun yang menganut sistem Inggris, yang memisahkan fungsi organisasi profesi dengan konsil kedokteran.
Organisasi profesi adalah pembuat standar (baik pendidikan maupun praktik), penyusun kode etik profesi, dan pengembangan profesi berkelanjutan.
Konsil kedokteran melakukan fungsi regulasi pendidikan dan praktik kedokteran yang berkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat, misalnya pemberian surat tanda registrasi sebagai syarat mendapatkan surat izin praktik, serta menyelesaikan pengaduan masyarakat terkait pelayanan kesehatan. Fungsi konsil kedokteran terutama memastikan dan menjamin keselamatan pasien terlindungi.
Dengan terbentuknya badan regulasi kedokteran yang terpisah dari asosiasi profesi, asosiasi profesi erat bekerja sama dengan Konsil Kedokteran. Asosiasi profesi mendorong anggotanya mengikuti standar dan peraturan yang ditetapkan Konsil Kedokteran. Dengan sinergi ini, mutu praktik pendidikan dan pelayanan kedokteran akan meningkat.
Di negara yang tidak membentuk badan regulasi independen, misalnya Amerika Serikat, asosiasi profesi menjadi badan regulasi independen.
Menurut European Union of Medical Specialists (2018), sistem regulasi modern meliputi standar dan etik, sertifikasi dan registrasi, serta memastikan dokter adalah fit for practice, artinya ”dalam kondisi terbaik untuk berpraktik melayani pasien dan masyarakat”.
Saat ini, aspek yang diregulasi juga mencakup menjamin mutu pendidikan dan pelayanan, mempertahankan kepercayaan pasien kepada profesi, membangun kepercayaan antara pasien dan profesi, mengakreditasi program pendidikan kedokteran, menentukan standar kompetensi praktik, merumuskan kode etik kedokteran, mendorong perilaku profesional bagi setiap dokter, memastikan pemanfaatan sumber daya yang efisien untuk kepentingan pasien, serta memastikan ada penilaian kompetensi sebelum masuk ke dunia profesi (ujian praktik) (Grant, 2018).
Asosiasi profesi mendorong anggotanya mengikuti standar dan peraturan yang ditetapkan Konsil Kedokteran.
Regulasi mandiri
Ada berbagai model regulasi kedokteran. Salah satunya, profesi secara penuh meregulasi anggotanya dengan membentuk organisasi profesi non-pemerintah dan berbadan hukum. Organisasi profesi mengembangkan persyaratan anggota dan merumuskan kode etik.
Model berikutnya adalah professional-public partnership. Konsil kedokteran di banyak negara mengikuti model ini. Anggota merupakan representasi dari berbagai pemangku kepentingan. Pembentukannya bisa oleh parlemen seperti Inggris, pemerintah seperti Indonesia dan Malaysia, atau perwakilan berbagai pemangku kepentingan seperti Australia.
Model professional-public partnership paling banyak dianut karena terjadi dialog dan keterlibatan dari berbagai pemangku kepentingan. Keterlibatan pemerintah tidak dominan sehingga perlu saling percaya antara pemerintah, organisasi profesi, dan berbagai kelompok kepentingan.
Keuntungan model ini, masyarakat lebih percaya terhadap sistem regulasi yang berlaku. Dari perspektif organisasi profesi, norma, etika, standar, dan otonomi profesi masih bisa dijunjung tinggi. Dari sudut pandang pengelolaan negara, model ini menerapkan desentralisasi horizontal, yaitu pemberian mandat urusan publik kepada organisasi nonpemerintah. Model ini menyehatkan dalam jangka panjang karena ada penguatan organisasi profesi dan organisasi masyarakat lainnya.
Pada model regulasi eksternal, regulasi kedokteran dilakukan oleh pihak eksternal tanpa keterlibatan profesi dan organisasi profesi secara langsung. Biasanya, pihak eksternal ini adalah pemerintah. Model ini banyak diterapkan di negara yang sentralistik seperti di negara-negara komunis.
Di Indonesia, para penyusun UU Nomor 29/2004 tentang Praktik Kedokteran telah memiliki visi ke depan dengan memilih model professional-public partnership untuk regulasi pendidikan dan praktik kedokteran di Indonesia. Hal ini sejalan dengan semangat reformasi untuk desentralisasi.
Sejak didirikan, KKI telah bekerja sangat baik, terjadi sinergi yang harmonis dan saling memperkuat antar-pemangku kepentingan anggota KKI.
Sejak didirikan, KKI telah bekerja sangat baik, terjadi sinergi yang harmonis dan saling memperkuat antar-pemangku kepentingan anggota KKI. Telah banyak peraturan konsil yang dibuat dan menjadi panduan bagi profesi, institusi pendidikan kedokteran, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta masyarakat umum.
Saya punya pengalaman sebagai Ketua Pokja Pendidikan KKI periode 2004-2009 dan merasakan semangat, gairah, ataupun idealisme KKI dalam meregulasi pendidikan dan praktik kedokteran untuk kepentingan bangsa.
KKI berhasil menjadi platform bersama semua pemangku kepentingan untuk membahas pendidikan dan praktik kedokteran sehingga dihasilkan kebijakan yang optimal untuk profesi, sekaligus melindungi pasien dan masyarakat.
Maka, sungguh memprihatinkan kalau saat ini terjadi konflik antara Kementerian Kesehatan dan pelbagai organisasi yang memperoleh mandat UU untuk memiliki wakil di KKI. Aspek ”keterwakilan” ini sangat penting, begitu pula aspek ”keterlibatan”.
Tentu setiap organisasi memiliki mekanisme internal dalam memilih calon. Apabila usulan dari organisasi dianggap belum memenuhi persyaratan, terbuka lebar ruang dialog. Sangat disayangkan kalau Menteri Kesehatan mengusulkan calon anggota KKI kepada Presiden tanpa melibatkan organisasi terkait. Sinergi yang terbangun selama 10 tahun akan mundur dan berimplikasi pada tidak optimalnya kinerja KKI.
Konflik harus segera diselesaikan karena kita dalam ujian berat menghadapi pandemi Covid-19. Kementerian Kesehatan perlu bekerja sama dengan organisasi profesi, institusi pendidikan kedokteran, dan majelis kolegium.
(Titi Savitri Prihatiningsih Lektor Kepala Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada; Anggota Executive Council World Federation for Medical Education)