Hutan bermakna lebih bagi masyarakat Kinipan. Selain sebagai wilayah hidup, hutan juga membentuk watak dan spiritualitas masyarakat setempat.
Oleh
Saras Dewi
·4 menit baca
Komunitas Adat Laman Kinipan di Kalimantan Tengah memiliki kepercayaan bahwa semenjak seorang anak manusia berada di dalam kandungan ibunya, ia telah memiliki ikatan dengan alam. Seorang perempuan yang sedang mengandung membawa cokur atau kencur sebagai bagian dari azimat untuk memohon perlindungan dari alam.
Demikian penuturan Effendi Buhing, seorang tokoh adat yang saat ini tengah berjuang bersama masyarakat untuk mempertahankan wilayah hutan adat dari ancaman perambahan. Ia melanjutkan cerita bahwa hutan bermakna lebih bagi masyarakat Kinipan. Selain sebagai wilayah hidup, hutan juga membentuk watak dan spiritualitas masyarakat setempat.
Ketika ada persengketaan antarwarga, alam dipandang sebagai hakim yang adil. Mereka menyelenggarakan ritual Besolap, di mana pihak-pihak yang bersengketa akan menyelam di sungai untuk mencari jalan keluar persoalan.
Deforestasi kian merongrong, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) melaporkan pembabatan hutan adat di Kinipan yang didata sejak tahun 2016 dari luas 16.000 hektar telah dialihfungsikan untuk lahan kelapa sawit sebesar 4.000 hektar (Kompas, 28 Agustus 2020). Realitas ini adalah lara bagi komunitas adat Kinipan.
Bagi mereka, hutan menambatkan suatu kewajiban untuk menjaga warisan nenek moyang. Di dalam rimba itulah tersimpan jejak leluhur, wawasan kosmologis dan segenap ingatan kolektif mereka. Pohon, air, tanah, bukanlah obyek yang pasif, bukan pula privilese manusia semata. Bagi masyarakat adat, hutan adalah kesatuan yang dinamis, energi yang mengasuh kehidupan. Hutan adalah anugerah yang dititipkan sehingga harus dilindungi dan dilestarikan. Effendi Buhing berucap dengan nada suara yang bergetar bahwa semenjak kanak-kanak ia telah jatuh cinta kepada rimba.
Laporan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) terkait dengan pandemi yang membelit menunjukkan bahwa masyarakat adat memiliki daya tahan dan daya lenting dalam krisis ini. Dalam menghadapi tatanan baru, masyarakat adat terbukti memiliki ketahanan khususnya terkait pangan. Selama enam bulan lamanya, mereka mandiri mengelola wilayah hidupnya dengan menjaga prinsip keanekaragaman tanaman dan keberlanjutan bibit-bibit lokal, mereka terhindar dari bencana kelaparan.
Mereka berladang penuh dengan sensibilitas yang mengarah pada keseimbangan, tetap menghormati batasan-batasan menyangkut perlindungan hutan adat. Ketahanan mereka merupakan kritik tajam terhadap pola ekonomi industri monokultur yang menyisakan berbagai problem, seperti ketimpangan pembagian manfaat dan kerusakan lingkungan hidup yang sarat akan konflik, juga perampasan lahan.
Sukirman yang merupakan Ketua Umum Majelis Umat Kepercayaan Kaharingan di Kalimantan Selatan memandang pandemi dari sisi yang berbeda. Ia menjelaskan bahwa penganut Kaharingan mengenal ribuan macam wabah atau bala. Bermacam bentuk wabah ini mereka samakan seperti makhluk, dan dalam hal ini virus korona dianggap sebagai raja bala. Maksud dan tujuan kedatangan raja bala adalah untuk melindungi yang tersakiti.
Sukirman menambahkan bahwa kehadiran raja bala mengingatkan manusia tentang nilai-nilai yang terlupakan, terutama mengenai hubungan yang selaras dengan alam. Penganut Kaharingan memercayai bahwa ruang tidak tunggal adanya, selain hutan sebagai ruang yang empiris, hutan menyembunyikan pula dunia yang magis. Untuk memasuki hutan, seseorang harus tulus hati dan memiliki itikad yang baik.
Sukirman menggarisbawahi bahwa tidak tepat untuk memerangi wabah. Sebab, berperang yang didorong kepongahan dan keserakahan akan semakin membuat raja bala murka. Oleh karena itulah, penghayat Kaharingan menyelenggarakan berbagai ritual, antara lain Bawanang. Ritual ini dapat diartikan sebagai salah satu upaya untuk menebus kesalahan dan memohon pengampunan kepada alam.
Narasi raja bala penting untuk ditafsir sebagai suatu diskursus untuk membahasakan relasi yang terkoyak dengan alam. Manusia patut merenungkan tindakan-tindakannya yang selama ini gegabah terhadap alam. Kemerosotan lingkungan hidup yang sedang terjadi dapat menyulut berbagai kebencanaan ekologis, termasuk munculnya wabah baru.
Lokakarya yang diselenggarakan oleh Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) yang terdiri dari ilmuwan-ilmuwan interdisipliner mengerucut pada suatu kesimpulan bahwa terdapat kaitan erat antara kemusnahan biodiversitas dan munculnya risiko wabah seperti Covid-19.
Kemerosotan lingkungan hidup yang sedang terjadi dapat menyulut berbagai kebencanaan ekologis, termasuk munculnya wabah baru.
Riset ini dilakukan dengan menggabungkan data dari 6.800 komunitas ekologis di enam benua yang menampilkan suatu kecenderungan bahwa deforestasi dapat memicu munculnya pandemi baru. Hilangnya habitat satwa liar begitu pula ekspansi manusia ke dalam wilayah alam liar meningkatkan risiko perpindahan patogen dari satwa ke manusia.
IPBES menitikberatkan peran sentral masyarakat adat dalam menghadapi krisis lingkungan hidup. Penghayat Kaharingan ”memuja” hutan sebagai yang disucikan. Kaharingan berakar dari bahasa Dayak kuno, yakni Haring, yang berarti kehidupan.
Kunti Ayu Vedanti, seorang perempuan Dayak, menyampaikan bahwa terdapat pertalian yang kuat antara perempuan Dayak dan hutan. Ia kerap memasuki hutan untuk mencari tumbuh-tumbuhan yang dapat dijadikan sebagai obat-obatan. Ia mengutip kitab Panaturan yang merupakan kitab suci Hindu Kaharingan, pada pasal 24 disebutkan manusia pertama Raja Bunu, lalu Raja Sangen dan Raja Sangiang diberikan amanat oleh Ranying Hatalla Langit atau Tuhan untuk meninggikan hutan beserta seluruh makhluk hidup di dalamnya.
Erazim Kohák, seorang filsuf asal negara Ceko, menempatkan alam sebagai perlambang moral; yang baik, benar, dan indah. Filosofi bermukim adalah sang diri yang terjalin ke dalam alam. Ia membantah persepsi bahwa budaya manusia terpisah dari alam.
Kohák menolak asumsi yang menganggap keunggulan budaya manusia ditandai oleh terciptanya bahasa, sedangkan alam adalah entitas yang senyap. Namun, alam selalu berbunyi. Kidung rimba di Borneo masih bergema, meski lirih. Masyarakat Dayak melalui beragam religi dan aliran kepercayaan dipersatukan oleh roh hutan. Mereka adalah penjaga rimba purba.