Stimulus untuk Hindari Resesi
Dalam menyelamatkan perekonomian Indonesia dari resesi, penyaluran stimulus dana PEN harus dilakukan oleh semua lini dengan gotong royong dan dipikul bersama sesuai porsi dan tanggung jawab setiap lembaga.
Dampak negatif pandemi Covid-19 sungguh nyata meluluhlantakkan perekonomian dunia. Restriksi yang sangat ketat (lockdown) yang dilakukan sejumlah negara untuk mencegah meluasnya penyebaran Covid-19 makin memperburuk kondisi perekonomian global. Segala lini perekonomian tidak berfungsi utuh dan jauh dari ambang normal, denyut nadi perekonomian sangat lemah, baik dari sisi produksi atau penawaran maupun sisi permintaan.
Secara teknikal, sebagian besar negara di dunia sudah masuk jurang resesi ekonomi di kuartal II-2020 karena mengalami pertumbuhan tahunan (persen, year on year) negatif dua kuartal berturut-turut. Negara-negara besar di Eropa termasuk yang paling parah.
Baca juga: Catatan untuk Pemulihan Ekonomi
Inggris mengalami kontraksi paling dalam, pertumbuhan ekonominya minus 21,7 persen pada kuartal II-2020 dari minus 1,7 persen kuartal I-2020, diikuti Perancis, minus 19,0 persen dari minus 5,7 persen kuartal sebelumnya. Italia tercatat minus 17,3 persen di kuartal II-2020 dari minus 5,5 persen kuartal sebelumnya. Kemudian Jerman, negara yang paling kuat di Eropa, juga mengalami kontraksi 11,7 persen dari minus 2,2 persen di kuartal I-2020.
Di ASEAN, yang paling parah terkena resesi adalah Filipina dari minus 0,7 persen kuartal I-2020 ke minus 16,5 persen kuartal II-2020. Singapura dan Thailand masing-masing tumbuh negatif 13,2 dan 11,2 persen kuartal II.
Negara-negara besar di Eropa termasuk yang paling parah.
Dunia terbukti tidak siap dan bingung menghadapi pandemi Covid-19 walaupun 100 tahun lalu pernah mengalami pandemi flu Spanyol yang perilakunya mirip pandemi Covid-19. Hanya sedikit negara yang belum masuk zona resesi ekonomi, antara lain China, Vietnam, Indonesia, Malaysia, dan Amerika Serikat. Namun, negara-negara ini (kecuali China dan Vietnam) berada di ambang resesi karena pertumbuhan ekonomi kuartal II mengalami kontraksi yang sangat dalam, seperti Malaysia (minus 17,1 persen) dan AS (minus 9,5 persen).
Dibandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia termasuk negara yang masih beruntung karena pertumbuhan ekonominya hanya negatif 5,3 persen pada kuartal II-2020 dari positif 3,0 persen pada kuartal sebelumnya.
Dari berbagai prediksi, negara yang pertumbuhan ekonominya negatif pada kuartal II tinggal menunggu giliran jatuh dalam resesi di kuartal III. Artinya, resesi ekonomi kali ini terjadi hampir merata ke seluruh penjuru dunia, baik negara maju maupun berkembang.
Baca juga: Deflasi di Tengah Ancaman Resesi
Peluang terhindar dari resesi
Mungkinkah Indonesia bisa mementahkan prediksi itu? Adakah peluang Indonesia bisa membalikkan keadaan dari pertumbuhan ekonomi negatif pada kuartal II menjadi positif di kuartal III sehingga terhindar dari resesi ekonomi? Ini pekerjaan rumah (PR) yang sangat tak mudah dan rumit mengingat pandemi belum terlihat mengalami tren penurunan di dunia dan domestik, bahkan ada ancaman terjadinya gelombang kedua di sejumlah negara. Kemudian tekanan terhadap pelemahan perekonomian global diperkirakan masih akan berlanjut sampai akhir tahun.
Melihat kondisi perekonomian Indonesia sampai semester I yang tidak separah negara-negara berkembang lain (peers) dan negara maju akibat pandemi Covid-19, rasanya Indonesia masih memiliki asa terhindar dari resesi walau peluangnya tipis.
Perekonomian Indonesia cukup unik, sumber utama pertumbuhan ekonominya dari permintaan domestik (terutama konsumsi rumah tangga), bukan dari perdagangan internasional yang sangat tergantung dari kondisi eksternal. Imbas negatif dari resesi ekonomi global, secara relatif lebih kecil buat Indonesia daripada negara tetangga, seperti Singapura dan Thailand.
Namun, harus diakui, krisis ekonomi kali ini jauh lebih kompleks, besar, dan luas dibandingkan dengan krisis ekonomi global 2008. Pada saat krisis global itu, ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh positif 4,6 persen tahun 2009 dari 6,0 persen tahun 2008. Dengan defisit pertumbuhan ekonomi sekitar 1,3 persen pada semester I-2020 daripada tahun lalu, dibutuhkan akselerasi pertumbuhan yang signifikan pada kuartal III dan IV agar bisa terhindar dari resesi.
Namun, harus diakui, krisis ekonomi kali ini jauh lebih kompleks, besar dan luas dibandingkan dengan krisis ekonomi global 2008.
Secara historis dan statistik, ini bukan perkara mudah dan butuh kerja keras dari pemerintah serta dunia usaha. Harapan satu-satunya stimulus fiskal sekitar Rp 695 triliun harus diguyur segera dan sebesar mungkin pada kuartal III.
Dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) sudah tersedia, jangan sampai hanya sekadar angka di atas kertas. Pertahanan Indonesia yang terakhir hanyalah stimulus dana PEN. Jika ini tidak disalurkan secara cepat dan tepat, Indonesia hampir bisa dipastikan akan jatuh dalam resesi ekonomi.
Untuk itu, mari kita fokus menyalurkan dana PEN ini, dengan roh dan jiwa yang sama bahwa kondisi yang kita hadapi adalah tidak biasa (extraordinary), yang harus disikapi juga dengan cara yang tak biasa, harus kreatif, dan urgensi tingkat dewa.
Baca juga: Peluang Meminimalkan Resesi
Dorong permintaan
Dalam kondisi perekonomian Indonesia yang sangat lesu dan permintaannya sangat lemah, ada baiknya stimulus dana PEN ini difokuskan dulu untuk mendorong permintaan masyarakat baru kemudian dari sisi suplai atau produksinya. Untuk itu, bantuan langsung tunai (BLT) kepada masyarakat kalangan miskin dan pekerja yang upahnya di bawah Rp 5 juta per bulan menjadi sasaran utama, ditambah dengan program padat karya.
BLT dan program padat karya harus menyasar masyarakat yang marginal propensity to consume (MPC) rendah. Masyarakat di level ini, secara teori ketika mereka mempunyai uang atau pendapatan, pasti akan membelanjakan uangnya untuk memenuhi kebutuhan dasar atau primer dan tidak ada sisa uang untuk ditabung. Hal ini tentunya akan berdampak cepat dan langsung mendorong kenaikan permintaan dan pertumbuhan konsumsi rumah tangga.
Menilik total biaya penanganan Covid-19 sebesar Rp 695 triliun dan komposisi alokasinya, terlihat bahwa pemerintah tahu apa yang menjadi skala prioritas. Pemerintah ingin mendorong permintaan yang sedang terpuruk, terutama masyarakat level bawah.
Komposisi dana PEN adalah: (1) perlindungan sosial Rp 203 triliun (29 persen), (2) insentif usaha Rp 121 triliun (17 persen), (3) pembiayaan korporasi Rp 54 triliun (8 persen), (4) sektoral kementerian/lembaga (K/L) dan pemda Rp 106 triliun (15 persen), (5) UMKM Rp 123 triliun (18 persen), dan (6) kesehatan Rp 88 triliun (13 persen).
Pemerintah ingin mendorong permintaan yang sedang terpuruk, terutama masyarakat level bawah.
Dari alokasi dana ini sangat jelas terlihat ada sekitar 45 persen yang menyasar masyarakat level bawah yang paling terimbas dampak negatif Covid-19. Jika ditambah dari sisi suplai, makin menegaskan bahwa pemerintah sangat peduli dengan masyarakat kecil, di mana dana untuk UMKM sekitar 18 persen, jauh lebih besar untuk pembiayaan korporasi yang hanya 8 persen dari total dana PEN.
Jadi, kuncinya sekarang adalah bagaimana merealisisasikan stimulus dana PEN ini dengan cepat dan tepat sasaran. Data 19 Agustus 2020 menunjukkan, realisasi penyaluran dana PEN ternyata jauh dari yang diharapkan, yaitu Rp 175 triliun. Ini artinya hanya 25 persen dari pagu anggaran Rp 695 triliun.
Di bidang kesehatan sekitar 8,4 persen, program perlindungan sosial 45,7 persen, untuk sektoral K/L dan pemda 11,7 persen, insentif dunia usaha (berkaitan dengan pajak) sekitar 14,3 persen, sektor UMKM 36,1 persen, dan korporasi 0,0 persen. Realisasi yang rendah ini mencerminkan adanya banyak kendala teknis dan nonteknis di lapangan, terutama data yang jadi basis sasaran stimulus.
PR terbesar saat ini adalah bagaimana realisasi stimulus yang berkaitan dengan permintaan didorong lebih jauh ke depan baru kemudian stimulus yang berhubungan dengan penawaran. Ada perbedaan yang mencolok basis data di sisi permintaan dan penawaran.
Basis data permintaan cenderung lebih lemah dan diragukan validitasnya sehingga berpotensi tak tepat sasaran. Siapa saja orang miskin yang berhak dapat BLT? Siapa saja pekerja yang upahnya di bawah Rp 5 juta per bulan? Sementara basis data yang berkaitan dengan suplai, jauh lebih siap dan valid, terutama yang penyalurannya melalui bank, misalnya untuk sektor UMKM.
Dalam menyelamatkan perekonomian Indonesia dari resesi, penyaluran stimulus dana PEN harus dilakukan oleh semua lini dengan gotong royong dan dipikul bersama sesuai porsi dan tanggung jawab masing-masing, antara Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, kementerian/ lembaga, pemda, dan perbankan.
Basis data permintaan cenderung lebih lemah dan diragukan validitasnya sehingga berpotensi tak tepat sasaran.
Perbankan sudah sangat cepat dan responsif dalam merestrukturisasi nasabahnya (terutama UMKM) yang terkena dampak negatif Covid-19 karena didukung basis data yang kuat dan valid, serta manajemen risiko yang ketat, sebelum dana PEN bergulir. Perbankan sudah terbukti dan teruji berhasil menyalurkan dana PEN, berupa penempatan dana pemerintah Rp 30 triliun dan subsidi bunga.
Namun, bukan berarti beban terbesar menyelamatkan perekonomian dari resesi ada di pundak perbankan. Peranan perbankan hanya sebatas mendorong dari sisi penawaran, tak menciptakan permintaan. Penyaluran kredit akan sia-sia kalau permintaannya tak ada. Jika dipaksakan, akan berujung kredit macet ke depannya.
Semoga saja, realisasi stimulus dana PEN bisa terakselerasi dalam waktu dekat, terutama berkaitan dengan permintaan masyarakat sehingga Indonesia bisa terhindar dari resesi ekonomi.
(Anton Hendranata, Ekonom)