AS-China, Mau Dibawa ke Mana
Sebagai negara nonblok yang bukan claimant di LCS, Indonesia bisa fokus dengan program pembangunannya. Tetapi bersama ASEAN, Indonesia perlu terus mengupayakan agar target minimal mencapai kesepakatan CoC pada 2021.
Saling tutup konsulat antara AS dan China di Houston (21/7/2020) dan di Chengdu (24/7/2020) bukanlah hal baru karena dalam dunia diplomatik dikenal prinsip timbal balik (reciprocity). Demikian pula latihan militer kedua negara di Laut China Selatan (LCS); sebenarnya hanya mengungkapkan ”puncak gunung es” dalam hubungan AS-China. Yang pasti, insiden itu hanya kian memperkuat premis dunia abad ke-21 ini sudah memasuki era tripolarisme (”Mendayung di Antara Tiga Karang”, Kompas, 18/7/2020).
Pola Perang Dingin
Meski tak sama, ketegangan saat ini mencerminkan pola bipolar Perang Dingin (1949- 1990) AS-Uni Soviet, yang lebih berdasarkan ideologi. Berakhirnya Perang Dingin tanpa letusan sebutir peluru pun menandai akhir persaingan ideologi yang kini digantikan kekuatan ekonomi, militer, dan diplomasi. Suka atau tidak suka, China dan Rusia kini sudah menerima dan mengimplementasikan prinsip pasar bebas dalam hubungan internasionalnya.
Ketegangan di LCS, khususnya unjuk kekuatan militer yang dilakukan, semua berpangkal dari isu ”sembilan garis putus” yang diklaim China. Manuver militer itu hampir sama dengan Krisis Kuba (1962) antara AS dan Uni Soviet ketika kapal-kapal AS dan Uni Soviet sudah berhadap-hadapan untuk ”saling tembak”. Insiden itu muncul akibat ditemukannya foto intelijen dari pesawat mata-mata U-2 AS bahwa Uni Soviet sudah mulai menggelar rudal balistik SS-4 dan R-14 di Kuba, yang hanya 140 kilometer dari Florida.
Ketegangan di LCS, khususnya unjuk kekuatan militer yang dilakukan, semua berpangkal dari isu ”sembilan garis putus” yang diklaim China.
Sebagai jawabannya, AS memberlakukan blokade laut (di laut lepas) untuk mencegat setiap kapal Uni Soviet yang menuju ke negara Fidel Castro itu. Ketika itu dunia berada di tepi Perang Dunia III. Setelah 13 hari, krisis dapat diselesaikan melalui diplomasi, setelah Presiden AS John F Kennedy dan pemimpin Uni Soviet, Nikita Khruschev, sepakat Uni Soviet akan membongkar fasilitas rudalnya di Kuba dan AS melakukan hal yang sama atas rudal Jupiternya yang ada di Turki dan Italia.
Di LCS, ketegangan akibat manuver militer China dan AS belum menjadi sebuah krisis, tetapi dampaknya akan sangat riskan bagi kawasan Asia Tenggara (baca: ASEAN). Latihan perang yang dilakukan China (1-5 Juli 2020) jelas bertentangan dengan spirit Code of Conduct (CoC) LCS antara ASEAN dan China yang prinsipnya disepakati pada 2018 dan diharapkan diselesaikan pada 2021. Sementara manuver dua kapal induk AS (USS Nimitz dan USS Ronald Reagan) pada 4 Juli 2020 di kawasan yang lalu lintas perdagangannya bernilai 3 triliun dollar AS per tahun juga bukan tindakan terpuji.
Baca juga : Ketegangan AS-China dan Jebakan Thucydides
Mengenai saling tutup perwakilan diplomatik dan/atau saling usir diplomat, hal ini lumrah terjadi pada masa Perang Dingin. Dalam konteks kekinian, pada 31 Agustus 2017, AS telah menutup Konsulat Rusia di San Francisco dan annex-nya di Washington dan New York, sebagai balasan atas keputusan Rusia untuk mengurangi staf diplomatik AS di Moskwa dari 755 orang menjadi 455 orang, karena isu mata-mata.
Insiden ini pun berlanjut pada 29 Maret 2018 ketika Rusia menutup Konsulat AS di St Petersburg dan saling balas mengusir puluhan diplomatnya. Penutupan perwakilan dan pengusiran diplomat itu jadi masalah besar karena di antara big power hal ini dapat melibatkan ratusan staf (baca: diplomat).
Baca juga: Menanti Perang Berakhir
Isu penutupan perwakilan dan manuver militer di LCS ini kian kompleks ramifikasinya mengingat kedua negara juga terdapat sejumlah isu lain, baik ekonomi, politik, maupun sosial. Di bawah gunung es, selain isu Taiwan yang ”abadi”, saat ini perang dagang kedua negara, isu demokratisasi di Uighur, Hong Kong, dan Tibet, serta isu regional Korea masih berkepanjangan. Bahkan, kini isu siapa penyebab munculnya Covid-19 pun menjadi masalah.
Faktor Trump
Singkatnya, manuver kedua negara itu tak lebih dari sebuah provokasi dan dapat dilihat sebagai bagian dari ”permainan” negara-negara besar. Manuver itu tampaknya mengikuti pola game theory-nya Neumann dan Morgenstern (1944), yang melihat keseluruhan tingkah laku manusia (dan negara) sebagai suatu permainan dan bagaimana pemain seharusnya bermain secara rasional.
Teori ini berkaitan dengan sistem interaksi antarberbagai pihak, yang bagi satu pihak hasilnya bergantung pada tindakan pihak lainnya. Ini berlaku dalam situasi ada atau tidak adanya kerja sama dan tujuannya adalah menetapkan strategi terbaik dalam permainan itu.
Di masa sebelumnya, Presiden AS Barack Obama justru menyatakan, ”The relationship between the United States and China is the most important bilateral relationship of the 21st century.” Obama menyadari bahwa AS tidak akan dapat memimpin tanpa memiliki kekuatan dan perlu berhati-hati akan kebangkitan negara-negara ekonomi baru dan dampaknya bagi tata dunia. Karena itu, menurut Obama, ”Amerika harus berubah dari pemimpin menjadi mitra” (Brookings, 30/8/2016).
Karena itu, menurut Obama, ”Amerika harus berubah dari pemimpin menjadi mitra” (Brookings, 30/8/2016).
Suka atau tidak, diakui atau tidak, bergeraknya dinamika hubungan di antara negara-negara tripolar saat ini banyak ditentukan oleh ketiga pemimpinnya, terutama Presiden Donald Trump dan tim ”the Hawks”-nya. Dalam hubungannya dengan China, National Security Adviser Robert C O’Brien dengan gaya bahasa Perang Dingin menyatakan, ”America, under President Trump’s leadership, has finally awoken to the threat the Chinese Communist Party’s actions pose to our way of life” (Washington Post, 26/6/2020).
Sementara Direktur CIA Michael Morell pernah menyatakan, ”The US and China are heading for a new Cold War based on economic competition and the pursuit of influence….” Laporan The Asia Society and University of California (2019) menyatakan bahwa AS dan China berada ”on a collision course”. Makanya, menurunnya hubungan kedua negara telah menjadi keprihatinan karena saat ini AS dan China sudah menjadi kekuatan seimbang sehingga menjadikan risiko konflik itu semakin besar.
Baca juga : Covid-19 dan Perang Dingin Baru AS-China
Terkait aktivitas China di LCS dan Laut China Timur, serta gagasan Sabuk dan Jalan (Belt and Road) di mata Washington, dinilai sebagai ”a direct challenge to US power and evidence that China had no intention of becoming a ’responsible stakeholder’ in a liberal, democratic order”, kata Alan Dupont (Hinrich Foundation, June 2020).
Lalu, AS dan China mau ”ngapain sih” dengan aksi koboinya di LCS dan siapa yang diuntungkan dengan perseteruan ini? Mungkin kedua negara tersebut sekadar butuh exercise (baca: olahraga), sedangkan yang diuntungkan paling mungkin adalah Rusia, yang dewasa ini diberitakan sedang mengalami penurunan (downturn), dalam ekonominya.
Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov pernah menyatakan, ”Rusia tidak akan dapat mengatasi masalah ekonominya dengan ikut campur dalam konfrontasi (AS-China)” dan menekankan negaranya tak akan memihak siapa pun. Tampaknya memang Rusia sedang mengonsolidasikan diri. Belum lama diberitakan Rusia sedang mengembangkan drone bawah laut dan mengembangkan rudal jelajah hipersonik. Nah!
Bagaimana dengan ASEAN? Apakah ASEAN akan mengalami nasib seperti pelanduk dalam peribahasa ”gajah sama gajah berkelahi, pelanduk mati di tengah-tengah”? Jelas tidak, tetapi paling sedikit ASEAN bisa terkena ”getah”-nya dan limbung apabila tidak solid.
Dan Indonesia? Sebagai negara nonblok yang bukan claimant di LCS, semestinya Indonesia juga bisa tetap fokus dengan program pembangunannya. Tetapi bersama ASEAN, Indonesia perlu terus mengupayakan agar target minimal mencapai kesepakatan CoC pada 2021 dapat terwujud, dengan harapan (dan doa) saat itu pemimpin setiap negara tripolar sudah tidak berambisi menjadi pemimpin, tetapi mitra, seperti kata Obama.
Dian Wirengjurit, Analis Masalah Internasional.