Di tengah pandemi Covid-19, BPS mencatat deflasi 0,10 persen dan 0,05 persen pada Juli serta Agustus 2020. Deflasi berakibat turunnya pendapatan produsen yang menaikkan risiko pengurangan tenaga kerja dan pengangguran.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Perekonomian nasional mencatat deflasi berturutan pada Juli dan Agustus dengan perbaikan pada Agustus. Konsumsi masyarakat perlu digenjot.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi 0,10 persen dan 0,05 persen pada Juli dan Agustus 2020. Inflasi bulanan turun sejak Februari dan hanya sedikit membaik pada bulan Juni.
Kelompok bahan makanan, minuman, dan tembakau mengalami deflasi 0,86 persen dan menyumbang 0,22 persen pada deflasi keseluruhan. Komoditas yang harganya turun, antara lain, daging ayam ras, tomat, bayam, bawang merah, pisang, selain tarif angkutan udara.
Turunnya inflasi telah diprediksi. Wabah Covid-19 menekan aktivitas ekonomi. Namun, deflasi yang menggambarkan tersedianya barang, tetapi tak terjadi konsumsi juga terjadi pada September 2019. Deflasi kali ini yang terjadi dua bulan berturutan perlu diwaspadai karena besar kemungkinan disebabkan daya beli masyarakat belum pulih.
Pada sisi lain, survei Kompas pada Agustus lalu (Kompas, 2/9/2020) menemukan, masyarakat ekonomi menengah atas mulai membuka diri terhadap kehidupan normal baru, tetapi masih menahan diri bekerja penuh ataupun berbelanja. Turunnya harga barang dan jasa memberi masyarakat kemampuan lebih untuk berbelanja. Namun, deflasi juga berakibat turunnya pendapatan produsen yang menaikkan risiko pengurangan tenaga kerja dan pengangguran.
Pemerintah berupaya mendorong permintaan, antara lain, dengan membantu peningkatan penerimaan kelompok menengah melalui bantuan pulsa dan gaji ke-13 bagi aparat sipil negara serta menurunkan tarif listrik pelanggan rumah tangga dan bisnis hingga 6.600 volt-ampere. Pemerintah juga memberikan bantuan sosial dan dana desa yang dikaitkan dengan penciptaan pekerjaan.
Di banyak negara, perlambatan ekonomi dan ketidakpastian membuat konsumen, terutama kelas menengah atas, cenderung menahan konsumsi dan menabung. Apalagi, pemerintah memberi aba-aba tahun depan tak ada subsidi pajak penghasilan untuk karyawan, orang pribadi, dan badan. Pengusaha yang memprediksi akan ada intensifikasi penarikan pajak untuk membiayai anggaran belanja dan pinjaman pemerintah berkemungkinan menahan investasi.
Pemerintah berupaya mendorong permintaan, antara lain, dengan membantu peningkatan penerimaan kelompok menengah melalui bantuan pulsa dan gaji ke-13 bagi aparat sipil negara serta menurunkan tarif listrik pelanggan rumah tangga dan bisnis.
Konsumsi masyarakat menjadi penggerak perekonomian dapat dirangsang melalui stimulus fiskal dan moneter. Selain besaran, sasaran, dan penyerapan stimulus, berapa lama stimulus diberikan juga ikut menentukan persepsi masyarakat.
Mengatasi deflasi dapat dilakukan dengan menaikkan uang beredar di masyarakat. Kebijakan moneter dengan mendorong turunnya suku bunga perbankan akan membuat masyarakat memilih instrumen lain, salah satunya surat utang negara.
Belanja dan investasi pemerintah dapat diarahkan pada sektor produksi di dalam negeri yang cepat dikonsumsi, yaitu industri pengolahan bernilai tambah, industri substitusi impor, dan industri berorientasi ekspor. Untuk menggerakkan sektor-sektor itu, kewirausahaan harus ditumbuhkan.
Di atas segala upaya itu, penyebaran virus Covid-19 harus dapat segera diatasi karena pemulihan ekonomi bergantung pada pengendalian persebaran Covid-19.