Penelitian menunjukkan, laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan respons imun terhadap infeksi virus SARS-CoV-2. Terapi yang tepat menentukan kemampuan penderita untuk melewati krisis dalam perawatan.
Oleh
ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
·4 menit baca
Perbedaan gejala Covid-19 pada laki-laki dan perempuan teramati sejak awal pandemi Maret lalu. Secara umum laki-laki mengalami gejala lebih parah dan kematian lebih tinggi akibat Covid-19 dibandingkan perempuan meskipun secara global jumlah kasus Covid-19 hampir sama antara laki-laki dan perempuan.
Laporan Global Health 50/50, sebuah inisiatif riset independen berbasis bukti untuk memajukan langkah dan akuntabilitas kesetaraan jender dalam kesehatan global, menunjukkan, di sebagian besar negara yang datanya tersedia, tingkat kematian laki-laki secara konsisten lebih tinggi daripada perempuan. Meskipun demikian, ada sebagian kecil negara melaporkan tingkat kematian perempuan lebih tinggi. Bisa dikatakan, begitu laki-laki terinfeksi dan didiagnosis sebagai kasus Covid-19, mereka berisiko lebih tinggi untuk meninggal.
Data Global Health 50/50 yang tersedia pada akhir Juli hingga awal Agustus memperlihatkan, tingkat kematian pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. Hal tersebut dilaporkan, antara lain, di Australia, Amerika Serikat, Norwegia, Inggris, Perancis, Italia, Belanda, Filipina, dan Kenya.
Peran hormon seks
Banyak dugaan terkait hal itu. Metaanalisis dari berbagai penelitian yang dilakukan Annalisa Capuano, Francesco Rossi, dan Giuseppe Paolisso dari Universitas Campania Luigi Vanvitelli, Italia, yang dipublikasikan di jurnal Frontiers in Cardiovascular Medicine, 17 Juli 2020, menyebutkan, kemungkinan faktor paling penting pada perbedaan jenis kelamin yang berkontribusi dalam hasil klinis Covid-19, terutama dalam tingkat kematian, adalah aktivitas sistem imun dan peran hormon seks.
Selain itu, perlu diperhitungkan perbedaan jenis kelamin pada penyakit kardiovaskular dan pola koagulasi, terutama peran badai sitokin dalam menginduksi peradangan pembuluh darah serta penyakit kardiovaskular terkait aterosklerosis. Terkait perbedaan jender dalam pengentalan darah, laki-laki berisiko lebih tinggi tersumbat pembuluh darah dibandingkan perempuan. Namun, diperlukan penelitian epidemiologi lebih lanjut untuk mengonfirmasi hal tersebut.
Opini Adam Moeser, guru besar kedokteran hewan dari Michigan State University, AS, dalam The Conversation, 9 Juni 2020, memaparkan penyebab lebih banyak laki-laki yang meninggal karena Covid-19. Selain penyakit penyerta (komorbid), seperti diabetes dan gangguan jantung, serta persoalan gaya hidup, seperti merokok dan minum minuman keras yang jumlahnya lebih banyak pada laki-laki dibandingkan perempuan, penelitian menunjukkan bahwa mastosit, sel yang mengandung granula yang kaya akan histamin dan heparin, pada perempuan mampu memulai respons imun lebih aktif sehingga membantu melawan penyakit menular lebih baik daripada laki-laki. Sebaliknya, perempuan berisiko lebih tinggi terkait penyakit alergi dan inflamasi.
Menurut Moeser, secara umum perempuan memiliki respons imun lebih kuat daripada laki-laki, yang membantu melawan infeksi secara lebih baik. Bisa jadi ini terkait faktor genetik atau hormon seks, seperti estrogen dan testosteron.
Secara umum perempuan memiliki respons imun lebih kuat daripada laki-laki, yang membantu melawan infeksi secara lebih baik.
Secara biologis perempuan memiliki dua kromosom X, yang mengandung lebih banyak gen kekebalan tubuh, dibandingkan dengan laki-laki yang secara biologis hanya memiliki satu kromosom X.
Dalam sebuah penelitian di Italia, kanker prostat meningkatkan risiko Covid-19. Namun, pasien kanker prostat yang menerima terapi untuk menekan androgen (ADT), hormon yang memicu pertumbuhan sel kanker prostat, memiliki risiko jauh lebih rendah untuk terinfeksi SARS-CoV-2. Artinya, pemblokiran androgen pada laki-laki dapat melindungi diri dari Covid-19.
Beda respons imun
Dugaan tersebut belakangan diperkuat hasil penelitian Akiko Iwasaki, Takehiro Takahashi, dan kolega dari Bagian Imunobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Yale, AS, yang dimuat di Nature, 26 Agustus 2020.
Tim meneliti respons imun dari 98 pasien laki-laki dan perempun yang terinfeksi SARS-CoV-2 dengan gejala ringan sampai sedang yang dirawat di Rumah Sakit Yale-New Haven pada 18 Maret hingga 9 Mei 2020. Mereka mendapati, respons imun laki-laki terhadap infeksi berbeda dengan perempuan.
Dalam penelitian, Iwasaki dan kolega mengamati perbedaan jenis kelamin pada jumlah virus, titer antibodi spesifik SARS-CoV-2, sitokin plasma, serta fenotipe sel darah pada pasien Covid-19. Analisis pada pasien dengan gejala sedang yang belum menerima obat imunomodulator menunjukkan, pasien laki-laki memiliki tingkat plasma sitokin imun bawaan, seperti IL-8 dan IL-18, lebih tinggi dengan induksi monosit nonklasik yang lebih kuat. Sebaliknya, aktivasi sel T pada pasien perempuan secara signifikan lebih kuat daripada pasien laki-laki.
Dari analisis data didapatkan, respons sel T yang buruk dikaitkan dengan perburukan penyakit pada pasien laki-laki, tetapi tidak pada pasien perempuan. Sebaliknya, sitokin imun bawaan yang lebih tinggi dikaitkan dengan memburuknya penyakit pada pasien perempuan, tetapi tidak pada pasien laki-laki.
Secara umum data menunjukkan bahwa vaksin dan terapi untuk meningkatkan respons imun sel T terhadap SARS-CoV-2 mungkin diperlukan untuk pasien laki-laki. Sebaliknya, pasien perempuan mungkin mendapat manfaat dari terapi yang mengurangi aktivasi imun bawaan atau pemberian obat untuk menekan sistem kekebalan tubuh.
Hasil penelitian itu makin meyakinkan pentingnya pendekatan berbasis jenis kelamin untuk pengobatan dan perawatan laki-laki dan perempuan dengan Covid-19. Hal itu bisa jadi berlaku juga untuk penyakit-penyakit lain.