Perempuan Seputar Kemerdekaan
Sejarah Indonesia tak lengkap karena telah menghilangkan sejarah gerakan perempuan, terutama di seputar kemerdekaan. Narasi sejarah umumnya berisi peristiwa dan kebesaran ketokohan para laki-laki masa kolonialisme.
Selama 75 tahun merdeka, bangsa Indonesia seolah hanya mengenal bapak pendiri bangsa dan tidak ibu pendiri bangsa (founding mothers).
Tak ada yang bertanya mengapa Pasal 27 konstitusi kita berisi persamaan di muka hukum? Mengapa perempuan Indonesia boleh ikut pemilu pertama 1955, sementara perempuan Amerika, misalnya, butuh berjuang 70 tahun untuk bisa ikut pemilu?
Sejarah Indonesia tak lengkap karena telah menghilangkan sejarah gerakan perempuan, terutama di seputar kemerdekaan. Narasi sejarah umumnya berisi peristiwa dan kebesaran ketokohan para laki-laki masa kolonialisme. Di sekolah pun kita teralienasi dari sejarah perempuan, hanya mengenal terbatas Ibu Kartini dan beberapa nama pejuang perempuan. Narasi gerakan perempuan intelektual di koridor hukum juga tidak tercatat.
Gerakan perempuan global paling mengesankan adalah perjuangan merumuskan berbagai instrumen hukum internasional lewat Perserikatan Bangsa-Bangsa. Perempuan paling lantang delegasi negara berkembang, suarakan nasib perempuan dan anak korban kemiskinan dan keterbelakangan. Mereka mendesakkan agenda kepentingan perempuan dan ikut merumuskan perisai hukumnya.
Sejarah Indonesia tak lengkap karena telah menghilangkan sejarah gerakan perempuan, terutama di seputar kemerdekaan.
Gerakan perempuan Indonesia tak bisa dipisahkan dari gerakan perempuan global. Tulisan Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang, memperlihatkan itu. Memperjuangkan hak pendidikan dan politik adalah tujuan awal gerakan perempuan di seluruh dunia. Gerakan perempuan Indonesia jadi bagian gerakan masyarakat sipil yang diapresiasi dunia karena selalu berhasil selamatkan Konstitusi, Pancasila, dan bangsa dari berbagai cobaan selama 75 tahun.
Kritik perempuan
Kritik utama sarjana hukum pembelajar Yurisprudensi Perempuan adalah pada sejarah. Pertama, sejarah tradisional dianggap tak menyertakan pengalaman dan realitas perempuan. Tak ada penelitian soal peranan perempuan dalam penciptaan sejarah, membangun masyarakat, dan bagaimana mereka hidup menurut caranya sendiri (his-story vs her-story) sampai awal 1970-an ketika banyak perempuan masuk sekolah hukum di AS dan 1980-an di Indonesia.
Kedua, sejarah ditulis laki-laki dan bias mengonsepkan sifat manusia, potensi jender, pengaturan sosial, dan melanggengkan patriarki. Sejarah Revolusi Perancis 1789 dianggap tak banyak menguntungkan perempuan. Perkumpulan dan aktivitas politik perempuan dilarang, hukum perdata Napoleon menempatkan kedudukan perempuan secara rendah. Suami berkuasa penuh atas hidup istri, anak, dan harta. Hukum perdata Belanda dan Indonesia bercikal bakal dari sini.
Baca juga : Kartini Masa Kini di Tengah Pandemi
Sejarah 1800-an adalah yang ditulis Ibu Kartini. Sejarah sebelum dan seputar kemerdekaan sampai masa Orde Baru justru banyak ditulis sebagai karya ilmiah oleh perempuan asing (Blackburn 2010, Robinson 2008, Vreede-de Stuers 2008). Sebelum kemerdekaan terdapat beragam organisasi perempuan, persamaannya terletak pada tujuan kebangsaan, dan dapat dibagi dalam (a) masa perjuangan melawan penjajahan abad ke-19 dan ke-20, (b) pendudukan Jepang, (c) masa kemerdekaan dan sesudahnya.
Gerakan perempuan sudah ditemukan sejak abad ke-19 berupa perang melawan penjajah, ditandai nama besar, seperti Christina Martha Tiahahu, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, dan Nyai Ageng Serang (Suryocondro, 1995).
Organisasi perempuan bermunculan sekitar 1900, memperjuangkan nilai baru dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, mempertahankan budaya asli dan nasionalisme melawan budaya Barat meski menekankan pentingnya pendidikan Barat.
Tahun 1915, organisasi Poetri Mahardika menyampaikan mosi ke Gubernur Jenderal menuntut persamaan hukum laki-laki dan perempuan. Bunyi Pasal 27 UUD 45 merupakan kelanjutan perjuangan ini. Kongres Perempuan pertama Yogyakarta 22 Desember 1928 dijiwai semangat persatuan nasional dan melahirkan federasi organisasi, seperti Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) yang kemudian berubah menjadi Perikatan Perkumpulan Istri Indonesia (PPII).
Tahun 1915 organisasi Poetri Mahardika menyampaikan mosi ke Gubernur Jenderal menuntut persamaan hukum laki-laki dan perempuan.
Di Kongres 1935, PPII menyatakan kewajiban utama perempuan Indonesia menjadi ”ibu bangsa”. Ini menunjukkan tugas perempuan bukan cuma ranah domestik, melainkan juga ruang publik kebangsaan.
Mereka memperjuangkan empat bidang (1) keluarga dan pendidikan: perlindungan perempuan dan anak dalam perkawinan, mencegah kawin anak, beasiswa bagi anak perempuan; (2) perburuhan: 1935 dibentuk Badan Penyelidikan Perburuhan Kaum Perempuan karena nasib buruk buruh perempuan, khususnya industri batik; (3) pemberantasan perdagangan anak perempuan; (4) politik: 1941 menyatakan berasaskan kebangsaan, membantu gabungan aksi bertujuan Indonesia berparlemen.
Baca juga : Fakta Kontradiktif Kaum Perempuan
Pada fase ini, PPII mengirimkan mosi ke Pemerintah Hindia Belanda menuntut perempuan diberi hak memilih dan dipilih jadi anggota Dewan Kota. Dapat diduga ini berkaitan dengan hak politik perempuan ikut pemilu pertama 1955.
Pendudukan Jepang melarang semua organisasi dan membubarkannya, termasuk organisasi perempuan. Mereka membentuk organisasi baru, berdalih untuk kepentingan dan kemakmuran Asia Timur Raya.
Para perempuan bergerak di bawah tanah atau latihan militer untuk kepentingan Jepang. Gerakan perempuan ”menyusup” melalui Pusat Tenaga Rakyat (Putera), di bawah Bung Karno, Bung Hatta, KH Mas Mansur, dan Ki Hajar Dewantara. Putera yang didirikan 1943 memiliki divisi perempuan.
Ada beberapa kongres penting pasca-kemerdekaan, di antaranya di Solo 1946, memutuskan Kowani jadi anggota Women’s International Democratic Federation (WIDF). Masa kemerdekaan tak lama dinikmati akibat kedatangan tentara sekutu bersama Belanda, yang membakar kampung pada 1949 (Limpach, 2015).
Baca juga : Kesetaraan yang Masih Berjarak
Para perempuan bergerak membentuk Wanita Republik Indonesia (Wani), menyediakan dapur umum, menangani korban kebakaran kampung, jahit seragam gerilyawan dan bendera merah putih, mendirikan Tugu Kemerdekaan Pegangsaan Timur 56, dan merayakan ulang tahun Proklamasi meski dihalangi Tentara Sekutu. Mereka juga mendirikan laskar perempuan tersebar di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi, bertugas di medan pertempuran (Rusiyati, 1990).
Mereka juga mendirikan laskar perempuan tersebar di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi, bertugas di medan pertempuran (Rusiyati, 1990).
Pada masa Demokrasi Terpimpin organisasi perempuan diikutsertakan untuk kepentingan negara, seperti pembebasan Irian Barat. Kemudian terbentuklah Korps Wanita Angkatan Darat (Kowad) tahun 1961, Korps Wanita Angkatan Laut (Kowal) tahun 1963, dan Korps Wanita Angkatan Udara (Wara) tahun 1963. Polwan terbentuk sejak 1948 (Suryocondro, 1995).
Orde Baru dan sesudahnya
Gerakan perempuan mencapai antiklimaks ketika pemerintah Orde Baru membungkam mereka, memaksa masuk organisasi buatan pemerintah. Pembungkaman juga dilakukan melalui skenario peristiwa 1965.
Di era Reformasi, gerakan perempuan bangkit kembali, termasuk ikut membidani berbagai instrumen hukum perlindungan HAM, perempuan, dan anak. Dalam dinamika politik, mereka sering dikalahkan melalui berbagai kebijakan diskriminatif, seperti 421 perda dan berbagai instrumen hukum lain.
Namun, gerakan perempuan bersama gerakan masyarakat madani selalu terlibat sebagai watchdog jalannya demokrasi. Spirit keindonesiaan menghidupi gerakan perempuan yang begitu tersebar di seluruh Tanah Air. Mereka aktif mengatasi persoalan perempuan lokal, tersembunyi, tak diketahui negara, tak mengharap bintang jasa. Mereka hadir dalam berbagai peristiwa nasional sebagai kekuatan penekan yang kritikal.
Sulistyowati Irianto, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia